Waktu Yang Salah

Miftachul W. Abdullah
Chapter #7

7. Teater Persembahan

Tahun ketiga perkuliahanku. Tepat semester enam menjelang KKN.

           Ada matakuliah terakhir disemester enam. Matakuliah dengan jumlah SKS yang cukup besar, yaitu 4 SKS. Nama mata kuliah ini adalah Pokok & Tokoh Sastra Klasik. Sejak semester 3 aku mengambil peminatan di bidang Filologi.

Filologi adalah ilmu yang berusaha mengungkapkan hasil budaya bangsa melalui kajian bahasa pada peninggalan yang ada, yaitu dalam bentuk tulisan. Sedehananya, filologi ini mempelajari isi dari naskah-naskah klasik atau terdahulu, baik dari segi sastra maupun linguistiknya. Tetapi yang menjadikan mata kuliah ini 4 SKS adalah karena ada praktikum. Dan praktikum ini tidak main-main. Kami diwajibkan untuk memberikan sebuah persembahan Teater untuk khalayak umum.

Di semester ini sepertinya otakku dibuat panas oleh satu matakuliah ini. Pasalnya ini adalah praktikum terakhir yang butuh waktu yang banyak, dana yang lumayan besar, dan benar-benar harus berhasil menganalisis dan menyampaikan pokok dan tokoh sastra klasik itu sendiri.

Kebetulan pada pertunjukkan teater ini aku bertugas sebagai penulis naskah atau skenario teater. Temanku Agung sebagai sutradara. Hermin dan Aldo sebagai penanggung jawab tim penataan dan properti. Firly sebagai penanggung jawab untuk pencarian pemain. Dan ada Sari sebagai staff produksi. Temanku yang lain mencari crew setiap bidang tadi.

Kelompok kami sepakat bahwa kami akan mengangkat Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer untuk ditampilkan. Jauh sebelum teater ini akan ditampilkan aku sudah membuat satu bandel pengkajian karya Bumi Manusia ini dari bab satu hingga selesai.

Dalam satu bandel pengkajian karya itu berisi biografi Pramoedya Ananta Toer, perjalanan kepenulisannya, ideologi Pram dan novel Bumi Manusia itu sendiri.

Disini aku akan menjelaskan siapa itu Pramoedya? Ia memulai kariernya sebagai juru ketik di sebuah kantor berita milik penjajah Jepang pada tahun1942. Di samping itu, ia juga pernah bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Maka sepanjang karier militernya ia juga sering menulis.

Pada tahun 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, kemudian setelah kembalinya ia dari Belanda, ia bergabung dengan organisasi sayap kiri, yaitu Lekra[1]. Pada masa itu ia juga pernah menulis karya fiksinya berjudul Korupsi, sebuah fiksi kritik pada pemerintahan Presiden Soekarno kala itu. Sehingga hal inilah yang menjadikan seolah ada sekat antara keduanya.

Pada tahun 1965 ia ditangkap oleh pemerintah Orde Baru sebab ia menjadi bagian penting dari Lekra. Lekra dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pramoedya kemudian ditahan di Pulau Buru selama kurang lebih 14 tahun. Di sana, ia menulis Tetralogi Buru, Arus Balik, Arok Dedes, dan beberapa karya lainnya. Pemeritah Orde Baru membebaskan Pramoedya pada 1979 namun menjadikannya tahanan kota.

Nah, dibagian inilah inti dari pemetasan teater yang akan kutampilkan bulan depan. Aku membaca novel Bumi Manusia sebanyak tujuh kali. Benar-benar kubaca dengan sangat detail dan teliti. Kemudian aku menyalinnya menjadi sebuah script. Kupetakkan mana dialog, properti dan karakter-karakter tokohnya.

Setelah aku selesai melakukan tugas pertamaku ini lalu kuteruskan kepada Agung sebagai sutradaraku untuk membuat potongan-potongan adegan dan dialognya. Hermin dan Aldo sebagai penanggung jawab tim penataan dan properti untuk segera mempersiapkan kebutuhannya. Firly sebagai penanggung jawab untuk pencarian pemain agar segera mencari talent untuk memerankan siapa nanti yang akan jadi Minke, Annelies Mellema, Nyai Ontosoroh, dan tokoh-tokoh utama lainnya. Dan ada Sari sebagai staff produksi untuk membuat anggaran berapa kiranya pematasan ini memakan biaya. Bahkan jika pementaran teater ini dibuka untuk umum dan berbayar, aku sangat menyarankan.

