Waktu Yang Salah

Miftachul W. Abdullah
Chapter #11

11. Konser Musik

Maret.

           Malam ini hujan cukup deras. Sederas rasa yang dua bulan ini kujalani dengan Farah. Pacaran? Bukan. Aku tidak ingin pacaran. Sama sekali tidak ingin. Selama dua bulan ini aku dekat dengannya hanya sebatas dekat. Tidak lebih. Tapi pada akhirnya harus marahan dengannya hanya karena kejadian di pertandingan basket itu. Sekitar dua hari kami tidak saling menyapa dan memberi kabar. Tapi aku sudah mencoba untuk meminta maaf padanya. Mungkin Farah ada benarnya. Dan aku sebagai seorang lelaki harus belajar meminta maaf walau belum tentu salah. Dan belajar memaafkan walau sebenarnya kita yang benar.

“Mas, apa Mas tidak pernah punya pacar selama ini? Setahu Farah, Mas selalu sendiri. Paling-paling jika aku yang mengajak Mas keluar. Atau Mas yang mengajakku ke toko buku, beli makan, atau pergi ke konser musik, nonton film di bioskop dan teater.”

Aku menyeruput tahwa ku yang masih hangat. Pedasnya jahe yang ada di tahwa ini menghangatkanku dari dinginnya hujan. Dan menghangatkan suasana kebersamaanku dengan Farah. Koh Aceng adalah penjual tahwa paling enak di Malang. Jika aku kurang enak badan biasanya aku pergi kesini, atau memesannya lewat online. Tahu tempat ini pun sebenarnya gara-gara Alif teman P2KK ku yang pernah mengajakku kesini.

“Apa aku harus banget menjawabnya Farah?”

“Ya kalau Mas keberatan nggak papa sih. Nggak usah diceritain.”

Jawaban Farah ini membuatku bingung. Yang keluar dari mulutnya adalah kalimat tanggung. Dia ingin tahu jawaban dariku tapi disisi lain mengecohku dengan perasaan tidak enakan yang kurasakan.

“Baiklah. Aku akan cerita sembari menunggu hujan ini mereda. Oh, kamu pakai saja jaketku. Dingin kan?” aku melepas jaketku dan mengenakannya ke tubuh Farah. Sedari tadi ia hanya melingkarkan tanganya ketubuhnya sendiri. Aku tidak mungkin menjadi lelaki egois yang membiarkan gadis bersamanya menggigil kedinginan.

“Pernah dulu.” Jawabku singkat.

Farah terdiam. Ia pandangi secangkir tahwa panas di hadapannya.

“Kapan?” tanya nya dengan menatapku.

“Sebelum aku mengenalmu, Farah?”

“Pastinya?” Farah terus mengejarku.

“Pastinya aku sudah melupakan hal itu, Farah.”

“Ih, ngeselin banget sih jawabannya.” Farah menenteng cangkir tahwa dikedua tanganya.

Aku geMas melihat sikapnya. Lucu. Pantas saja dia dijuluki ikan paus. Karakter yang cocok dengannya, ketika dia sedang kesal, mukanya ia lipat dan mengeluarkan udara keatas dari mulutnya. Bibirnya ia majukan, sehingga ketika ia meniup akan berarah keatas dan mengenai rambut poninya. Sama seperti dengan ikan paus yang akan menyemburkan air sebagai salah satu bentuk adaptasi dengan sesuatu yang baru dan mengeluarkan sisa pernapasan berupa karbondioksida dan uap air yang sudah jenuh dengan air sehingga terlihat seperti air mancur yang menyembur keudara.

Sebenarnya paus bukanlah ikan. Dia tergolong sebagai hewan mamalia, hal ini karena paus memenuhi empat karakteristik utama dari hewan mamalia, yaitu berdarah panas, melahirkan dan menyusui anaknya, menghirup oksigen, dan berambut pada beberapa bagian.

Aku menyeruput tahwa panasku. Sesekali angin malam menyapaku.

“Itu sudah lama. Sejak aku belum kuliah, Farah. Tepatnya ketika SMA dan putus menjelang aku Masuk kuliah.”

“Tersebab apa?”

