Aku memang suka menulis. Tapi sejak mengenal Farah, aku jadi lebih giat lagi membaca dan menulis. Menulis apa saja. Lebih banyak menulis puisi dan prosa. Terlebih lagi bahwa aku biasa mengisi media sosialku dengan konten-konten tulisanku, walau sesekali juga memposting foto diriku.
Sejak mengenal Farah. Sepertinya tulisan-tulisanku berubah dan tertuju padanya. Entah dia membaca atau tidak, sejujurnya itu adalah Farah. Rata-rata tulisanku adalah tentang cinta. Dan aku akan senang jika story yang kubuat itu dilihatnya. Walaupun tidak dibaca atau hanya dilihat saja, aku pun sudah senang. Ah, jadi aku ini sebenarnya apa? Menyukai gadis yang sudah menjadi pacar orang lain? Betapa naifnya aku.
Oh, Farah. Andai aku punya kesempatan untuk menjadi kekasihmu. Mungkin sudah puluhan buku yang kuciptakan untukmu, tentangmu. Sayangnya aku bukan siapa-siapa untukmu. Jadi boleh kan jika aku diam-diam menulis untukmu? Atau membuat cerita yang sebenarnya itu adalah tentangmu.
Pada suatu kesempatan aku sedang duduk bersama dengan Jon di ruang tamu kontrakan kami. Aku sedang bermain gitar usai membaca buku. Jon datang menghampiriku dengan dua buah cangkir kopi yang sengaja ia buatkan untukku. Tumben anak ini membuatkanku kopi. Pasti ada maunya. Dan ternyata dugaanku benar. Jon ada maunya.
“Bhre, aku bisa meminta tolong padamu kan?” ini adalah sebuah pertanyaan yang tidak mengadung pilihan. Maksud dan tujuan Jon sangat jelas. Ini adalah kalimat pertanyaan sekaligus pernyataan yang menjebak. Ia menggunakan kata ‘kan’ bukan ‘kah’ sehingga arti keduanya berbeda secara bahasa. Aku paham betul sebab aku adalah anak sastra bahasa indonesia.
“Oh jadi kopi ini alat sogoknya? Kurang Jon. Harusnya kau bawa kopi, gorengan, sosis bakar atau kentang goreng. Biar lengkap.”
“Belum juga apa-apa, jiwa kapitalismu sudah keluar Bhre.”
“Terus apa? Aku bisa membantumu apa?”
“Aku mau serius dengan pacarku Bhre. Aku ingin melamarnya pekan depan, tepat malam jumat. Katanya itu hari baik.”
Mendengar ujaran Jon aku tersedak. Setengah kaget aku mendengarnya. Selain kopi yang dibawanya Masih panas, kalimat yang baru saja dilontarkannya menggelitik di telingaku.
“Kau serius Jon?”
“Aku serius Bhre. Setidaknya sewaktu wisuda nanti aku sudah punya pasangan yang jelas statusnya.”
“Eh tunggu sebentar. Ini pacarmu yang mana yang mau kau ajak serius?”
“Ya Firly temanmu teater itu Bhre.”
“Jadi kau serius dengannya Jon. Dulu terakhir kali yang kutahu Firly masih sama pacarnya anak Pertanian yang pernah membantunya memasang poster teater bumi manusia di kampus. Eh, sekarang sama kamu, Jon? Padahal kukira hubunganmu tidak seserius ini. Tampangmu tidak meyakinkan sama sekali. Tapi kali ini aku salut padamu. Jadi aku bisa membantumu apa?” aku harus mengejeknya terlebih dahulu untuk kemudian menyanjung Jon. Menjatuhkannya lalu menerbangkannya.
“Kalau aku sudah serius. Aku tidak pernah bercanda Bhre. Jadi tolong buatkan konsep lamaranku ya Bhre.”
Jleb. Jon menusuk jantungku. Itu adalah sebuah kalimat yang langsung menancap di benakku. Konsep lamaran? Aku tidak tahu bagaimana maksud Jon. Aku juga belum pernah lamaran. Yang ku bisai hanya konsep wedding atau dekorasi lamaran saja. Aku belum pernah mencoba membuat konsep lamaran. Biasanya pihak calon pelamar atau yang di lamar menentukkan konsepnya. Aku dan tim WO Sakinah hanya membantu di dekorasinya.
