“Namaku Senja Putra Dirgantara, salam kenal.”
Masih ingat ia pada pagi itu, langit tampak sangat biru dengan cahaya matahari yang masih malu-malu dibalik awan. Hanya ada awan putih, tidak ada setitikpun tanda jika hujan akan membasahi. Kala itu, tahun keduanya di jenjang SMA, dan hari pertamanya berada di Indonesia.
Tidak banyak murid pindahan pada saat seperti itu, terlebih hanya butuh hitungan bulan untuk mereka menyelesaikan semester awal tahun itu.
“Keluarga Dirgantara? Pemilik Rumah Sakit Mitra Harapan itu?”
Tentu saja nama itu segera menjadi topik hangat pagi hari, dimana tentu tidak ada yang tidak mengetahui Rumah Sakit swasta baru yang menarik perhatian semua orang. Rumah Sakit yang digadang-gadang menjadi rumah sakit terbesar di Indonesia, bekerja sama dengan puluhan rumah sakit bertaraf internasional baik di Indonesia maupun diluar Indonesia.
“Diam anak-anak, mungkin ada banyak pertanyaan untuk Nak Senja tapi ibu ga lupa kalau hari ini kita akan ada ulangan Fisika. Jadi, gunakan jam istirahat untuk bertanya,” suara protes yang dilayangkan karena Bu Sisca yang menjadi guru Fisika sekaligus Wali Kelas segera memotong perkenalan sebelum para murid memanfaatkan perkenalan ini untuk menghabiskan waktu.
“Bintang, lagi-lagi kamu terlambat!”
Bu Sisca hanya menoleh saat menemukan gadis dengan jaket abu-abu itu masuk. Dengan jaket yang tampak lusuh, ia hanya diam menunduk sambil memegang kedua tali ranselnya. Ia tidak menjawab, namun berhenti tidak bergerak dihadapan sang guru.
“Sekarang apa lagi alasanmu?”
…
“Apa gunanya? Alasan apapun tidak akan mungkin ibu dengarkan. Kalau ibu ingin saya keluar, saya akan keluar. Kalau tidak, bisakah aku duduk di tempat dudukku?” gadis itu hanya berbicara pelan dan tampak menunggu jawaban. Tidak sedikitpun peduli dengan eksistensi baru di kelas itu.
Bu Sisca diam, hanya menghela napas.
“Duduklah, tetapi ibu ingin kamu keruangan ibu jam istirahat nanti,” gadis bernama Bintang itu hanya mengangguk dan berjalan melewati Senja yang hanya diam mengikuti arah kemana gadis itu pergi.
“Maaf Nak Senja, sekarang kamu boleh duduk dimana aja yang kosong.”
“Baik bu,” Senja hanya tersenyum dan berjalan melewati kursi kosong yang ada di dekatnya seolah ia sudah menetapkan diri dimana ia akan duduk. Kursi kosong di baris belakang, dimana gadis bernama Bintang itu tampak duduk masih tidak mempedulikannya. Semua orang tampaknya cukup kaget dengan Senja yang memutuskan untuk menempati tempat duduk yang sudah tidak terisi sejak hari pertama di tahun ketiga mereka itu.
Bintang adalah seorang penyendiri. Setidaknya sejak tahun keduanya di sekolah itu. Dan tidak ada satupun yang berusaha mendekat, merasa ia aneh. Itulah sebabnya saat Senja duduk, menimbulkan bunyi yang membuat gadis itu menoleh, ia hanya bisa menatap iris mata cokelat pemuda itu yang menatapnya dengan tatapan lembut.
“Hei, tidak keberatan aku duduk disini bukan?”
Bintang tampak masih kaget, sama kagetnya dengan semua orang disana. Namun, dengan segera ia berpaling tak acuh pada pemuda itu.
“Terserah.”
Hanya satu kata itu yang terucap dari mulut Bintang, hingga ulangan yang diadakan Bu Sisca selesai dan mata pelajaran berikutnya akan dimulai. Menunggu Pak Septa yang akan mengajar Biologi, banyak orang yang datang dan menghampiri Senja.
“Mau keluar dulu? Biasanya Pak Septa bakal lama dateng.”
“Kabur aja sekalian ke kantin, makan Mie Ayam Mbok Lis di lorong deket sekolah.”
Aldo dan Leo yang paling bengal di kelas mulai meluncurkan jurus andalan untuk menambahkan satu anggota mereka dalam kelompok bengal sekolah ini. Senja hanya membalas dengan nada ramah dan juga tawa lepas setiap kedua orang itu memberikan lelucon mereka yang sebenarnya sedikit garing. Selain mereka berdua, beberapa murid perempuan juga mulai menanyakan beberapa hal pada Senja.
“Kursi disampingku juga kosong, kenapa duduk disini?”
“Iya, mendingan duduk disana daripada barengan sama anak aneh kayak Bintang.”
Dan entah sejak kapan pembicaraan mereka menjadi kenapa Senja duduk bersama dengan Bintang dan bagaimana gadis itu adalah seorang gadis yang aneh. Mereka terus berbicara tentang Bintang seolah gadis itu tidak berada disamping Senja dan saat ini sedang tertidur dengan kedua lipatan tangannya sebagai bantal.