Rerata pendaki akan beristirahat seharian setelah pendakian. Jika langsung beraktivitas rasanya terlalu berat. Apalagi jika harus naik turun tangga jika di kampus. Kaki rasanya gemetaran. Urat-urat kaki masih terasa lemas untuk menahan tubuh. Jadi memilih waktu yang tepat bagi mahasiswa sangat ditekankan. Kadang akhir pekan saja tidak cukup jika memilih pendakian yang memakan waktu 3 sampai 4 hari. Paling-paling akan membolos untuk hari senin dan selasanya.
Satu buah pesan masuk. Dari Ian.
“Bhre, aku lupa kalau kartu SIM ku masih ada di tas canglong milikmu.”
“Sebentar, kucek dulu ya.” Aku mengeceknya di tasku. Ternyata benar. Ada di dalam tasku.
“Jika tidak merepotkanmu. Bisakah kau titipkan Farah? Aku sudah di luar Jawa ini. Aku di Kalimantan.”
Aku diam seketika? Sebuah pertanyaan sederhana terlontar dalam benakku. Untuk apa dititipkan Farah? Bukankah aku bisa langsung mengirimnya melalui pos?
Belum sempat kubalas pesannya, ia sudah mengirim satu pesan lagi.
“Ini nomor Farah. Coba kau hubungi dia ya.”
“Oke baik.”
Kau kira selama ini aku punya nomor Farah? Tidak. Aku tidak pernah punya nomornya. Hanya kenal saja bagiku sudah lebih dari cukup. Hari ini aku mendapatkan nomornya tanpa pernah minta kepada siapapun. Apakah Tuhan sengaja memberiku nomornya? Hei, Bhre sadarlah. Dia sudah ada yang punya.
Aku mulai memberanikan diri untuk memulai mengetik sebuah pesan pada Farah.
“Assalamua’alaikum. Mohon Maaf mengganggu. Saya Bhre. Hanya ingin menyampaikan amanah Ian untuk Farah. Jadi, Ian mau menitipkan kartu SIM nya kepada Farah. Kiranya kapan bisa saya antarkan?” terkirim. Tapi Masih centang satu.
Dua jam kemudian ponselku berbunyi. Dengan semangat aku meraih ponselku dalam saku. Kukira dari Farah. Ternyata pesan dari orang-orang yang biasa menwarkan pinjaman melalui sms. Hampir setiap hari ada saja begitu. Tapi mereka dapat nomor darimana? Apa pendaftaran simcard menggunakan kartu indetitas asli ini dijual oleh pemerintah kepada perusahaan-perusahaan finance? Oh, sepertinya tidak. Aku berpikir terlalu jauh.
“Kling” suara pesan Masuk.
Sempurna. Ini balasan dari Farah. Mataku berbinar. Jempolku sudah tak sabar membukanya.
“Wa’alaikumussalam Mas Bhre. Terimakasih ya sebelumnya. Maaf jika merepotkan Mas Bhre.”
Dalam hatiku bergumam, “Aku suka jika kamu yang merepotkanku Farah.”
Lain hati lain pula jari. Jariku malah mengetik, “Iya Mbak Farah nggak pa-pa. Jadi bagaimana saya mengantarkan SIM ini?”
“Oh iya lupa. Saya kirim maps alamat kos saya ya Mas.” Balasnya. Kemudian di iringi maps alamat kosnya.
Aku melihat lokasi maps itu. Ternyata tak jauh dari gerbang utama bagian belakang kampus. Berarti tidak jauh juga dari kontrakanku. Lokasi kost Farah juga termasuk jalan yang biasa ku lalui setiap hari jika ke kampus.
“Jadi kapan bisa saya kirim ke kos Mbak Farah?”
“Seluangnya Mas Bhre saja.”
“Bagaimana kalau sore ini saya antarkan?”
“Baik Mas.”
