Waktu Yang Salah

Miftachul W. Abdullah
Chapter #12

12. Lebaran Terakhir

Sehari setelah konser musik di Surabaya itu aku kembali ke Malang dengan Farah. Aku mengantarnya pulang sampai kostnya. Bunda membekalinya makanan yang tadi pagi dia masak di dapur bersamanya. Untuk makan malam Farah.

Sebenarnya aku sangat ingin mengajaknya ke Pameran Seni Lukis Indonesia saat ini. Tapi dia katanya ingin melihat prosesi LPJ UKM nya. Padahal ini adalah momen paling istimewa bagi orang-orang yang menyukai seni. Dalam pameran itu berbagai aliran seni seperti Realisme, Surealisme, Lanskap, Dekoratif, dan Abstrak disajikan kepada para pengunjung. Pameran ini adalah acara tahunan yang menurutku merupakan momen yang besar dan keren, sekaligus kesempatan yang baik bagi para seniman untuk memamerkan karya-karya mereka pada khalayak. Selain untuk kepentingan komersil, menurutku ini juga termasuk edukasi untuk para pengunjungnya. Banyak karya para pelukis yang meng-interptretasi[1]kan kehidupan sosial dalam goresan-goresan tangannya.

Aku sampai di Malang. Mengatar Farah ke kostnya dan aku kembali ke rumah kontrakan. Seperti rutinitasku yang biasanya. Aku menulis, membaca buku, dan membuat konten di media sosialku dan take record untuk podcast milikku. Teman-temanku yang sudah lulus sedang sibuk mencari kerja. Tapi aku memilih santai saja untuk satu tahun yang akan datang. Aku akan fokus dengan apa yang kusenangi saat ini. Aku juga masih punya tabungan untuk hidup dua tahun kedepan. Sama sekali bukan dari uang bunda. Tidak. Ini murni uang tabunganku pribadi. Aku menabungnya dari sisa uang wo, gaji uang partime selama aku kuliah, hasil aku menulis ke berbagai media cetak, dan uang hasilku menjadi crew EO[2] jika ada event-event yang cukup besar di Malang. Intinya aku melakukan semua hal ini agar tidak membebani Bunda. Aku sadar bahwa aku adalah orang miskin yang tidak punya apa-apa. Sekalipun saat ini hidup kami berkecukupan, tapi entah mengapa aku merasa belum punya apa-apa. Itu semua milik Bunda. Bukan milikku.

***

“Farah, besok nonton yuk.” Satu pesan dari Melinda.

“Nonton apa Mel?”

“Bumi manusia.”

Farah terkejut membacanya.

“Ya Tuhan tayang mulai hari ini ya?”

“Iya perdana lho ini.”

“Eh, aku ajak Mas Bhre ya.”

“Boleh.”

Melinda mengajak Farah untuk menonton film terbaru di bioskop. Sebuah film yang diadaptasi dari karya agung Pramoedya Ananta Toer. Sebelum menonton esok hari, Farah mencari novelnya diantara buku-buku yang ada di rak bukunya. Ia mencoba membaca ulang secara sekilas untuk mengingat seluruh isi novel tersebut.

Seharian itu Farah menghabiskan waktunya untuk membaca novel Bumi Manusia. Ia ingin mengoreksi apa saja yang akan hilang dari novel aslinya. Sebab, tidak semua kejadian dalam novel bisa di film kan. Mungkin jika semua isi novel ini di filmkan bisa sampai lima jam. Sedangkan yang diketahui Farah dari film ini ternyata berdurasi 3 jam 1 menit. Film yang cukup panjang tapi Masih lebih panjang film Titanic karya James Cameron yang berdurasi 3 jam 30 menit. Tapi para penontonnya tidak pernah jemu jika seandainya harus menontonnya berkali-kali.

Ke esokan harinya Bhre menjemput Farah dan Melinda dengan mobil tuanya. Mereka sebenarnya tidak bingung akan menonton dimana. Ada banyak opsi untuk memilih di bioskop mana mereka akan menonton. Sebab di semua mall yang ada di Malang pasti ada bioskop. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah bioskop mana yang tidak terlalu ramai untuk menonton? Dari kabar media sosial yang tersebar, hampir semua bioskop ramai oleh pengunjung yang sedang berburu tiket untuk bisa menonton film Bumi Manusia.

