Hari Minggu pagi itu, langit terlihat cerah setelah semalaman hujan mengguyur kota. Chelin memutuskan untuk pergi ke taman. Ia butuh waktu sendiri untuk merenung. Namun, ketika ia tiba, ia mendapati sosok yang tidak asing sedang duduk di bangku favorit mereka.
“gino?” panggil Chelin, terkejut.
Georgino menoleh, tersenyum lembut. “gw pikir Lo pasti bakalan Dateng ke sini. gw rasa kita sama-sama lagi cari udara segar.”
chelin duduk di sebelahnya tanpa berkata apa-apa. Mereka terdiam cukup lama, membiarkan suara burung dan angin pagi mengisi keheningan di antara mereka.
“gw tadi malem ga bisa tidur,” kata chelin akhirnya, memecah kesunyian. “gw mikirin tentang kit, semua yang telah kita lalui, dan semua rintangan di depan.”
Gino menatapnya. “gw juga, chel. gw ga mau lo merasa terbebani karena cinta kita. Tapi gw juga gak bisa membayangkan hidup tanpa lo.”
chelin menunduk. “gw merasa seperti sedang berjalan di atas tali yang rapuh. Di satu sisi, gw cinta sama lo. Tapi di sisi lain, gw ga mau ngecewain keluarga ge, terutama Ibu.”
“apakah kita harus menyerah?” tanya gino tiba-tiba, suaranya serak.
chelin mendongak, matanya membelalak. “maksud lo?”