Jon membuatku terus berpikir selama tiga hari tiga malam untuk menentukan konsepnya. Konsep ini kemudian kuteruskan kepada tim WO sakinah. Sebenarnya Firly calon nya Jon juga bagian dari tim WO Sakinah ini. Hanya saja aku malu untuk meminta pendapat darinya. Aku ingin membuatkan untuknya sebuah kejutan. Jika Firly ikut turun tangan dalam hal ini tentu tidak akan jadi kejutan untuknya.
Tepat satu minggu. Aku dan tim datang kerumah Firly untuk melakukan dekorasi. Rumahnya ada di Malang selatan. Aku harus menyewa mobil pick up untuk membawa barang-barang kesana. Sigit dan Haura membantuku.
“Mas Bhre, sepertinya ada barang yang tertinggal di kantor. Lampu gantungnya tidak ada” kata Sigit.
“Apa Haura juga tidak merasa meMasukkannya ke dalam kardus lighting?”
“Tidak Mas, aku hanya mengeMasi properti hiasan bunga dan backdrop.”
“Ya sudah nggak pa-pa. Kalian lanjutkan saja. Aku akan kembali ke kantor untuk mengambilnya.”
Dari sini bisa di tebak, usaha kami benar-benar masih baru. Seringkali ada saja hal-hal kecil yang luput padahal sudah kami buatkan list yang harus dibawa. Dan kantor yang kami maksud sebenarnya bukanlah sebuah kantor yang bagus layaknya ruko di tepi jalan raya. Kantor kami hanyalah kontrakan yang berisi anak-anak teater. Yang menjadi tim juga semuanya anak teater. Ini usaha kami bersama, hanya saja aku yang menggagas nya. Menurutku ini penting, sebab aku yang dulu pernah menjadi ketua UKM Teater berpikir, jika kita hanya mengandalkan pendanaan dari kampus tentu tidak akan cukup. Sebab program kerja yang diadakan UKM Teater seringkali memakan biaya yang cukup besar. Menjalin kerjasama dengan sponsorhip juga tidak begitu besar hasilnya. Jadi membuat sebuah unit bisnis untuk ukm ini menjadi sebuah solusi.
Konsep yang kugagas dalam acara lamaran Jon sebenarnya sederhana sebagaimana umumnya. Tapi yang unik adalah, aku meminta Jon dan Firly jauh-jauh hari untuk membuat sebuah blue print yang berisi visi-misinya selama menikah nanti. Dan apa saja yang akan mereka gapai setelah menikah. Lucunya, mereka seperti dua orang anggota organisasi yang akan memaparkan program kerjanya di awal kepengurusan. Lucu memang, aku juga tidak menyangka bisa menyusun konsep sekonyol ini. Kata Sigit, ini konsep yang keren menurutnya. Padahal bagiku, ini biasa saja. Aku menemukan ide ini pun sangat abstrack.
Malam itu setelah prosesi lamaran Jon selesai. Aku turut bahagia dan haru biru melihat Jon. Tapi juga merasakan sebuah kesedihan yang diam-diam menyelinap tanpa permisi. Akhir pekan nanti Jon akan pindah dari kontrakan yang kusewa dengannya dan Faruq. Dia menyewa sebuah rumah kontrakan untuk mempersiapkan dirinya dan istrinya nanti.
Jadi, rumah kontrakanku mungkin hanya akan aku isi berdua saja dengan Faruq. Satu kamar bekas Jon rencananya akan aku buat jadi mini studio record. Berencana membuat konten podcast untuk mengisi hari-hariku menjelang wisuda. Itung-itung berkarya didunia suara. Barangkali juga berguna. Walau dunia tulis menulis lebih aku suka.
***
Empat tahun yang lalu rasanya aku masih menjadi mahasiswa baru dikampus ini. Hari ini aku akan di kukuhkan menjadi alumni kampus ini. Yang berarti aku resmi menyadang gelar sarjana. Wisuda menjadi prosesi terakhir untuk mengenang semua yang pernah kulakukan di kampus.