“Dulu, aku pernah jalan bareng sepertimu saat ini. Bersama seorang gadis, namanya Salsa, anak pamanku. Aku mengajaknya keliling Surabaya sebelum dia berangkat kuliah di Bogor. Sedangkan pacarku namanya Gita, dia tahu kalau aku keluar dengan Salsa. Tanpa tanya atau memberi kabar apapun dia tidak pernah meminta kejelasanku. Mungkin dia sakit hati mengira aku selingkuh di belakangnya. Lalu dia membalasku dengan selingkuh sama cowok yang lain. Dan aku melihatnya sedang jalan bersama pacar gelapnya itu. Lalu aku minta penjelasan dari Gita. Dia bilang itu pacarnya. Katanya aku yang selingkuh duluan. Akhirnya dia memutuskanku.”

“Kenapa sebegitu tragisnya ya Mas?”

“Ya begitulah hidup. Selalu menghadirkan ragam rasa dan warna.”

“Maksudnya?”

“Kadang Tuhan berikan kita rasa senang, bahagia, cinta, suka, kadangpula kita dihadiahkan rasa sedih, duka, lara, sakit. Dan Masing-Masing rasa itu memiliki warna.”

“Jika rasa cinta warnanya apa?”

“Warnanya putih. Artinya suci. Sebuah kesucian fitrah yang Tuhan berikan kepada semua hambanya.”

“Jika sedih? Pasti warna hitam ya?”

“Benar. Hitam adalah warna berkabung. Warna kesedihan.”

“Jika abu-abu?”

“Sebenarnya abu-abu bukanlah sebuah warna. Dia diantara bahagia dan sedih. Berada ditengah-tengahnya dan itu bukanlah rasa yang baik. Seharusnya kita bisa membuat diri kita bahagia setiap saat.”

“Wuih... Mas Bhre bisa filosofis gitu ya?” Farah bertepuk tangan. Wajah cerahnya dihamparkan padaku.

“Eh, tapi aku bukan peramal lho ya. Itu berdasarkan logikaku saja.”

“Tak apa. Ada benarnya juga kok.”

“Jadi, jika boleh aku tahu, kenapa Farah putus dengan Ian?” sempat aku ragu untuk menanyakan hal ini pada Farah. Takut merusak suasana.

“Sudahlah, Mas. Lupain saja. Aku sedang tidak ingin bercerita.”

“Maaf.”

“Tidak ada yang perlu dimintai maaf, Mas. Farah yang seharusnya meminta maaf pada Mas Bhre. Pasti suatu saat Farah akan bercerita. Tapi tidak untuk saat ini.”

“Iya Farah.”

“Ohya, kalau boleh tahu kenapa Mas Bhre tidak pacaran sekarang?”

Sepertinya Farah masih ingin mengulik-ulik tentangku. Jika selama itu belum sangat privasi menurutku aku akan menjawabnya, walaupun sebenarnya pertanyaan yang muncul dari Farah juga termasuk bagian dari privasi yang mungkin tidak sopan jika ditanyakan. Tapi karena Farah denganku dekat, kadang kita seringkali menerobos batas-batas privasi itu sendiri.

“Sebenarnya aku punya pacar, Farah.” Jawabku.

Farah tersedak. Dia kaget mendengar ungkapku.

“Serius? Katanya tadi tidak punya pacar? Hmmmm.”

“Tadi aku tidak sepenuhnya jujur padamu. Tapi kali ini aku akan jujur. Aku punya pacar. Tapi terkadang aku seringkali meninggalkannya sendiri, tidak menyapanya, tidak mengajaknya keluar seperti ini, dan kadang-kadang aku cuek dengannya. Padahal dia tidak pernah marah denganku jika aku tidak menyapanya atau mengajaknya keluar. Kadang aku seringkali merasa bersalah padanya.”

“Gila.... kamu jahat banget, Mas. Cewek tidak bisa digituin. Dia perlu perhatian. Butuh kasih sayang.”

“Tapi sekarang hubunganku dengannya sudah lebih baik, Farah.”

Farah menghela nafas panjang. Wajahnya murung. Kulihat wajah yang semula cerah tadi berubah menjadi mendung. Tanggung. Antara hujan atau tidak.

“Dia adalah buku, Farah.” Pungkasku.

“Kan....kan...bikin kesal lagi. Ih, males deh.”

Aku berhasil mengembalikan wajah Farah kembali cerah. Hanya hitungan detik mendung itu sudah sirna diterpa angin olehku.

Hujan mulai mereda. Masih menyisakan gerimis rintik-rintik. Kendaraan bermotor sudah mulai berlalu lalang. Sebelumnya hanya yang memakai jas hujan saya yang berani melintas. Yang tidak membawa seperti saat ini memilih berteduh dan menunggu reda saja.