Kami sepakat membuat deadline kapan persiapan ini harus sudah mencapai progres 30%, 50%, 75% dan 100% siap dipentaskan. Tugasku yang selesai terlebih dahulu tidak kemudian membuatku enak santai berleha-leha. Justru setelah ini aku mendampingi Agung untuk memperlancar jalannya acara dan membantu Firly untuk mencari talent. Untuk selain bidang itu aku menyerahkan sepenuhnya kepada mereka.

Tugas terdekatku adalah membantu Firly mencari talent. Kami membuka open talent untuk mahasiswa yang berminat menjadi talent dalam Teater Bumi Manusia ini. Poster dan pamflet kami sebar disetiap mading kampus, media sosial dan disetiap sudut kampus yang menjadi tempat berkumpul mahasiswa.

“Firly, kau istirahat saja. Seharian kau menempel poster ini dari kampus 1, kampus 2 dan kampus 3. Dari setiap gedung ke gedung lain. Apa kau tidak capek?”

Firly meninju ku kecil di bahu.

“Ini tugasku Bhre. Kau saja yang istirahat. Seminggu ini kan kau tidak banyak tidur untuk mensukseskan acara ini.”

“Kau serius?”

“Iya Bhre. Aku juga mau meminta tolong pacarku buat membantuku kok.”

“Eh, kok malah jadi merepotkan oranglain?” aku jadi tak enak dengan Firly.

“Tidak mengapa Bhre. Santai saja.”

Kurasa Firly ada benarnya. Aku segera pulang. Di rumah kontrakanku mungkin Jon sedang Masak. Aku lapar. Kebetulan hari ini aku sedang puasa hari kamis.

Kontrakan yang kuhuni dengan Jon dan temannya tidaklah besar. Hanya memiliki tiga buah kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tamu dan dapur.sebuah kontrakan yang terbilang sangat sederhana untukku yang hanya mahasiswa pas-pasan. Pas nggak jelek apalagi ganteng. Pas, nggak miskin-miskin amat dan nggak kaya. Intinya, sangat pas untukku. Bahkan kami telat membayar uang kontrakan saja Ibu kos pemilik kontrakan ini tidak marah sama sekali. Katanya beliau juga pernah hidup jadi mahasiswa, jadi paham betul bagaimana kondisi keuangan mahasiswa yang merantau.

Benar, Jon sedang meMasak. Baunya seperti mie instan. Jon, sekarang sudah berbeda dengan Jon yang kukenal sewaktu Masih menjadi mahasiswa baru. Ia sekarang sudah lebih alim dari kami bertiga di kontrakan. Dia biasa bangun paling awal untuk shalat shubuh. Padahal dulu aku yang biasa membangunkan dirinya yang suka mbangkong sampai jam 6 pagi.

“Bhre, kau puasa?” tanya Jon setengah berteriak. Padahal aku baru saja Masuk rumah.

“Iya Jon. Ini aku tadi beli es kolak dan gorengan. Kau sedang Masak apa?”

Aku menyelinap menghampiri Jon di dapur.

“Biasalah, Masak rendang.” Jon merebus mie instan dan telor di pancinya.

“Rendang’e Mbahmu. Lha wong mie instan rasa rendang gitu kok.”

Jon tertawa. Ingin rasanya kupukul kepala botaknya.

“Eh, dimana Rahman?”

“Dia sedang ke Masjid kota. Biasa lah berburu takjil dan buka puasa. Padahal dia tidak sedang puasa.”

Mbok ya jangan suudzan dulu Jon. Mungkin dia niatnya ikut kajian bakda maghribnya saja. Nah, bonusnya itu makan takjil dan menu buka puasanya. Toh biasanya selalu lebih kan makanan disana”

“Iya juga sih. Tahu gitu aku tadi ikut.”

“Duh, Jon. Gratisan mulu kesukaanmu. Nih minta tolong siapin di meja makan. Aku mandi dulu. Gerah ini.” Aku menyerahkan kolak dan gorengan yang tadi kubeli di belakang kampus.

