Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Georgino dan Chelin sepakat mengatur pertemuan sederhana di rumah makan kecil di pinggir kota, tempat yang netral agar kedua keluarga bisa bertemu tanpa tekanan. Chelin merasa cemas sejak pagi, sementara Georgino mencoba tetap tenang meski hatinya juga gelisah.
Ketika Chelin dan keluarganya tiba, Georgino sudah menunggu bersama papah dan mamahnya. Mereka berdiri, menyambut dengan senyum sopan. Ayah Nayla menjabat tangan Georgino lebih dulu, tetapi Chelin bisa merasakan ketegangan dari gestur ibunya yang hanya memberikan anggukan kecil.
“Silakan duduk,” ujar Georgino, mencoba mencairkan suasana.
Percakapan awal terasa kaku. Mereka berbicara tentang cuaca, pekerjaan, dan hal-hal umum lainnya, tetapi jelas ada tembok tak terlihat yang memisahkan kedua keluarga. Chelin terus melirik ibunya, berharap sikap kerasnya sedikit melunak, sementara Georgino mencoba menjawab pertanyaan ayah Chelin dengan penuh hormat.
Hingga akhirnya, mamahnya gino angkat bicara, memecah keheningan.
“Kami sebenarnya juga ragu awalnya,” katanya sambil menatap Chelin dan Georgino bergantian. “Perbedaan keyakinan itu bukan hal yang kecil. Tapi, kami melihat kesungguhan Gino. Dia benar-benar mencintai Chelin, dan kami tidak ingin menghalangi kebahagiaan anak kami.”
Ibu Chelin menghela napas panjang, lalu menatap Chelin dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Cinta memang penting, tapi pernikahan itu bukan hanya tentang dua orang. Ada keluarga, ada nilai yang harus dijaga. Apa kamu sudah benar-benar memikirkan itu, Chelin?”