‘Uang haram aja dibangga-banggain.’
‘Jauh-jauh deh, kita ga mau temenan sama anak yang makan duit haram.’
‘Suruh bapak lo balikin duit negara tuh, eh tapi gimana ya? Kan duit lo udah ga ada lagi.’
Betapa munafiknya manusia, itu yang ada didalam pikiran seorang Bintang Cahaya Purnama. Dulu, kehidupannya sangat bahagia dengan keluarga yang utuh, ayah dan ibu yang penyayang, kakak yang baik juga sahabat-sahabat yang sangat pengertian.
Hanya dalam satu malam, semua itu segera berubah menjadi mimpi buruknya. Ayah yang menjadi idolanya selama ini, berbuat sesuatu yang sangat diluar pemikirannya. Ibu yang selama ini menyayanginya, meninggalkannya begitu saja. Hilang tanpa jejak.
Ia hanya bisa diam saat rumah yang menjadi tempatnya tinggal dibongkar paksa oleh petugas yang mengatasnamakan dirinya sebagai anggota kepolisian. Tempat tinggalnya segera ditutup malam itu, dan ia bahkan tidak sempat untuk membawa pakaian juga buku-buku sekolahnya.
Semua pekerja di rumah dulu tidak bisa berbuat apa-apa, mereka segera menghilang untuk kemudian mencari pekerjaan yang baru. Hanya Mbok Sukma yang tersisa, menemaninya dan membawanya ke rumah sederhana yang tidak jauh dari tempatnya tinggal. Wanita tua dengan tangan keriput yang hangat, yang sudah menemani Bintang sejak ia masih belia.
Sejak saat itu Bintang tinggal disana. Bersama dengan Mbok Sukma juga anak lelakinya yang berusia hampir sama dengan ayahnya. Mbok Sukma sangat baik, ia berusaha untuk memenuhi kebutuhannya meski tidak bisa ia memanjakan diri seperti dulu. Setidaknya, makanan dan juga sekolah ia masih bisa mencukupi.
Tetapi ia tidak suka dengan cucu dari Mbok Sukma yang selalu menatapnya dengan tatapan aneh. Gilang namanya, usianya diatas Bintang beberapa tahun. Ia tidak pernah melanjutkan sekolah setelah ia menyelesaikan pendidikan SMAnya. Gilang hanya bekerja sebagai seorang buruh bangunan lepas. Bahkan lebih banyak ia berada dirumah sebagai pengangguran.
Wajahnya lumayan, ia jadi idola di kampung tempat Mbok Sukma tinggal. Banyak wanita mengantri padanya, namun tidak untuk Bintang. Bukan karena ia tidak ingin berhubungan dengan pria miskin.
Ia selalu merasa tidak nyaman setiap kali hanya berdua dengan anak itu. Pak Sapto, anak dari Mbok Sukma dan ayah dari Gilang adalah pria yang baik, jadi ia tidak bisa menolak saat beberapa kali beliau menyuruh Bintang untuk mencari keberadaan Gilang yang sering berada diluar rumah.
Bintang merasa seperti ia sedang ditelanjangi oleh mata Gilang yang menatapnya bahkan saat ia berada di baluran pakaian longgar dan tertutupnya. Ia ingin mengatakannya pada Mbok Sukma, tetapi ia tidak ingin membuat kesalahpahaman. Ia berusaha untuk berpikir jika itu hanyalah perasaannya saja. Gilang sama seperti ayahnya juga Mbok Sukma. Dia adalah orang yang baik.
***
“Lo kira lo disini cuma bisa numpang makan sama ngehabisin duit aja? Kalau lo ga bisa nyari duit, seenggaknya manfaatin tubuh lo buat hal yang berguna.”
Tidak memberitahu tentang apa yang ia rasakan adalah suatu kesalahan yang fatal. Ia masih ingat dengan ingatan malam itu. Mbok Sukma sedang memenuhi panggilan untuk mengurut seseorang di kampung sebelah. Dan Pak Sapto memang bekerja sebagai satpam hingga terkadang tidak pulang.
Gilang pulang dalam keadaan penuh dengan bau alkohol. Ia tidak sedang dalam pikiran sehatnya saat ia masuk ke dalam kamar Bintang bersama Mbok Sukma. Bahkan sebelum Bintang bisa membuka mata, Gilang sudah menutup mulutnya dan menindih tubuhnya, dengan sebilah pisau yang mengancam di depan lehernya. Seberapapun ia memberontak, tubuh kekar itu tidak bergeming sedikitpun.
Kata orang, alkohol membuat kita kehilangan akal sehat juga membuat kita tidak mengenal rasa takut. Itulah sebabnya, orang-orang yang mabuk terkadang lebih kuat ketimbang disaat normalnya.
“Badan montok macam gini ga lo manfaatin? Banyak yang mau bayar mahal buat nyicipinnya,” napas berbau menyengat itu membuat Bintang tidak bisa bernapas. Kakinya tetap berusaha melepaskan kuncian dari pemuda itu, namun semua itu percuma.