Aku menghidupkan motor Vespa tuaku. Tiga kali kuhidupkan Masih saja belum bisa. Mungkin karena basah. Maklum motor tua keluaran 73. Ku cek businya dan kubersihkan. Untuk beberapa saat lamanya Vespaku hidup kembali. Syukur.

“Mas, pekan depan Farah ikut ya ke pernikahan Mas Jon dan Mbak Firly?” tanya Farah dari belakangku.

“Iya nggak pa-pa. Tapi pakai mobil Mas saja ya. Takutnya kalau bawa si blue ini mogok di tengah jalan.” Jadi aku memberi nama Vespa tuaku ini dengan nama blue, sesuai warnanya.

Farah mengiyakan. Aku juga tak paham, kenapa dia tidak malu jalan bersamaku yang hanya memakai motor Vespa tua tahun 73 dan mobil Corolla tahun 75? Sempat aku mau menanyakan hal ini padanya. Tapi buat apa? Tidak terlalu penting untukku.

Vespa tuaku terus berjalan kearah barat laut sampai di depan Wisata Sengkaling dan Hotel Ridho Syariah kemudian memotong jalan memasuki gang kecil sebelum sampai di jembatan Sengkaling. Jembatan umum yang hanya satu arah saja. Para penggunanya harus sabar bergantian untuk menyeberang. Jadi, jika sudah larut malam seperti ini, jalan utama kampus untuk menyeberang dari depan kampus kebelakang kampus sudah di tutup. Satu-satunya jalan alternatifnya adalah di jembatan Dinoyo-keramik, atau memutar di daerah Pendem, Batu dan itu terlalu jauh dari lokasi kedai Koh Aceng.

Malam itu, jembatan kecil itu cukup sepi. Dengan santai aku menerobos saja. Ternyata sampai di ujung jembatan ada segerombolan orang yang menghadangku dan Farah. Aku tidak tahu siapa.

“Masih ingat denganku?” tanya seorang pemuda berambut gondrong dengan kuncir belakangnya. Di tangan kanannya ada kayu pemukul bola kasti.

Aku menatap tajam matanya. Kembali mengingat apakah aku mengenalnya.

“Kau orang yang pernah kupukuli di lapangan basket kan? Mau apa?”

“Kita lanjutkan ronde kita.” Jawabnya dengan congkak.

Kulihat kearah Farah. Dia nampak sangat ketakutan. Jaketku ditariknya dengan kencang sementara dia masih tetap diam di jok motor belakangku.

“Mas, sudah nggak usah di ladenin.” Pinta Farah.

Seolah aku tidak mendengar Farah. Aku turun menjauh dari Farah.

“Jadi kau mau kita lanjutkan?” tanyaku pada pemuda berambut gondrong itu.

Sepersekian detiknya aku langsung melayangkan satu buah pukulan kearahnya. Tepat mengenai mata kanannya. Lalu dua orang temannya mengeroyokku dengan pukulan yang bertubi-tubi. Aku berhasil menangkisnya tetapi tetap saja beberapa pukulan mengenai perut, punggung dan wajahku.

“Ini tidak fair. Jika kalian laki-laki dan bukan pengecut. Aku mau kita duel, satu lawan satu.” Tantangku usai bangun dari keroyokan mereka.

Pemuda berambut gondrong itu maju dan memukulkan kayu pemukul bola kasti itu ke arahku. Aku menangkisnya dengan lengan kiriku. Rasanya lenganku seperti patah. Tapi karena dalam kondisi semacam ini aku tidak memperdulikannya. Kubalas dia dengan satu pukulan mengarah ke rusuk kirinya. Ini pukulan paling mematikan menurutku, jika terkena dengan keras seseorang bisa saja tidak bernafas untuk beberapa detik. Akan sangat sesak rasanya.

Pemuda berambut gondrong itu tumbang. Lalu seorang pemuda berbadan yang lebih tinggi dariku menghampiriku dengan tendangannya. Aku menghindar dan menghadiahinya dengan sebuah tendangan pula. Dalam pencak silat Tapak Suci, kebetulan aku pernah mengikutinya selama enam tahun, ini disebut Harimau Menutup Jalan. Sebuah tendangan berputar dari yang semula aku berhadapan dengannya, lalu berputar badan dengan mengayunkan sebuah tendangan dari bawah keatas. Tendangan itu menyasar tepat ke dagunya. Aku berharap pemuda itu tidak patah rahangnya. Dalam pertarungan bebas semacam ini pun aku tetap mengkhawatirkan lawanku.

