Waktu Yang Salah

Miftachul W. Abdullah
Chapter #8

8. Pendakian

Aku sedang sibuk menunggu dosen pembimbingku. Katanya pukul delapan pagi, tapi sepertinya beliau sedang ada kesibukkan lain. Kulihat beberapa mahasiswa yang lain juga sedang menunggu di depan ruang dosen Fakultas Bahasa.

           Sesekali mahasiswa yang lain juga menyapaku. Kita sama-sama mahasiswa akhir yang sedang di deadline untuk tugas akhir. Biar segera lulus katanya. Padahal soal lulus kapan, itu bukanlah Masalah yang besar bagiku. Tidak harus lulus tepat waktu, yang penting lulus di waktu yang tepat. Itu lebih baik, daripada rasa yang tepat di waktu yang salah. Iya kan?

Aku sebenarnya tak mengapa jika lulus telat. Toh, yang membayar uang kuliahku juga aku sendiri. Aku tidak memakai uang bunda sama sekali. Tapi tidak kemudian ini membuatku egois bahwa aku bisa bertindak semahuku. Bahkan untuk style potongan rambut saja, aku ikut apa kata bunda. Apalagi jika urusan lulus kuliah yang setiap orangtua selalu mengharapkan anaknya untuk segera lulus.

           Pernah suatu waktu aku semester tiga rambutku gondrong. Panjangnya sebahu, menutupi telingaku. Sewaktu aku pulang. Bunda menutup pintunya rapat-rapat. Katanya aku nggak ganteng lagi kalau berambut gondrong dan akupun tertawa. Katanya, kurang rapi. Kumal dan tidak terawat. Padahal menurutku penampilanku baik-baik saja. Badanku wangi, bajuku rapi, rambutku kadang kuikat juga kebelakang. Tapi tetap saja bagi bunda itu kurang rapi. Padahal hampir semua anak satra juga berambut panjang.

           Saat ini rambutku tidak terlalu panjang. Hanya sedikit menutupi telinga dan teruai. Jika rambutku pendek, aku lebih menyukai gaya rambut dengan sisir arah ke kanan. Tetapi jika cukup panjang seperti saat ini biasa ku belah tengah.

Sebagaimana anak sastra pada umumnya, aku pergi ke kampus hanya menggunakan totebag dan beberapa buah buku. Kaos oblong dengan ditutupi jaket dan celana jeans. Hanya saja, celanaku tidak robek. Entah mengapa aku rasa kurang pantas saja jika memakai celana robek. Sejak dulu aku juga pantang untuk merokok. Tapi beli kopi atau nongkrong Masih sering kulakukan. Sebenarnya rokok dan kopi bukanlah yang romantis juga. Toh, banyak pecandu kopi yang tidak merokok. Atau pecandu rokok yang tidak suka kopi. Hari ini tidak semua orang merokok tembakau, tapi sudah lebih modern, sebut saja rokok elektrik dengan beragam rasa. Penggunanya cukup menetesi cairan liquid pada alatnya dan mengisi ulang baterai vape nya apabila mulai habis.

“Mas, menunggu siapa?” tanya salah seorang dosen yang baru saja keluar dari ruang dosen.

“Pak Rahmat, Bu.”

“Pak Rahmat tidak di ruang dosen. Beliau ada rapat dengan kaprodi. Coba temui di ruang meeting.” Ibu paruh baya mengarahkanku.

Sebenarnya aku kesal. Menunggu dengan waktu yang cukup lama tetapi tidak sesuai janji. Tapi selalu saja nasehat bunda terngiang di telingaku. Jangan pernah membenci guru atau dosenmu, nanti tidak kau dapatkan keberkahannya. Itu saja yang selalu terngiang jika aku hendak kesal dengan dosen pembimbingku ini.

Aku bergegas ke ruang meeting. Benar saja, Pak Rahmat ada disana. Sedang membimbing seorang gadis muda berbaju hitam dengan rambut terurai sepunggung. Ia memakai totebag putih dan sepatu sneaker warna putih.

“Oh Bhre. Darimana saja kau? Bapak menunggumu sejak pukul 8 disini.” Kata Pak Rahmat tanpa ada satupun raut wajah bersalah dan muka berdosa. Ingin rasanya kesal. Tapi harus sabar. Ini ujian. Sebuah ujian untuk mendapat hasil yang lebih baik.