Aku sangat bersyukur bisa kuliah di kampus ini. Meski ada satu hal yang sangat ku inginkan di kampus ini yang belum bisa tercapai, adalah berenang di danau kampus. Sebuah danau yang berada di tengah tengah kampus. Yang memisahkan gedung utama dengan rektorat dan hellypad. Lalu ada juga sungai brantas yang memisahkan antara masjid kampus dengan dome, hellypad dan gedung yang lainnya. Ada banyak sudut kampus yang menurutku kampus ini layaknya sebuah kampus outdoor dan kampus wisata.
Mungkin suatu saat aku akan rindu dengan suasana rindang dan sejuknya gazebo perpustakaan, padatnya mahasiswa di kantin tiga setengah, berkumpulnya para mahasiswa pemburu wifi di ICT. Dan tawa candanya mahasiswa di gedung student center, tempat para aktivis berkumpul di kantor atau sekeretariat mereka masing-masing.
Banyak hal lebih yang kudapatkan selama kuliah. Dan perkuliahan tidak hanya sebatas kisah cinta seperti di tv-tv dan sinetron. Kampus adalah miniatur kopleksitas kehidupan kita di masyarakat. Sebuah tatanan sosial dari semua strata, kelas ekonomi, maupun keberagaman ras, suku budaya dan agama disetiap lini perguruan tinggi. Beruntungnya aku bisa menikmati hidup menjadi mahasiswa. Harus banyak bersyukur, sebab tidak semua orang Tuhan berikan kesempatan untuk ini.
Jangankan untuk kuliah, di luar sana ada yang hanya untuk makan besok hari saja bingung mencari kesana kemari. Maka aku pun sebenarnya malu dan geram jika menyaksikan mahasiswa dengan penampilan modis parlente tapi hanya bisa menikmatinya dari hasil kerja keras orangtuanya. Kuliah dengan mobil keluaran terbaru, tapi nyatanya, itu hanya mobil milik ayahnya atau keluarganya. Mirisnya, jika orangtuanya harus menyicil mobil itu untuk memenuhi keinginan gaya hidup si anak. Apakah anaknya tahu? Sama sekali tidak tahu. Orangtuanya pasti menyembunyikan hal ini rapat-rapat demi melihat anaknya bahagia. Lebih menyedihkan lagi bahwa aku pernah mendengar ada mahasiswa tua yang tidak lulus-lulus tapi membohongi orangtuanya bahwa ia akan diwisuda. Sewaktu tiba hari wisuda, ternyata yang dikirim ke orangtuanya adalah undangan palsu. Anaknya sama sekali belum menyelesaikan studinya, malah dia sudah di drop out[1] oleh kampus. Anak yang demikian menurutku tidak tahu diuntung. Aku sangat kasihan pada orangtuanya mendengar kisah ini.
Ada banyak hal dan impian yang sudah membentang luas di kepalaku setelah lulus nanti. Aku tidak terlalu khawatir mau mencari kerja apa setelah ini. Yang jelas aku masih bisa makan esok hari sudah sangat bersyukur. Dengan semua fasilitas yang Tuhan berikan padaku saat ini sudah lebih dari cukup. Tapi ada yang kurang. Mungkin pelengkap dari kekosongan hatiku selama ini. Cinta. Sebuah rasa yang mebuat Adam merasa kesepian walau sudah berada di surga. Surga yang penuh kenikmatan itu menjadi hambar tanpa seorang teman. Apalagi dengan dunia yang penuh dengan tipu daya?
“Bhre.” Teriak seseorang sarjana muda, lengkap dengan toga dan ijazah yang dia bawa. Tapi dia tidak sendiri. Ada seorang gadis dengan pakaian kebaya yang mengiringi disisinya. Dua orang yang sangat tidak asing dalam kehidupanku.
“Jon.”
Jon dan gadis berkebaya itu menghampiriku. Kanan dan kiriku padat dengan ribuan mahasiswa dan keluarga mereka diluar dome setelah prosesi wisuda selesai.