Rasanya sore hari ini kok lama ya? Sebelumnya terasa begitu cepat. Bahkan seminggu serasa sehari. Tapi hanya untuk menunggu dari pagi hingga sore di hari ini bagiku sangat lama. Apa ada yang salah dengan hari ini? Kok serasa tidak sabar aku ingin bertemu Farah.
“Selamat sore Mbak Farah. Apa Mbak Farah sudah ada di kos?” pesanku. Langsung centang dua biru. Berarti dia sedang memegang ponselnya.
“Wah, maaf banget ya Mas Bhre. Aku sedang ada perlu di luar. Jadi mungkin nanti malam baru pulang ke kos. Gimana Mas? Malam nanti atau besok saja?”
“Nggak pa-pa Mbak. Besok saja.” Jawabku singkat. Padahal sebelumnya ada sebuah kalimat yang sengaja ku hapus untuk tidak dikirim. Kalimat itu hanya imbuhan, “Takutnya Mbak Farah letih seharian beraktivitas. Jadi lebih baik langsung istirahat saja Farah.”
Hanya di read oleh Farah. Tidak dibalas. Tak mengapa. Ini pun juga tidak buruk kok daripada chatku tidak dibuka sama sekali.
***
Ini adalah hari ketiga dari janjianku dengan Farah. Selalu tak berujung temu jika kami saling berjanji. Tepat pada hari ke empat aku tak sengaja lewat di dekat kos Farah. Lalu ku chat lah Farah.
“Mbak Farah, apa sedang di kost?”
Lima belas menit kemudian baru terbalas.
“Iya Mas. Ada apa?”
“Saya sedang berada di dekat kos Mbak Farah.”
“Loh serius? Kok nggak bilang? Duh, maaf ya Mas. Kemarin-kemarin selalu saja tidak bisa bertemu Mas Bhre.”
Aku tersenyum di balik layar ponselku.
“Kita selalu berjanji, tapi Tuhan selalu tak menghadiahkan temu. Tapi jika tak saling berjanji, justru Tuhan menghadiahkan temu. Apakah ini yang disebut rencana Tuhan selalu lebih baik dari hamba-Nya?” pesan ini urung kusampaikan. Justru aku malah menghapusnya dan mengetikan dengan kalimat yang berbeda.
“Kebetulan tadi saya lewat sini. Pulang kuliah Mbak”
“Baik Mas. Tunggu di depan kos saya ya”
“Siap”
Dari jarak sekitar lima belas meter, seorang gadis melambaikan tangannya kearahku. Gadis itu memakai kaos biasa lalu di tutupi dengan sebuah jaket jeans.
“Oh jadi ini toh kos Mbak Farah. Ini mah saya tahu. Ada temen kelas saya juga yang tinggal di kos ini. Ini juga jalan yang biasa saya lewati jika ke kampus.”
“Oh gitu. Maaf ya Mas. Selalu saja kita belum bisa bertemu. Eh, pas nggak direncanain malah bisa ketemu. Emang deh, Tuhan itu selalu unik dengan rencana-Nya.”
“Iya Mbak.”
“Mas, bisa nggak panggil saya Farah atau Dek saja? Saya lebih muda loh dibawah Mas Bhre.”
“Oh maaf Mbak Fah. Eh, Farah. Oh dek Farah. Duh, kok susah gini ya.” Aku beneran gugup dan bicara dengan belepotan.
Farah tertawa mendengarku. Aku tersipu. Tetapi beruntungnya aku bisa melihat tawanya sedekat ini. Kurasa Tuhan memang benar-benar maha sempurna. Kesempurnaanya itu benar adanya, Dia mampu menciptakan manusia bak bidadari seperti Farah. Sangat serasi dengan namanya, Tania Farah.
***
Farah berbaring rebahan diatas ranjang tempat tidurnya sembari menggenggam ponselnya. Sesekali scroll keatas dan kebawah. Seperti kebanyakan anak muda lainnya. Rebahan seolah-olah sudah menjadi hobbynya.