“Iya Pak maaf. Saya tadi menunggu di ruang dosen sebagaimana kata Pak Rahmat kemarin sore.”

“Ya Allah. Saya lupa. Maaf ya Bhre. Maklum, bapak sudah tua. Banyak lupa. Dan tiga tahun lagi pensiun.” Kali ini kulihat ada raut wajah bersalah pada Pak Rahmat. Mungkin dia memang sedang lupa. Sudah uzur memang usianya.

“Iya Pak. Nggak apa-apa.”

Gadis itu selesai melakukan bimbingan. Kini giliranku untuk bimbingan. Pak Rahmat membolak balik tugas akhirku. Kemudian memintaku mengeluarkan tugas akhir sebelumnya yang sudah di coret-coret olehnya. Rupanya Pak Rahmat ingin mengoreksi hasil revisi yang sebelumnya sudah di coret dan diberikannya catatan.

Sekitar 30 menit aku melakukan bimbingan di dalam ruang meeting yang hanya menyisakan aku dan Pak Rahmat. Bahkan dengan baiknya Pak Rahmat memberiku minum, konsumsi meeting yang lebih. Aku menerimanya. Lalu sebelum bimbingan ini selesai, Pak Rahmat memintaku untuk segera membuat lembar persetujuan sidang.

Kan, benar apa kata bundaku. Kalau kita sabar menghadapi guru atau dosen kita pasti ada hikmah dan berkahnya. Andai saja tadi aku marah-marah dengan Pak Rahmat, mungkin aku tidak mendapatkan rekomendasi untuk ujian sidang. Padahal memang aku yang benar dan Pak Rahmat yang salah.

Selesai bimbingan aku keluar menuju lift kampus. Tiba-tiba ada seseorang memanggilku dengan cukup keras.

“Bhre.” Teriaknya. Aku menoleh kebelakang. Ia berlajan setengah berlari kearahku. Dan tentu aku tahu siapa yang sedang memanggilku ini. Jon.

Ia menepuk pundakku.

“Pekan depan kamu ada acara kah?” nafasnya Masih tersengal.

“Kenapa memangnya?”

“Ada temanku anak teknik. Dia ngajak aku ke Arjuno. Katanya cuma Arjuno yang belum dia daki. Dan akhir bulan nanti dia harus balik ke Kalimantan katanya.”

“Terus?” tanyaku.

“Kamu dua kali sudah kesana. Jadi mau kan ikut?” kulihat wajah Jon. Ini anak memelas sekali. Keringat didahinya karena berlari mengejarku menambah wajah melasnya. Apalagi kepala botaknya yang ingin sekali aku jitak.

“Asal logistik sudah siap aku bisa menemanimu. Tapi kalau belum siap apa-apa jangan mengajakku. Satu lagi, kalau kamu tidak mau jongging satu minggu sebelum pendakian aku juga tidak mau. Naik gunung tidak sekedar naik Jon. Butuh persiapan.”

“Oke siap kalau cuma itu saja. Ke gerai outdoor yuk Bhre. Aku mau beli sleeping bag[1].”

“Boleh. Asal kamu traktir aku makan siang.”

“Oke.”

***

Di sebuah belahan bumi selain yang di injak oleh Bhre dan Jon, ada satu pasangan muda yang juga sedang berada gerai outdoor membeli keperluan pendakian. Namanya Ian. Ia pergi dengan seorang gadis dengan rambut panjang terurai kebelakang. Memakai celana kulot dengan flatshoes berwarna hitam.

Gadis itu bernama Farah. Tania Farah. Seorang gadis yang pernah berperan sebagai seorang Annelies. Farah adalah pacar Ian. Mereka sudah pacaran sejak lama. Sejak Farah Masih menjadi mahasiswa baru. Sejak mahasiswa baru, Farah sudah menjadi ratu dari seluruh mahasiswi yang ada di fakultasnya, fakultas psikologi.

Banyak kakak tingkat yang ingin mendapatkan hatinya. Mungkin siapa saja yang mendapatkannya akan beruntung. Bahkan jikalaupun sudah ada yang mendapatkannya sebagaimana Ian mendapatkan hatinya, bisa saja banyak mahasiswa lain yang ingin merebut hati Farah darinya.