Jon menghampiriku, memelukku dengan sangat erat. Aku rasa ini sebuah isyarat. Bahwa Jon mungkin tidak akan lagi bertemu denganku. Ia mungkin akan memilih jalan yang ia pilih. Merencanakan semua cita-cita yang akan dia kejar bersama istrinya. Aku haru, mataku berkaca-kaca. Aku sangat ingat, bagaimana Jon yang dulu menjadi pecandu game sewaktu menjadi mahasiswa baru, kini sudah menjadi seorang sarjana muda. Sebuah prestasi yang menurutku sangat jauh dari Jon yang dulu kukenal pemalas dan pembolos kuliah.
“Bhre. Aku membawa undangan untukmu. Datanglah ke acara pernikahanku.” Jon menyodorkan satu kartu undangan untukku.
“Selamat ya Jon dan Firly. Aku sangat bahagia mendengar kabar kalian akan segera menikah. Sumpah aku haru melihat kalian.”
“Jadi, kapan kamu akan menikah, Bhre?” bisik Jon ditelinga kananku.
“Kenapa pertanyaan sarkas itu keluar dari mulutmu Jon.”
Jon tertawa. Firly ternyata juga mendengar bisikan Jon padaku.
“Calon saja aku belum punya Jon.” Aku menimpalinya.
“Mas Bhre.” Seorang gadis muda dengan rambut tergerainya memanggilku dari arah sekitar lima meter tempatku berdiri dengan Jon dan Firly.
“Nah, itu calonmu. Cocok. Baru juga kita bingung cari calon. Eh, belum satu menit Tuhan sudah mengirimkan calon itu untukmu.” Kata Jon.
“Ohya, kudengar dia juga baru putus loh dengan pacarnya. Dia putus dengan Ian. Ini kesempatanmu, Bhre.” Jon mengimbuhi dengan berbisik lagi di telinga kananku.
Belum sempat aku menanggapi perkataan Jon. Gadis itu sudah menghampiriku dan menyapaku terlebih dahulu.
“Selamat ya Mas Bhre. Sudah sarjana sekarang.” Gadis ini lalu memberikan senyumannya untukku. Oh, untukku atau untuk kita? Entahlah, yang jelas dia tersenyum sembari menatapku.
“Terimakasih Farah. Kamu sedang apa?” tanyaku basa-basi.
“Temanku satu UKM ada yang wisuda hari ini. Kakak tingkat sih. Jadi aku sedang mencarinya. Eh, ternyata ketemu Mas Bhre terlebih dulu.” Jelasnya.
“Oh, begitu.” Jawabku singkat.
“Ohya, ini ada bunga buat Mas Bhre.” Farah memberiku satu tangkai bunga mawar berwarna putih. Aku tidak tahu, bunga itu sengaja ditujukan untukku atau karena ia hanya membawa bunga mawar lebih? Pasalnya di tangan kirinya ada lima tangkai bunga mawar lainnya. Semua itu untuk siapa pun aku juga tidak mengetahuinya. Mungkin untuk teman-temannya.
Aku menerima bunga mawar itu. Jon yang melihat menginjak sepatuku. Entah apa ini maksud Jon. Aku tak begitu paham. Kadang dalam situasi seperti ini kita akan terlihat sangat bodoh. Hanya karena merasa gugup berbicara dengan lawan yang kita sukai.
“Terimakasih Farah.”
“Mas, boleh aku minta foto dengan Mas Bhre?” Tanya Farah.
Aku bingung. Why? Untuk apa?
“Oh, iya Farah. Boleh. Jon kau ikut juga ya dengan Firly.” Ini sebuah alasanku untuk menutupi malu ku di hadapan Farah. Foto berdua dengannya sebenarnya bagus. Aku berharap itu. Tapi menutupi rasaku didepannya sepertinya itu lebih baik.
“Melinda, aku minta tolong ya fotokan kami.” Farah tidak sendiri. Dia dengan sahabatnya, Melinda. Jadi meminta tolong padanya untuk menjadi pemotret kami.