Lalu tiba-tiba ada satu pemuda yang badannya jauh lebih besar dan kekar daripada aku menghampiriku. Aku pun sudah siap sekuat tenaga untuk menyerangnya. Kupasangkan kuda-kuda kiri depan.

“Aku anak skuter. Kau juga anak skuter. Kita saudara. Ini sebenarnya adalah masalah kalian berdua. Bukan masalahku. Jadi pergilah.” Pemuda berbadan besar itu mengulurkan tangannya untuk berjabat. Sejak awal dia tidak ikut bertarung melawanku. Aku juga berpikir lalu untuk apa dia menemani pemuda berambut gondrong itu malam ini?

Aku menerimanya dan mengambil tasku yang terjatuh.

Farah masih terdiam dan menangis diatas jok motor belakangku. Aku paham dia sepertinya sangat ketakutan. Untung saja dia tidak menangis dengan histeris dan menjerit. Bisa-bisa orang sekampung akan mendatangi kami dan urusan lelaki antar lelaki ini tidak bisa kuselesaikan dengan baik-baik.

Dari jembatan Sengkaling ke kos Farah cukup dekat. Hanya beberapa menit saja. Sesampainya disana Farah langsung mengajakku masuk ke lobby kost nya. Aku didudukkannya di kursi sementara Farah berlari ke kamarnya untuk mengambil kotak P3K dan baskom berisi air untuk mengompres. Ada tiga pukulan yang menyasar di wajahku dengan meninggalkan memar yang berwarna merah keunguan. Sementara lengan kiriku mungkin luka dalam dan sudah mulai membengkak.

“Farah, kau tahu apa yang lebih sakit daripada luka fisik seperti ini?” aku mengajak Farah berdiskusi sementara dia sedang teliti dan berhati-hati mengompres wajahku yang memar.

“Diskusinya nanti dulu, Mas.”

Aku memegang tangan Farah yang sibuk mengompres wajahku. Seketika itu dia langsung menatapku. Aku membalas tatapannya dengan senyuman. Kali ini jantungku tidak begitu berdebar sebagaimana yang sudah-sudah. Aku bisa mengendalikan ritme jantungku setenang mungkin dihadapan Farah. Tak tahu mengapa justru di momen seperti ini aku jauh lebih tenang. Entah di waktu yang lain selain saat ini.

Lengan tangan Farah yang lembut terasa hangat ditelapak tanganku. Selembut cara Farah memperlakukanku malam itu. Dan sehangat suasana malam yang sedang berbintang, sedangkan udara diluar sebenarnya cukup dingin. Sekali lagi kukatakan, bahwa tidak sepenuhnya dingin, panas, sejuk atau hangat itu dipengaruhi oleh lingkungan, boleh jadi dipengaruhi oleh apa yang sedang terjadi. Sebagaimana malam ini.

“Yang lebih sakit dari sakit fisik adalah saat kita jauh dari orang yang kita cintai Farah. Kadang juga, saat kita mencintai seseorang tapi ternyata orang itu tidak memiliki rasa apapun kepada kita. Atau juga kita ditinggalkan oleh orang yang kita cintai, saat kita sedang sayang-sayangnya.”

Farah menutup mulutku dengan mengarahkan telunjuknya didepan bibirku.

“Farah tidak akan menyakitimu. Dan tidak akan juga meninggalkanmu, Mas.”

Ya Tuhan, apa Farah tidak salah berucap malam itu? Jika ada malam yang indah di hari-hari yang sebelumnya, ini adalah malam dengan sebuah episode paling indah dibandingkan dengan 365 episode lainnya. Lebih dari apapun.

***

Seperti janjiku dengan Farah satu minggu yang lalu. Aku akan mengajaknya ke pernikahan Jon dan Firly. Sebenarnya Farah tidak terlalu dekat dengan Jon dan Firly, hanya saja, dulu sewaktu penampilan teater, Farah selalu di breafing oleh Firly. Jadi sebagai ucapan terimakasih, dia menghadiri pernikahan mereka berdua.

Kos Farah berada di belakang kampus. Disamping jalan utama persis. Jadi aku memarkir mobilku di tepi jalan kos nya. Kutunggu beberapa menit, kemudian Farah keluar dengan pakaian kondangan ala anak kekinian saat ini. Aku biasa saja, hanya memakai celana abu-abu, baju batik dan sepatu hitam kesayanganku.

