September.
Ini adalah empat tahun yang lalu sebelum aku mengenal Farah. Aku Bhre. Yang dulu juga pernah patah. Lalu tumbuh lagi di kota ini. Sebagaimana tumbuhnya pinus di musim penghujan setelah kebakaran gunung Arjuno dan Panderman.
***
Sekitar delapan ribu mahasiswa berkumpul di dalam dome kampus. Dome dengan luas hall 50 x 50 meter itu riuh oleh suara mahasiswa baru yang sedang melakukan Ospek. Tetapi di kampus ini disebut Pesmaba, Pengenalan Studi Mahasiswa Baru. Dome yang dibangun pada tahun 1997 ini memiliki dua lantai yaitu lantai dasar, Basement. Dan lantai dua yaitu Hall dengan tiga pintu utama dan beberapa pintu tambahan untuk ruang transit. Adapun disekitar Hall ada tribun berbentuk letter U dengan dua tingkat. Pada lantai dasar atau basement terdapat ruang auditorium teater, ruang artis dan beberapa ruang lain yang setiap harinya digunakan untuk kantor.
Seluruh mahasiswa yang hadir di dome ini menikmati sajian akustik dari UKM Band Mahasiswa, tapi tidak bagiku. Aku memilih duduk di sektor 4 sebelah kanan dari gate A. Aku membaca sebuah buku kedua karya dari Mark Manson dengan judul The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life. Aku sedang belajar bagaimana bersikap bodo amat. Persis dengan yang sedang aku lakukan saat ini. Masa bodo dengan keadaan disekitarku. Dan benar-benar menikmati buku ini di tengah keramaian.
Perkenalkan, aku Bhre. Dibaca BhrE. Lengkapnya Bhumi Restu. Kuliah di Malang adalah satu dari sejuta alasanku untuk tumbuh. Sebuah alasan klasik untuk move on dari seseorang, mencari lingkungan baru, pengalaman baru dan dunia yang baru. Aku kuliah jurusan bahasa dan sastra indonesia. Jangan tanya, aku suka menulis atau tidak. Jawabannya adalah sangat, sangat suka. Aku sangat gila dengan menulis. Aku jatuh cinta dengan menulis bahkan sejak aku masih SD. Sebuah karya pertamaku adalah sepucuk surat untuk teman gadis dikelasku sewaktu kelas 5 SD. Entah kemana sudah karya pertamaku itu. Bagiku, menulis adalah pekerjaan untuk keabadian. Jika nanti aku telah mati, paling tidak masih ada harta paling berharga yang bisa kubagi. Itulah karya.
“Hei Bung, apa Pak Menteri sudah datang?” tanya salah seorang mahasiswa di belakangku.
“Aku bukan ajudannya. Jadi aku tidak tahu.”
Ia mengulurkan tangannya padaku, lalu aku menjabatnya.
“Aku Jon. Jonathan Salim dari Jogja.”
“Bhre. Senang berkenalan denganmu Jon. Duduklah sini.”
Aku menggeser posisi dudukku. Jon turun satu baris untuk sejajar dengan tempat dudukku. Sekilas dari raut wajahnya dia nampaknya keturungan tionghoa. Tapi yang menjadi pertanyaanku adalah kenapa ada kata Salim dibelakangnya? Salim berarti selamat. Itu adalah bahasa arab yang identik dengan Islam. Tapi aku mengurungkan pertanyaan itu untuk mendapatkan jawaban darinya. Karena hal ini bisa disebut rasis kan?
“Kau darimana Bhre?”
“Dari tadi Jon.” Candaku.
“Ternyata kau receh juga ya.”
Aku membalasnya dengan senyum. “Aku dari Surabaya Jon.”
“Oh Surabaya. Lalu apa alasanmu kuliah di Malang Bhre?”
Jon mengeluarkan roti dari kotak kuenya. Lalu menyodorkan satu roti itu kepadaku.
“Kau pernah mendengar katak dalam tempurung?”
“Ofcourse.”
“Katak dalam tempurung akan mengira dunia ini hanyalah sebatas tempurungnya. Tapi katak sawah akan mengalana dan berburu.”
Jon mengangguk, “Surabaya panas ya?”
“Tak hanya panas udaranya Jon. Tapi kalau aku terus-terusan disana hatiku juga bisa panas.”
Jon menyeringai lebar, kedua matanya menyepit tak telihat bola matanya.
“Ya Tuhan, baru juga kenal. Aku sudah jadi tempat curhat bagimu. Emang dah, cocoknya masuk Psikologi nih aku Bhre. Eh, sekarang malah masuk jurusan pendidikan bahasa inggris.”
“Tak apa. Nikmati saja hari-harimu disini Jon.”
Obrolanku dengan Jon berakhir sejak ada attention bahwa Pak Menteri sudah memasuki hall dome. Seluruh mahasiswa yang ada di hall dome dan tribun atau sektor yang mengelilingi hall dome itu di perkenankan untuk berdiri memberikan penghormatan. Kemudian dilanjutkan dengan pidato utama.
Sekilas yang kutangkap dari pidato Pak Menteri itu adalah soal mahasiswa sebagai agent of change, agen perubahan bangsa Indonesia ini. Tugas kita semua adalah membuat perubahan bukan hanya sekedar wacana sebagai revolusi mental semata. Tapi benar-benar mengubah wajah negeri ini dengan karya yang bisa kita berikan.
Para penulis dengan buku-buku dan karya lainnya yang ia tulis. Musisi dengan lagu-lagunya, guru dengan program pendidikan yang lebih layak, pengusaha dengan lapangan pekerjaannya, para ustadz dan ulama dengan nasehat petuahnya, dan para politikus bisa berkiprah untuk negeri yang konon katanya gemah ripah loh jinawi itu.
Semua orang menjadi bagian dari perubahan itu. Lantas jika kita masih begini-begini saja, bagaimana wajah peradaban negeri ini bisa tercerahkan?
***
Tingginya pendidikan seseorang memang tidak menjamin orang itu akan menjadi apa dan sesukses apa. Tergantung skill yang di milikinya dan kekuatan orang dalam. Sebenarnya lucu, tapi memang begitu adanya. Orang dalam sangat mempengaruhi kita dalam melamar pekerjaan. Maka menjadi penting bagi kita untuk tidak selalu bercita-cita menjadi pelamar kerja. Kalau bisa ya membuat lapangan kerja. Jadi sebenarnya sistem pendidikan kita dari SD sampai perguruan tinggi ini untuk belajar atau mendapatkan pekerjaan yang layak?
“Perkenalkan namaku Bhre. A......”
Belum selesai aku memperkenalkan diri anak-anak di kelas sudah menyapaku, “Hai Bhre....” kubalas mereka dengan segaris senyuman.
“Oke. Lengkapnya adalah Bhumi Restu. Aku dari Surabaya. Aku bonek[1] rek, tapi selama di Malang kita akan tetap menjadi saudara. Nggak usah tawuran yak gaes” Kataku berdiri di depan kelas. Kuacungkan dua jadi peace ku.