Melinda memotret kami. Entah berapa kali jepretan. Aku tidak tahu pastinya. Terakhri dia juga ikut berfoto tapi dengan gaya selfie. Kami membelakangi dia. Tapi sejujurnya aku harus berterimakasih padanya. Jika tidak ada dia, mungkin aku tidak ada dokumentasi dengan Farah di wisudaku ini.
Farah dan Melinda kemudian pamit undur diri untuk mencari teman ukm nya yang sedang wisuda juga hari ini. Aku mengiyakan. Lalu Jon dan Firly juga pamit.
“Bhre, jika ada kesempatan. Segeralah ambil peluang. Tuhan sudah mendatangkannya untukmu.” Kata penutup dari Jon sembari mengedipkan mata kanan nya padaku.
Jon berlalu dan pergi menyisakan sebuah tanda tanya dalam benakku. Apa maksud Jon? Kesempatan untuk apa? Hal apa? Tentang apa? Terakhir sebuah pertanyaan muncul, apakah kesempatan itu tentang Farah? Pertanyaan itu kemudian hilang setelah Bunda dan Alsa berhasil menemukanku setelah beberapa lama mencariku diantara ribuan orang yang ada.
Alsa mengajakku dan bunda untuk mencari tukang foto di beberapa stand yang sudah disedian oleh kampus. Kalau sudah acara wisuda semacam ini, para fotografer dengan berburu customer, terutama orangtua mahasiswa yang notabene sangat ingin mengabadikan momen paling bersejarah dalam hidup anaknya. Ada rasa bangga pada diri setiap orangtua.
Momen wisuda juga menjadi momen bagi mahasiswa dan para penjual lainnya untuk mencari peruntungan. Pihak kampus menyediakan puluhan stand khusus untuk para penjual makanan, minuman, dan souvenir. Bagian kewirausahaan kampus dengan senang hati memfasilitasi mahasiswanya yang memiliki usaha untuk menjualnya di stand yang sduah disediakan. Ada pula mahasiswa dan penjual lainnya yang berjualan keliling menjajakan dagangannya.
***
Aku menyalakan AC diruang tamu sembari membaca buku di sofa. Radio lawas milik ayah memutarkan siaran lokal radio Surabaya. Aku menikmatinya walau sebenarnya tidak begitu suka dengan siarannya. Lagu yang diputar juga tidak kekinian. Hanya berisi lagu-lagu lawas nostalgia tahun 90-an.
Jadi, setelah wisuda aku kembali ke Surabaya. Beberapa kerabat dan tetangga mengucapkan selamat kepadaku. Ada yang datang kerumah dengan membawa makanan dan barang lainnya. Ada pula yang usil datang dengan membawa sejuta pertanyaan yang sebenarnya dilayangkan untukku tapi disampaikan kepada bunda. Seperti kerja dimana? Sudah punya pacar atau belum? Kapan Bhre akan menikah? Dan banyak hal lainnya. Seperti tetangga pada umumnya, selalu ingin tahu tentang kehidupan kita. Tapi hal itu masih bisa membuatku bersyukur, setidaknya mereka Masih punya empati, daripada tidak peduli dengan tetangganya sama sekali. Asal tidak berlebihan dalam rasa keingintahuannya.
Pun ada yang membuatku kaget siang itu. Gita yang dulu memutuskanku menjelang aku Masuk kuliah dia datang kerumah. Apa-apaan kataku dalam hati. Untuk apa anak itu bertandang ke rumah? Jika tidak bunda yang mempersilahkan ia Masuk kerumah, tentu pintu rumahku sudah ku kunci rapat-rapat. Sebagaimana aku sudah menutup hatiku untuknya dengan sangat rapat. Tidak ingin secercah pun untuk kubuka padanya.
“Bhre, aku minta maaf.” Kata Gita membuka suara.
Aku mendiamkannya untuk beberapa saat.
“Bhre, aku mohon. Aku minta maaf. Sejak saat itu sampai hari ini aku dihantui rasa bersalah denganmu.”
“Jadi kamu kesini untuk minta maaf padaku? Aku sudah memaafkanmu sejak dulu Git. Jadi kamu sudah boleh pulang sekarang.”
“Tapi Bhre. Aku Masih ingin berbicara denganmu disini.”