Juli.
Ini adalah tahun kedua peralihan. Dari semester empat ke lima. Biasanya liburan semester genap cukup lama dibandingkan dengan liburan semester ganjil. Banyak juga mahasiswa yang biasanya bekerja paruh waktu di sela-sela masa libur mereka. Nah, dibagian inilah akan kujelaskan ceritaku aku bertemu Farah untuk pertamakalinya.
Kala itu aku mendapat undangan pernikahan. Dari Syam. Dia menikah dengan gadis Malang teman sebayanya di kampus. Satu jurusan katanya. Aku juga belum mengenalnya. Yang jelas aku bahagia. Temanku ada yang sudah menikah diusia mudanya. Menurutku dia hebat. Berani menikah sedangkan status keduanya masih sama-sama mahasiswa. Amazing, gila, nekat, luar biasa, keren, itulah kata-kata yang bisa diberikan untuk Syam.
Pikirku, bagaimana Syam akan menafkahi istrinya? Bagaimana membagi waktu kuliah nya? Bagaimana si istri bisa mengatur rumah tangganya apalagi jika nanti istinya hamil dan memiliki bayi? Alangkah rumitnya menjalankan rutinitas yang demikian. Tapi hidup ini adalah pilihan, sebagaimana pilihanku untuk menulis tentang Farah. Meski berat tetap saja ini tentangnya yang harus kukenang dan kuabadikan.
Akad pernikahnya akan dilaksanakan di Masjid kampus. Resepsinya dilaksanakan di Dome. Jadi, dome kampus tidak hanya digunakan untuk kegiatan kampus saja. Tapi bisa disewa oleh oranglain untuk kegiatan pernikahan, konser musik, pameran dan lain halnya.
Aku sudah membuat janji dengan teman kelas sewaktu kegiatan P2KK kala itu. Kami berkumpul terlebih dahulu untuk membuat parcel hadiah kepada Syam. Jadi rencananya malam ini kami akan berkumpul di salah satu rumah teman kami yang dekat dengan kampus. Alif, kebetulan ia asli Malang. Jadi nyaman untuk dijadikan tempat berkumpul. Sebab tidak semua kost bisa didatangi oleh lawan jenis; begitulah norma masyarakat setempat.
Aku membawa hadiah buku untuk Syam. Sebenarnya sempat bingung, kira-kira hadiah apa yang tepat untuknya. Jadi kubelikan saja buku Bekal Pengatin. Semoga saja bermanfaat bagi dirinya dan menjadi bekal untuk menciptakan keluarga yang bahagia sampai akhir hayatnya.
***
Semua yang hadir dengan khidmat mengikuti prosesi akad nikah yang sakral itu. Masjid kampus ramai oleh keluarga dan sanak famili Syam dan keluarga istrinya. Teman-teman kelas Syam dan teman dari organisasi yang diikutinya turut serta menghadiri prosesi ini.
Nampaknya prosesi akad ini akan menjadikan banyak mahasiswa baper melihatnya. Tapi bagiku ya biasa saja, sebab belum ada niatan untuk menikah. Tapi memang tak bisa di pungkiri bahwa kurasa lebih baik menikah daripada pacaran tanpa kejelasan. Ada yang mengatakan begini, “Aku memilih dia menjadi pendamping hidupku karena aku menemukan jawaban yang ku cari selama ini yang tak pernah sekalipun mendapatkan jawab itu darimu.” Ah, apaan sih. Ini prosesi akad orang. Buat apa aku berpikir yang tidak-tidak.
“Kau kapan?” Silsa mencolek ku.
Ini pertanyaan macam apa? Tidak adakah pertanyaan lain diwaktu akad dan pernikahan seseorang? Selalu saja pertanyaan itu yang muncul. Sangat rawan jika usia perempuan diatas 20 tahun dan laki-laki diatas 23 tahun. Tapi pertanyaan Silsa terlalu dini untukku.
“Sama siapa Sil? Sama kamu?” candaku.
“Ogah deh Bhre.” Silsa menjelekkan wajahnya dihadapanku.
Aku menyeringai.
“Eh Sil, itu siapa yang ada di ujung paling kiri? Adiknya Syam?” tanyaku penasaran dengan sesosok makhluk Tuhan dengan pakaian dan jilbab warna cream.
“Aku juga tak tahu. Coba kau tanya Alif.”
“Lif, yang paling pojok memakai jilbab dan baju cream kiri itu siapa?”