***

Pementasan kurang tiga minggu lagi. Kemarin adalah hari terakhir open talent. Dan besok mulai melakukan seleksi talent untuk tokoh Minke. Aku ikut serta menentukan siapa yang layak menjadi Minke. Harus benar-benar sosok Minke itu hadir dalam jiwanya. Pertanyaan paling mendasar yang biasa kuajukan kepada calon talent sangat sederhana. Apa alasan kakak Minke menyebut Minke sudah tidak lagi Jawa? Jika mereka bisa menjawab berarti mereka layak menjadi talent Minke karena mereka benar-benar membaca dan menghayati peran seorang Minke.

Esok harinya lagi adalah seleksi talent seorang Annelies dan Nyai Ontosoroh. Hampir semua yang ikut seleksi menjadi pemeran seorang Annelies sangat totalitas menampakkan kelebihan-kelebihan yang mereka miliki. Ada pula mahasiswi blasteran Indo-Portugal yang sangat cocok memerankan seorang Annelies. Dan kuberikan pertanyaan yang mirip sebagaimana pertanyaanku untuk calon pemeran Minke. Yaitu mengapa Annelies bangga dengan Ibunya sebagai seorang Pribumi walau akhirnya ia harus kembali ke Belanda?

Gadis berdarah Indo-Portugal itu ternyata tidak bisa menjawab pertanyaanku tadi. Tapi alangkah terkejutnya aku dengan sesosok gadis yang dulu kukagumi sejak pernikahan Syam di Masjid kampus itu mengikuti seleksi sebagai talent Annelies. Sejak ia meMasuki ruang seleksi aku sudah dibuatnya kagum. Kemudian ia membuka suara untuk percakapan Annelies dengan Minke di hamparan ladang pengembaraan kuda Annelies, bawok. Ia juga mencoba beberapa dialog dan agedan ia perankan. Misalnya ketika Annelies sedang berada di persidangan hindia-belanda.

Setelah ia selesai menampilkan standart adegan yang harus diperankan. Kami para juri yang menyeleksi kemudian memberikan penilaian. Farah kami suruh untuk keluar dari lab teater. Selain dome teater, bangunan yang di bangun tahun 1997 ini juga memiliki lab mini teater. Dekat dengan lab komunikasi milik jurusan ilmu komunikasi.

Aku, Agung dan Firly berdiskusi menentukan siapa yang cocok memerankan Anelies dalam teater ini. Bagiku dia adalah Annelies. Sungguh ini adalah Annelies yang di hadirkan Pram di hadapanku. Sempurna. Dia adalah Annelies. Tania Farah Annelies. Annelies adalah nama imbuhan dariku untuknya. Kemudian hati kecilku berkata. “Aku adalah Minke, Annelies. Oh, Tidak. Sepertinya aku bukan Minke. Aku tetap Bhre.”

Aku mengisyaratkan salah satu crew yang duduk diluar pintu Masuk lab mini teater untuk memanggil Farah. Farah Masuk dengan senyum nya yang bisa membuatku sejuk. Bukan karena AC yang terpasang di ruangan ini. Tapi sejuk dengan rasa yang lain. Tidak menyentuh kulit, tapi menyentuh hati.

“Annelies.” Panggilku.

“Oh, maksudku Farah.” Aku begitu gugup. Sampai lupa membaca name tag yang tertera di dadanya dan nama di buku urutan calon talent Annelies.

“Iya Mas, Bhre.” Katanya dengan sebuah senyum pertama yang membuat jantungku berhenti sejenak. Sebuah senyum yang sempurna.

Tunggu sebentar. Dia tahu namaku darimana? Aku belum pernah berkenalan dengannya sama sekali. Ya Tuhan, aku lupa. Di meja juri tertera namaku dengan jelas. Aku lebih dulu ge-er mengira ia mengenalku sebelumnya. Entah darimana, mungkin tulisan-tulisanku di majalah dan koran kampus, atau instagram dan twitterku?

“Kau sempurna menjadi Annelies.” Aku mengacungkan dua jempol untuknya. Kulihat senyum Farah kembali mengembang. Wajahnya cerah. Hidungnya yang sedikit bangir itu ditutupi oleh tangan kanannya yang halus. Entah kenapa perempuan selalu menutup mulut jika bahagia dan menangis. Aku juga bingung.

“Selamat Farah.” Agung memberikan ucapan selamat kepadanya.

“Selamat ya dek. Kau luar biasa.” Firly pun mengucapkan selamat.

