Malam setelah pertemuan kedua keluarga, Chelin berbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamarnya. Ia memutar ulang setiap momen pertemuan itu di kepalanya—senyum canggung Georgino, pertanyaan tajam ibunya, dan keseriusan ayah Gino ketika berbicara tentang masa depan. Semua terasa seperti medan perang kecil, di mana cinta mereka berada di tengah-tengah perseteruan.
“gimana menurut kamu?” suara ibunya yang tegas terngiang-ngiang. “Apa kamu benar-benar siap menjalani ini, Chel?”
Pertanyaan itu terus menghantui Chelin. Ia tau, ibunya belum sepenuhnya setuju. Bahkan mungkin, masih jauh dari penerimaan. Tetapi Chelin juga tidak bisa mengabaikan keyakinannya pada Gino.
Keesokan harinya, Gino menelepon Chelin lebih awal dari biasanya. Suaranya terdengar lembut tetapi ada nada khawatir yang tak bisa disembunyikan.
“perasaaan Lo gimana setelah kemaren?” tanyanya.
“gw gak tau, Gin,” jawab Chelin. “Rasanya seperti semua orang melihat hubungan kita sebagai masalah yang sulit dipecahkan. Ibu masih skeptis, dan gw gak tau gimana caranya biar ibu percaya .”
“papah juga semalem nanya,” kata Gino. “Dia nanya, apa gw yakin sama keputusan ini, karena baginya pernikahan beda agama seperti kita adalah jalan yang penuh dengan tantangan.”
Chelin terdiam. Ia merasa sakit mendengar itu, meskipun tau Gino hanya jujur.
“gw juga selalu bertanya tanya pada diri gw sendiri, Chel,” lanjut Gino pelan. “Tapi setiap kali gw mencoba membayangkan hidup tanpa Lo, gw gak bisa. gw tau kita bisa lewatin ini. Kita hanya perlu waktu.”