Untuk pernikahan Jon, dia tidak menggunakan jasa wedding organizer yang aku gagas dengan teman-teman teater. Tetapi hanya menggunakan jasa fotografer dari kami. Selain WO kami juga membuka jasa fotografer untuk berbagai acara dan kegiatan, seperti pernikahan, wisuda, dan foto produk. Untuk pernikahan Jon, dia memakai konsep outdoor. Dan WO kami belum siap untuk menawarkan konsep pernikahan outdoor. Kami masih merintis dengan konsep indoor yang sudah umum dikalangan masyarakat.

Resepsi pernikahan Jon ini dilaksanan di Bumiaji, Batu. Konsep outdoor yang di usungnya berlokasi di wisata petik apel. Dan tamu undangannya pun terbatas. Hanya teman-teman kelas dan organisasi yang di ikuti Jon, tamu dari pihak mempelai perempuan dan sanak saudara Jon yang ada di Jogja. Karena acara ini terbatas, kesan mewah dari pernikahan Jon ini sudah terlihat sejak kami diarahkan untuk kelokasi acara oleh beberapa crew WO nya.

Sekilas aku melihat rerata keluarga Jon yang dari Jogja bermata sipit. Ada yang memakai jilbab, ada pula yang tidak mengenakan. Jon memang keturunan Indo-China. Dan keluarganya muslim-kristen-konghucu. Jadi wajar jika terlihat ada banyak keragaman dalam keluarganya.

Aku dan Farah sampai lokasi lebih awal dari waktu yang ada di undangan. Sengaja memang, agar bisa mengobrol dengan Jon lebih lama. Sebab jika nanti sudah selesai akad, maka banyak orang yang akan mengajaknya untuk berfoto. Tentu aku tidak egois untuk berlama-lama mengajak Jon mengobrol banyak hal.

Sekitar pukul 10.10 WIB prosesi akad Jon di laksanakan. Aku dan Farah yang menyaksikan Jon dan Firly terus berdebar-debar sejak tadi. Jon yang menikah tapi kenapa aku yang gugup? Aneh. Aku merasa bahwa aku sedang berada di posisi Jon, sedangkan mempelainya adalah..... aku tak kuasa jika menyebut itu adalah Farah. Sejauh ini aku pun tak tahu, sebenarnya adakah aku didalam hatinya?

“Sah.” Serempak hadirin mengucapkan sah sebagai penyaksi atas prosesi akad Jon dan Firly. Bapak penghulu memimpin doa untuk mereka berdua. Aku haru menyaksikan sahabatku itu menikah. Dia sudah berstatus suami saat ini. Bukan lagi Jonnathan Salim yang kukenal tukang tidur setelah subuh, pembolos kuliah, dan si pecandu game. Dia sudah berbeda hari ini, dia gagah, dia berwibawa, seperti wibawanya pasukan gajah mada pada masa kerajaan majapahit.

“Mas menangis?” tanya Farah padaku.

“Oh, maaf. Aku hanya haru melihat Jon dan Firly.” Aku menyeka sudut mataku yang sudah berkaca-kaca sejak Jon akan melangsungkan akad tadi. Kadang aku bertanya-tanya, kenapa saat sedih kita mengeluarkan airmata dan ketika bahagia juga mengeluarkan airmata. Jadi sebenarnya airmata ini berfungsi sebagai apa? Dia hanyalah air yang berasa masam yang tuhan selipkan disudut mata kita.

Aku menghampiri Jon, memeluknya erat sekali. Jika aku memiliki saudara laki-laki, mungkin Jon adalah saudaraku. Kami memang bukan sedarah, tapi rasanya Tuhan mempertemukan kami untuk menjadi saudara. Susah senang bersama. Banyak hal-hal sedih dan menyenangkan yang kulalui bersama. Salah satu alasan yang membuatku tetap betah hidup tanpa pacar juga barangkali berkat Jon. Jika tidak ada Jon mungkin aku jadi kesepian dan melampiaskan kesepian itu untuk pacara. Jadi aku bersyukur memiliki sahabat sepertinya.

“Segera halalkan kalau cocok, Bhre.”

“Tidak semudah itu kan, Jon?”

“Jika niatmu karena Allah, pasti dipermudah, Bhre.”

“Doakan, Jon.”

“Aamiiin.”

Lihat selengkapnya