“Paus, tidur di kosku yuk? Aku sendirian nih di kos.” Dari Melinda.
“Penghuninya pada pulang Mel?” balas Farah cepat.
“Iya, aku aja nih sendirian”
“Siapin makan ya? Lapar nih. Seriusan.”
“Kamu selalu lapar. Tapi kenapa nggak gemuk-gemuk ya?”
“Ye... ini mah anugrah dari Tuhan Mel. Aku makan banyak tapi gak bisa gemuk.”
“Eh Paus, itu bukan anugerah. Kamu aja yang cacingan.” Melinda mengejek Farah. Lalu dia kirim emotikon minta maaf.
Farah membalasnya dengan emotikon menangis.
“Udahlah. Pokoknya aku mau disiapin nasi goreng kulit. Aku tamu. Tamu wajib di sambut loh.”
“Andai tamunya bukan kamu. Bukan lagi ku sambut, tapi ku sambit.” Melinda juga mengirim stiker emotikon kesal.
Farah membalasnya dengan stiker emotikon menangis haru.
Tepat sore hari, Farah bertandang ke kos Melinda. Kosnya berada di perumahan depan kampus. Nama perumahannya bukit cemara delapan. Sebuah kawasan perumahan dengan harga sewa kos pertahun yang cukup mahal. Selain aksesnya yang sangat dekat dengan kampus, fasilitas yang ditawarkan pun lebih lengkap. Springbed, kamar mandi dalam, ac, ruang tamu dan dapur untuk semua penghuni kos.
Benar saja. Melinda sendirian. Dia sengaja tidak pulang ke Bekasi memang. Toh ini hanya liburan sebentar yang harus di isinya dengan program PPL, yaitu sebuah program magang di sekolah-sekolah untuk mengajar. Jadi, Melinda adalah mahasiswi jurusan PGSD. Dia sahabat Farah sejak masih mahasiswa baru. Dia mengenal Farah sewaktu ada acara penutupan student day di hellypad kampus, bertepatan juga dengan UKM Fair. Sebuah pengenalan unit kegiatan mahasiswa yang ada di kampus. Kala itu Melinda dan Farah memilih UKM yang sama, Putra dan Putri kampus.
“Eh Paus. Mana hodiemu yang bergambar ikan paus - yang biasa kamu pakai itu?”
“Lagi malas memakainya, Mel.”
“Kamu sedang marahan dengan Ian?” selidik Melinda.
“Entah aku juga bingung. Sejak kita jauh, aku di Malang dan dia di Kalimantan kok kita jadi saling bertengkar ya? Hampir tiap hari ada aja yang kita ributin.”
“LDR[1] emang sulit. Aku pernah merasakan hal yang sama denganmu. Aku pernah cerita kan, kalau pacarku kuliah di Jakarta sedangkan aku di Malang.”
“Tapi apakah kisah cintaku akan sama sepertimu Mel?”
“Eh, jangan. Jangan putus sama Ian.” Melinda memeluk Farah.
“Tapi kami selalu bertengkar hanya untuk masalah-masalah yang sepele saja. Lama membalas kami jadi saling curiga. Aku keluar, dikira jalan dengan cowok. Padahal jelas-jelas aku yang pernah melihat Ian jalan bareng dengan seorang cewek di story medsosnya.”
“Mungkin itu hanya teman atau saudaranya kali, beib. Positif thinking saja. Yuk saling percaya yuk.” Melinda mencoba menenangkan Farah.
“Mel, bagaimana rasanya hidup sendiri tanpa pacar sepertimu saat ini?”
Melinda tersenyum, lalu malah jadi tertawa.
“Kenapa kamu tanya begitu?”
“Aku serius tanya Mel” Farah merengek. Wajahnya dia tekuk. Persis seperti bungan tulip yang masih kuncup. Malu-malu dengan matahari yang mulai meninggi.