Waktu Senja

Rosita
Chapter #3

3. Don't Want to Ask You

Pakaian Raka hampir selalu dinodai oleh darah, dan itu sudah biasa. Sebagai seorang dokter yang selalu menangani kegawatdaruratan tentu saja berhubungan dengan luka dan darah bukanlah hal yang baru.

 

Ia sudah melihat banyak kasus di UGD baik itu di Indonesia ataupun di US saat ia masih menjadi residen di Hackensack. Dan kasus bunuh diri pada remaja, selalu menjadi satu hal yang paling susah dihadapi. Terutama, saat ia melihat gadis yang dibawa itu berusia hampir sama dengan adik sematawayangnya.

 

“Siapkan hecting set, lalu pasang IV line infus RL kocor satu kolf,” ia menekan luka dengan kassa bersih, meminta beberapa perawat untuk membantunya sambil ia mengecek keadaan gadis tersebut, “cek hemoglobin pasien juga golongan darah, tanyakan di bank darah apakah ada stoknya. Panggilkan keluarga pasien.”

 

Setelah sekiranya ia sudah bisa mengendalikan keadaan, ia mendekati seorang wanita yang sudah dipenuhi oleh keriput dan berjalan bungkuk, tampak menghampiri dibantu oleh perawat.

 

“Nek, nenek yang mengantarkan mbaknya kemari?” Nenek itu hanya mengangguk sesekali ia menoleh pada gadis yang sedang ditangani oleh perawat juga beberapa dokter jaga disana baik yang berstatus residen ataupun tidak, “tenang saja, kami berusaha menghentikan pendarahannya. Apakah nenek adalah keluarganya? Karena kami membutuhkan persetujuan keluarga untuk melakukan beberapa tindakan.”

 

“Saya bukan…”

 

“Kak Raka,” Raka menoleh dan melihat Senja yang mendekat dengan segera, “dia Bintang.”

 

Ia hanya memberitahu nama seolah meminta kakaknya untuk mengerti, jika saat ini tidak ada keluarga Bintang yang bisa dimintai bantuan. Beruntung Raka segera mengerti, dan ia hanya tersenyum pada sang nenek.

 

“Nenek bisa mendaftarkan Bintang dulu, untuk persetujuannya bisa diwakilkan jika orang tua tidak bisa datang. Ja, bantuin sana.”

 

“Ye, digaji nggak disuruh-suruh aja,” celetus Senja sedikit bercanda tetapi segera menuntun nenek tersebut untuk membantunya mendaftar saat kakaknya mengurus Bintang disana.

 

***

 

Mbok Sukma ingat bagaimana saat ia pulang, pintu depan rumah terbuka. Ia takut ada apa-apa dengan Bintang yang ia tinggalkan di rumah sendirian. Ada alasan ia khawatir, Bintang bukan orang yang ceroboh dan membiarkan pintu depan terbuka meskipun masih siang hari.

 

Ia terpekik saat melihat kamar yang ditempati Bintang dan dirinya terbuka, dan Bintang tergeletak di lantai dengan darah yang mengucur cukup banyak. Ia tidak bisa membawa Bintang dengan tubuh rentanya. Untung ada tetangga yang membantunya saat itu. Tempat yang bisa ia kunjungi saat itu adalah rumah sakit swasta yang baru selesai dibangun.

 

Bahkan dari luar sudah terlihat jika ini adalah rumah sakit besar yang tentu akan mengeluarkan biaya yang tidak murah. Tetapi Mbok Sukma hanya ingin Bintang segera ditangani.

 

Ia tidak peduli apakah kaki rentanya saat ini sudah lelah untuk berdiri, namun dari kejauhan ia melihat bagaimana para dokter dan perawat dengan cekatan mengobati Bintang.

 

“Duduk nek,” Mbok Sukma menoleh dan menemukan pemuda yang membantunya mendaftar tadi. Ia membawakan kursi dan mempersilahkannya untuk duduk. Meski tidak terasa, kakinya sudah gemetar karena gugup juga karena lelah yang tidak terasa, “tenang aja nek, kak Raka gitu-gitu sudah biasa menangani seperti ini. Bintang pasti baik-baik saja.”

 

“Alhamdulillah kalau begitu, Bintang sudah seperti cucu nenek sendiri. Nenek cuma takut ada apa-apa sama Bintang,” entah kenapa perkataan Senja begitu meyakinkan di telinga wanita paruh baya itu, “semenjak nyonya pergi dan bapak ditangkap malam itu, Bintang selalu murung dan sedih. Nenek ga nyangka dia bakal nekat seperti ini.”

 

Senja tidak menjawab, didalam hati ia juga tidak mengerti kenapa Bintang begitu terpuruk hingga ia mencoba untuk bunuh diri. Tetapi, ia tidak cukup akrab dengan Bintang untuk tahu apa yang ada dalam pikirannya. Bintang terlalu tertutup, tidak ingin membuka hatinya pada orang lain.

 

“Anu den,” Mbok Sukma merasa tidak enak menanyakan ini apalagi Bintang belum selesai ditangani, “untuk… biayanya, apakah saya bisa meminta waktu tenggak? Karena asuransi non Bintang sudah tidak berlaku.”

 

Ada rasa malu karena Mbok Sukma merasa tidak bisa membayar begitu saja rumah sakit swasta sebesar ini. Memang beliau belum melihat total biaya pengobatan, namun ia bisa membayangkan berapa biaya yang akan dikeluarkan. Bahkan untuk makan sehari-haripun Mbok Sukma harus membanting tulang di usia senjanya.

 

“Ah, karena saya keceplosan bilang pada kak Raka kalau Bintang teman saya, kak Raka bilang ayah membebaskan biayanya.”

 

“Tapi tidak bisa gitu den, pasti biayanya tidak murah. Mbok bisa cari uangnya, tapi mbok butuh waktu untuk menyiapkannya,” wanita paruh baya itu tentu saja tidak bisa menerima kebaikan Senja begitu saja. Senja hanya tersenyum lebar.

 

“Nek, walaupun ini rumah sakit swasta tetapi ayah, ibu, dan kakakku tidak selalu mengambil biaya untuk pengobatan semua pasien. Kalau memang bagian administrasi rumah sakit masih bisa menanggung, kami bisa membebaskan biaya jika biaya yang ditentukan terlalu berat untuk keluarga pasien,” memang, lagipula baik ayahnya, ibunya, ataupun kakaknya Raka tidak membangun rumah sakit ini untuk mencari uang ataupun keuntungan. Cukup memiliki saham di salah satu rumah sakit di LA saja bisa mencukupi kebutuhan mereka.

 

“Tapi den…”

 

“Ga papa nek, yang penting sekarang Bintang baik-baik saja dulu. Saya juga khawatir dengan Bintang, di sekolah dia tidak pernah berbicara dengan teman lainnya,” Senja hanya menghela napas dan menatap Raka yang menyuruh salah satu residen yang bertugas disana untuk memonitor keadaan Bintang.

 

“Dulu non Bintang tidak seperti itu. Mbok tidak menyangka kalau non Bintang akan nekat untuk melakukan ini setelah Bapak ditangkap malam itu,” Mbok Sukma hanya bisa menghela napas dan memperhatikan Bintang. Raka mencari sosok Senja dan Mbok Sukma, lalu menghampiri mereka.

 

“Loh belum pulang? Tadi mama nyariin, kubilang kamu udah mau pulang,” Raka melihat adiknya itu.

 

“Eh sudah jam 10?! Ada tugas yang harus kukerjain,” Senja menepuk dahinya, “tapi keadaan Bintang gimana?”

 

Lihat selengkapnya