Farah kemudian memberikan ucapan terimakasih dan berjabat tangan dengan Agung dan Firly. Aku? Aku menolaknya dengan menyedekapkan kedua telapak tanganku sebelum ia menjabat tanganku. Kenapa demikian? Aku takut rasa lembut telapak tangannya tidak pernah bisa hilang dari tanganku. Bahkan sekalipun kucuci dengan air tanah sebanyak tujuh kali.

***

Aku sedang duduk di kursi penonton. Membaca ulang novel milik Pram. Beberapa crew yang lain sedang menyiapkan properti. Kami memilih mencicil properti di lokasi teater lebih awal agar hasilnya maksimal, kami harus sangat detail mempersiapkan. Kami bersemangat dengan mata kuliah yang berat ini bukan karena mengejar nilai semata, tapi bagiku lebih tepatnya ini kesukaanku. Aku suka teater. Jadi ini semua harus dikerjakan sebaik mungkin. Dan selayak mungkin untuk di tonton.

Aku memperbaiki posisi dudukku. Dan mengubah posisi sandaran kursiku sedikit kebelakang. Dibagian kanan kursi, ada meja portable yang bisa satu paket dengan kursi. Tinggal menariknya keatas dan memposisikan di depan dada kita.

Tiba-tiba dengan tergopoh Sari Masuk menghampiriku, dia nampak sangat gugup dan menangis. Aku langsung dibuat bingung dan terkejut olehnya. Crew yang lain juga spontan berhenti dari aktivitasnya. Tatapannya penuh penasaran pada Sari dan memilih untuk menghampirinya.

“Hei ada apa Sari?” tanyaku.

“Kamu baik-baik saja kan?” tanya Hermin salah satu crew properti. Ia bahkan Masih membawa satu buah kabel di tangannya. Belum sempat meletakkannya karena langsung menghampiri Sari.

“Kostku kemalingan. Uang anggaran teater dan laptopku hilang.” Tangis Sari semakin pecah. Badannya gemetaran. Rautnya panik dan penuh ketakukan.

Aku sangat terkejut mendengarnya. Kuangkat kedua tanganku dan kuletakkan diatas kepalaku. Aku menarik nafas dalam-dalam dan mencoba untuk setenang mungkin.

“Kok bisa sih Sar? Kamu tidak mengunci kamar kostmu?” tanya Dinda yang juga kaget mendengar kabar dari Sari.

Sari hanya menangis sesenggukan. “Maaf, aku benar-benar sangat teledor.”

Agung tiba-tiba datang Masuk ke dome teater. Sepertinya baru saja selesai kuliah. Dia mengulang satu mata kuliah untuk semester genap satu tahun lalu. Jadi ikut kuliah dengan adik tingkatnya.

“Kenapa Sari?” Agung yang baru datang bingung melihat kami berkerumun.

Sari terdiam. Sepertinya dia tidak sanggup menjawab pertanyaan Agung. Dia mungkin takut dengan Agung jika kemarahan Agung meledak karena musibah ini. Dia adalah sutradara yang mengambil penuh jalannya teater ini.

“Tidak apa-apa Gung. Hanya Masalah ringan.” Aku mencoba menenangkan Agung.

“Tapi kenapa Sari harus menangis dan wajah kalian semua bingung dan ceMas semacam ini?”

“Gung, aku sangat minta maaf. Aku bener-bener bodoh. Kost ku kemalingan. Semua uang teater dan laptopku hilang diambil.” Jelas Sari dengan memegang tangan Agung. Berharap Agung bisa memaafkannya.

Agung melepas tangan Sari.

“Sumpah? Kenapa bisa begitu Sari? Kamu tidak mengunci pintu kamar kosmu? Duh. Arrrggh....” wajah Agung merah padam. Ia memukul kursi di samping Bhre. Tangis Sari makin deras. Pertanyaan Agung menghujam jantung Sari bagai suara petir yang menyambar bumi. Lengkap, hujan dan petir.

“Maaf Gung. Ini murni kesalahanku....Kunci kamarku Masih menempel....ketika aku berangkat....ke kampus.” Sari menjelaskan dengan terbata dan sesenggukan.

“Kenapa bisa seceroboh ini sih Sar? Penampilan kita tinggal beberapa hari lagi lho. Bagaimana kita bisa membelanjakan properti jika uangnya tidak ada? Hah?” bentak Agung.

“Gung. ini semua bisa kita cari solusinya bareng-bareng. Tidak usah emosi seperti itu.” Aku mencoba menenangkan.

Lihat selengkapnya