Waktu Yang Salah

Miftachul W. Abdullah
Chapter #4

4. Desemberain

 

Masih empat tahun sebelum mengenal Farah. Entah dia sedang dimana dan bersama siapa saat itu. Tuhan belum mempertemukanku dengannya. Aku masih baik-baik saja. Meski sedang patah dengan kisahku yang lain.

Kau tahu kenapa bulan September, Oktober, November dan Desember selalu berakhirkan huruf “R”, R berarti Rain, hujan.

***

Kala itu bulan Desember. Hujan hampir turun setiap hari. Suhu udara lebih hangat daripada beberapa bulan yang lalu. Jika diawal bulan agustus misalnya, suhu udara bisa mencapai 15oC dikala pagi hari karena memang masih akhir musim kemarau. Semua aktivitas selalu memakai jaket untuk menjaga kehangatan. Bahkan petani di daerah Batu-Cangar selalu memakainya saat pergi ke sawah dan kebun mereka. Tapi, bagaimana membuat perasaanmu tetap hangat agar kau tak mencari kehangatan dari yang lain?

Surabaya.

Kereta itu mulai berjalan pelan mendekati stasiun. Aku turun di stasiun Wonokromo. Adikku nanti yang akan menjemputku. Dua hari yang lalu aku sudah menghubunginya. Awas saja jika dia lupa. Kenapa tidak mengingatkannya bahwa hari ini aku pulang? Sebab aku ingin melihatnya, masih ingat dengan janjinya atau tidak.

Satu persatu penumpang turun. Aku membawa ranselku yang berukuran 30 L itu keluar. Tak banyak barang yang sebenarnya kubawa pulang. Paling-paling hanya tiga stell pakaian, buku, al-quran dan laptop.

Ponselku berdering.

“Mas? Sudah sampai mana?”

Oh, dia masih ingat dengan janjinya, “Aku melihatmu bocil.”

“Hei dimana?”

“Aku disamping mobil. Cepat buka pintunya.”

Alsa menoleh kebelakang. Sembari geleng-geleng kepala.

“Kau seperti hantu.”

“Kau kebanyakan nonton drama korea.”

Corolla putih keluaran 75 itu melaju dengan lambat ditengah padatnya kendaraan kota Surabaya. Ini adalah mobil kesukaanku. Biarpun tua. Tapi sejuta kenangannya. Aku tidak pernah malu memakainya. Mobil itu sudah menjadi bagian dari keluarga kami. Ini sebenarnya mobil peninggalan ayah. Satu-satunya barang yang akan selalu memutar memori kebersamaan kami ketika ayah masih hidup. Mobil yang bersejarah.

Alsa, adikku. Tidak pernah malu juga jika sesekali keluar dengan teman-temannya memakai mobil itu kesana kemari. Justru dia tetap bangga sekalipun temannya yang lain memakai mobil yang lebih ‘wah’.

Entah kenapa, ayah selalu menanamkan pada diri kami semua bahwa kita harus selalu bersyukur dengan apapun yang kita miliki saat ini. Tidak perlu memaksa untuk bergaya. Mungkin hal inilah yang membuat kami anak-anaknya selalu percaya diri dengan apa yang kami miliki. Kami meninggalkan gengsi kami. Toh, kita harus bersyukur. Di luar dari jendela kaca mobil ini, ada banyak orang yang kepanasan naik motornya, naik ojek online, becak, atau bahkan yang lalu lalang sedang berjalan. Kami sangat bersyukur dengan apa yang telah Tuhan berikan.

***

Aku mengetuk pintu lalu salam. Alsa memarkirkan mobilnya di garasi.

“Bunda, Bhre pulang.” Aku setengah berteriak di balik pintu rumah.

Terdengar suara hentakan kaki yang sedang berjalan ke arah pintu. Sudah pasti ini bunda. Ibu tercinta yang tiada ganti untuknya.

“Wa’alaikumussalam. MasyaAllah. Anak bunda.” Bunda memelukku. Aku membalas dan memberikan senyum terbaikku untuknya.

“Ini untuk bunda. Kripik tempe khas Lawang kesukaan bunda.” Aku menyerahkan satu bingkisan untuk bunda.

Tiba-tiba Alsa berdehem dari arah belakangku.

“Untukku mana?” ia dongakkan dagunya.

“Ya Tuhan. Ketinggalan di kereta.” Aku pura-pura lupa sembari menepuk jidat.

“Ih... kok bisa sih?”

Ya Tuhan ini ekspresi paling menyenangkan yang sedang kuingin lihat dari Alsa. Aku menahan tawa.

“Nih, bawa tas Mas. Dan bawakan minum untukku. Hadiahmu ada di dalam tasku.”

Aku masuk kerumah. Duduk di ruang tamu dan bunda menghampiriku.

“Bagaimana kuliahmu, Bhre?”

“Baik, Bunda. Menyenangkan kok.”

Baik bukan berarti tidak ada masalah. Ada tapi hanya masalah-masalah kecil di bangku perkulihan seperti budaya sekolah dan perguruan tinggi yang berbeda. Sekolah memiliki jam yang teratur. Masuk sekolah, pulang sekolah atau jam istirahat. Tapi di kampus ini jam nya loncat-loncat. Kadang masuk pagi, setelah itu tidak ada kuliah sampai siang. Tapi sore masuk kuliah lagi.

Kadang kuliah seringkali dianggap enak, santai, semacam ekspektasi yang biasa ku tonton di sinetron dan ftv. Padahal nyatanya kita seringkali didesak oleh deadline tugas, tugas kelompok, praktikum, presentasi, kesibukan organisasi dan ragam masalah lainnya.

“Bhre, ingat nasehat Bunda ya. Jangan pernah pacaran.”

Seketika itu aku berhenti sejenak dari aktivitasku menikmati kripik tempe yang tadi kubawakan untuk bunda yang ujung-ujungnya aku juga yang memakannya. Kalau bunda sedang memberi nasehat, berarti ini penting. Jika aku tidak menurutinya pasti ada saja hal lain yang tidak di inginkan. Misalnya jangan keluar malam hari ini, eh beneran pas keluar malam ternyata ban bocor di tengah jalan. Nggak bisa di nalar sih, tapi kadang begitu adanya.

“Kenapa bunda?” tanyaku ragu.

“Bunda tidak ingin melihatmu patah Bhre. Kamu harus terus tumbuh. Jika sekali kamu patah. Maka butuh waktu yang tidak sebentar untuk kembali memunculkan tunas-tunas yang baru. Jika kamu patah, ada yang lebih patah darimu. Kau tahu siapa yang patah?”

Lihat selengkapnya