Waktu Yang Salah

Miftachul W. Abdullah
Chapter #2

2. Patah

Patah

 

Malang, 10 Agustus

Ini adalah malam ke tujuh sejak aku melakukan shalat istikharah. Entah mengapa malam ini aku benar-benar yakin dengan gadis yang sedang kucintai sejak beberapa tahun yang lalu itu. Sejak mengenalnya aku sudah dibuat jatuh olehnya. Namanya Tania Farah. Jika kau tak tahu apa artinya maka akan kuberitahu. Aku pun tahu dari internet. Tania artinya Ratu, peri atau bidadari. Sedangkan Farah artinya Cantik. Tania Farah, bagiku dia adalah bidadari yang tak sengaja turun kebumi dan tak bisa kembali ke langit. Entah dikirim untuk siapa.

Dan malam ini, setelah shalat isya. Dengan segenap keberanian, aku ingin menyatakan perasaanku untuk serius dengannya. Mengungkapkan apa yang sedang membuncah di dalam hatiku sejak lama. Bukan lagi pacaran sebagaimana anak-anak remaja dengan cinta monyetnya. Usiaku sudah dua puluh lima tahun. Jadi kurasa bukan lagi anak-anak. Aku ingin menikah di usia muda. Bukan karena trend, tapi aku benar-benar sudah menyiapkan semuanya.

Aku mengenakan sepatu. Kulihat Farah berada di ruang tunggu dekat pintu keluar mushala. Dia menyuguhkan senyum dan memperlihatkan gigi mentimunnya padaku, kemudian memasukkan ponselnya kedalam tas. Kubalas dengan senyumku yang juga mengembang. Senyumnya tak ada duanya di dunia ini. Meski sebelumnya aku tak pernah mengatakan kepada Farah bahwa senyumnya yang paling manis. Tuhan maha adil, menghadiahiku secuil partikel surga yang berupa senyum Farah. Cukuplah aku melihatnya tersenyum untuk menghapus segala kelelahanku.

Aku berdiri dan menghampirinya. Malam ini kami bertujuan ke toko buku. Sebuah toko buku paling populer yang terletak didalam mall lantai dua. Tepat dibagian mall paling pojok. Tak jauh dari eskalator.

Bagiku membeli buku setiap bulan adalah rutinitas wajib yang apabila aku tak membelinya maka aku akan menghukum diriku sendiri. Sebuah alasan bahwa aku tak lagi pacaran setelah lulus SMA adalah karena buku bagiku sudah lebih dari seorang pacar. Ia adalah pacar yang paling setia. Tak pernah meninggalkanku, justru aku yang sering meninggalkannya. Tak pernah berkhianat, justru aku yang sering melupakannya. Sungguh cinta yang tidak begitu adil menurutku, tapi justru para penulis tetap tulus menyampaikan cintanya.

“Kamu mau membeli buku apa, Farah?”

“Mas saja yang beli. Kan saya hanya menemani, Mas.”

“Ada buku Fiersa Besari yang terbaru loh. Ini ambil.” Aku menyodorkan satu buah buku kepada Farah.

“Hmmm.... tidak Mas. Saya menemani Mas saja.”

Aku mengiyakan. Tak mungkin aku memaksakan jika memang dia tidak mau membeli buku. Aku membeli tiga buah buku. Satu buku dari Cak Nun ‘Markesot Belajar Ngaji’, satu buah Novel ‘Geez and Ann’ dari Rintik Sedu dan satu buah novel lagi dari Fiersa Besari ‘Arah Langkah’. Farah berkeliling melihat buku-buku yang sedang ada di rak buku dan tempat display. Sesekali ia membaca buku yang sudah terbuka segelnya. Aku membayar buku-buku pilihanku tadi di kasir. Cukup murah karena sedang ada diskon.

“Kamu tidak sedang buru-buru pulang kan?” tanyaku sembari memasukkan buku itu kedalam tas ransel merahku.

Farah menggeleng. Jadi aku ada kesempatan untuk mengajaknya ke foodcourt[1] untuk mencari camilan dan minum. Aku memesankan dua steak dan dua gelas boba kesukaannya. Mungkin dengan ini aku bisa mencairkan suasana sebelum menyampaikan maksud dan tujuanku.

Kulihat dia menikmatinya. Sedangkan aku sibuk membuka buku yang sudah kubeli satu persatu. Sebuah kebiasaanku adalah selalu menyukai aroma dari buku baru. Kuhirup dalam-dalam. Alangkah menyegarkannya aroma buku-buku ini. Seperti aroma terapi tersendiri yang tidak pernah dijual di toko-toko.

Sejurus dengan itu, kami berdiskusi banyak hal termasuk buku yang sedang kubeli. Kira-kira isinya apa? Kami berdua saling menebak dan tertawa lepas jika ada yang lucu.

Kulihat jam tanganku. Pukul 21.10. Ini adalah detik-detik paling menegangkan seumur hidupku. Tak pernah sekalipun aku mengalami hal demikian. Tangan dan kakiku dingin. Dahiku mulai berembun keringat dingin. Aku sempurna menggigil di depan Farah. Tapi ku tatap Farah. Dia biasa saja, keteduhan dan ketenangan terpancar padanya. Aku yang begitu gugup.

“Farah?” kataku dengan suara yang berat. Tubuhku bergetar dengan hebat.

“Iya Mas.” Jawabnya dengan meletakkan minuman yang tadi kubelikan.

Aku memandangnya dengan tersenyum, ia pun juga membalasnya.

“Kau tahu arti dari sebuah senyuman?”

“Tentang sebuah bahagia?”

Aku menggeleng, “Bukan itu saja Farah. Senyum adalah bahasa paling sederhana; ketika jatuh cinta, kecewa, tersipu, bahagia dan segala bentuk perasaan. Senyum adalah cara kita mewakili segala perasaan”

“Jika kau selalu tersenyum padaku, itu artinya apa Mas?”

Lihat selengkapnya