Semester tiga, Farah menjadi duta psikologi dan semester empat dia sudah menjadi duta kampus atau putra putri kampus. Kemana-mana dia selalu mewakili kampus ketika ada event putra-putri kampus, karena kecantikannya dan kecerdasannya. Beberapa promosi fakultas banyak di perankan juga olehnya, menjadi model pamflet dan baleho kampus, dan menjadi talent dalam video profil kampus beberapakali.

Hari ini dia adalah milik Ian. Kakak tingkatnya satu fakultas. Dia adalah kakak tingkatnya yang pernah menjadi gubernur mahasiswa di fakultas psikologi. Maka sepadan jika Farah mendapatkan pacar seperti Ian. Tapi tidak ada yang tahu catatan takdir, apakah dia akan selalu bersama sampai lulus kuliah dan menikah, atau takdir berkehendak lain dengan memisahkannya?

Seperti lazimnya orang yang sedang berpacaran, pasti ia akan pergi kemana-mana berdua. Pergi makan, menonton ke bioskop, belanja ke mall, berangkat dan pulang bareng sewaktu kuliah, pergi berlibur jika musim libur semester telah tiba. Dan banyak hal lain yang bisa mereka lakukan berdua.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki pacar. Tapi jika tidak memiliki pacar seperti Bhre dan Jon ya mungkin akan pergi kemana-mana sendiri atau dengan temannya. Bahkan jika boleh di bilang, menjadi jomblo harus siap-siap jika hari-harinya dipenuhi dengan kesendirian. Apalagi jika semester tua, sedangkan teman-temannya sudah lulus kuliah.

Mereka yang sendiri maka sehari-hari tidak akan bisa mengirim pesan atau dikirim pesan oleh cewek. Paling-paling isi room chatnya hanya berisi grup-grup organisasi, chat keluarga, atau orang-orang yang hanya ada perlunya.

Jikalaupun dia berani mengirim pesan kepada seorang cewek, mungkin sedang proses pendekatan. Tentu hal ini membutuhkan proses dan kesabaran yang ekstra. Harus siap-siap menerima kenyataan jika pesannya tidak terbalas, atau terbalas setelah berjam-jam dan berhari-hari. Sedangkan jika dilihat status akunnya sedang online. Ini hal yang paling menyesakkan.

Tapi ada banyak juga manfaat hidup sendiri. Banyak hal yang bisa dilakukannya dengan teman sebaya, tanpa kekangan dari pacar yang sebenarnya tidak ada hak apa-apa atasnya. Toh, kadang uang jajan Masih dari orangtua, begitu mau traktir dan bayar belanjaan pacarnya?

“Mas jadi sama siapa saja ke Arjuno?” tanya Farah.

“Faruq, Jon, dan temannya Jon.”

“Jadi hanya empat orang saja?”

“Iya.”

“Bagaimana jika aku ikut. Nanti aku bisa mengajak Melinda. Dia pengen sekali naik gunung. Aku juga baru sekali naik gunung Mas. Itu pun hanya ke Panderman.”

Farah memelas. Menatap mata Ian dan memegang tangannya.

“Tidak Farah. Ini musim penghujan. Bahaya. Jangan ikut ya.”

Farah diam. Wajahnya Masam dan cemberut. Tapi tetap saja dia terlihat cantik. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, kecantikannya bak Ken Dedes yang diperebutkan banyak lelaki.

Mungkin Farah mewarisi moyangnya, Ken Dedes yang ada di Singosari, Malang. Konon Ken Dedes adalah perempuan paling cantik pada zamannya. Bahkan jika di lihat dari penggambaran para sastrawan, boleh jadi Ken Dedes merupakan wanita yang paling cantik di nusantara. Saking cantiknya, ia menjadi perebutan banyak lelaki berdarah biru maupun lelaki pada umumnya hingga mengakibatkan pertumpahan darah.

Sejak dulu, kota Malang dan Bandung selalu di identikkan oleh sebagian orang dengan kota yang memiliki banyak gadis berparas cantik. Dan statment[2] itu mungkin ada benarnya. Melekat pada Farah.

“Farah, aku mohon. Nggak usah ikut ya.”

Lihat selengkapnya