***

Aku membayar tiga tiket, untukku, Farah dan Melinda. Beruntungnya kami mendapat tempat duduk tidak terlalu ke atas ataupun ke bawah. Pas ditengah-tengah. Posisi yang sangat ideal untuk menonton menurutku.

Dalam hati, aku tidak sabar menyaksikan dua artis muda yang akan memerankan Minke dan Annelies. Sebagus apakah aktingnya? Seberapa dalam penghayatannya menjadi sesosok Minke yang cerdas dan ambisius? Secantik dan sesabar apa artis muda itu menjadi sesosok Annelies gadis Indo-Eropa di abad ke-19? Dan sehebat apakah nanti yang akan memerankan sesosok Nyai Ontosoroh dengan segala kemandirian, keberanian dan kecerdasannya. Aku sungguh tak sabar menyaksikan ini. Pasti akan sangat luar biasa.

Aku membeli minuman dan popcorn dari seorang penjual popcorn di dalam bioskop yang sedang menawarkan produknya pada kami. Aku membeli tiga buah. Lalu menikmatinya sembari menunggu film ini di putar.

Seperti biasanya, attention suara seorang perempuan akan terdengar beriringan dengan matinya lampu bioskop. Belakangan aku baru tahu ternyata nama pengisi suara bioskop ini adalah Ibu Maria Ontoe. Semua kaum sufi pasti sangat hafal dengan suara ibu ini. Suara yang sangat legendaris. Oh ya, kaum sufi adalah julukan kami anak-anak teater di kampus yang suka film. Jadi, jika ada film bagus dan terbaru kami selalu menontonnya di bioskop, tapi jika sedang tidak memiliki uang, kami biasa berburu link film illegal untuk di nikmati. Ini adalah sebuah contoh buruk dan kejahatan yang tidak untuk ditiru siapapun. Dan, pada akhirnya aku bertaubat untuk tidak menonton film illegal atau bajakan.

Akhirnya film bumi manusia ini diputar. Intro memasuki film ini adalah lagu Ibu Pertiwi yang di cover oleh, Iwan Fals, Once dan Fiersa Besari. Menurut dugaanku, pasti Farah dan Bunda juga sedang menonton ini di Surabaya. Sejak pertama hingga akhir, aku sudah dibuat kagum oleh film garapan sutradara kondang di tanah air ini, Hanung Bramantyo. Luar biasa. Diluar ekspektasiku. Sangat memukau dan membuatku takjub. Farah dan Melinda dibuat menangis dan berkali-kali mengusap air matanya.

“Hei, kenapa mata Melinda sembab begitu?” tanyaku padanya.

“Aku nggak kuat nahan airmataku, Mas.”

“Lho, Farah juga?”

Aku tersenyum lebar melihat mereka berdua. Mata mereka sembab seperti membengkak karena menangis. Sepanjang ruang keluar bioskop aku menahan tawa melihat mereka. Mereka berdua benar-benar terbawa suasana. Sebuah film dengan ending yang menyedihkan memang, tapi aku sangat jarang menangis jika menonton film, paling-paling hanya berkaca-kaca saja.

Menonton selama tiga jam lebih di dalam bioskop membuatku lapar. Aku mengajak mereka ke food court satu lantai dibawah bioskop. Aku memesan kebab kesukaanku disini, dan es teh tawar. Aku menawari Farah dan Melinda, dia ngikut aku saja. Mereka kubiarkan duduk saja di meja makan. Aku lalu membelikannya untuk mereka berdua.

Puas seharian jalan dengan mereka aku pulang ke rumah kontrakan. Tak lupa aku membelikan Rahman makanan. Aku membeli dua porsi lalapan Lamongan di tepi jalan. Ini lalapan paling enak menurutku. Khas Lamongan dan penjualnya juga asli orang Lamongan.

***

Mei.

Bulan puasa sudah menyapa. Sebuah bulan yang di dalamnya terdapat kebaikan seribu bulan. Bulan dimana orang-orang gemar bersedekah, berlomba-lomba dalam kebaikan. Orang yang paling diuntungkan jika datang bulan ramadhan salah satunya adalah aku. Aku bisa menghemat uang makanku sampai 60%. Bagaimana tidak, setiap Masjid di kota Malang ini menawarkan buka bersama, semua ragam menu ada. Dulu sewaktu Jon masih melajang, dia adalah partnerku untuk berburu takjil dan buka puasa dari Masjid ke Masjid. Benar-benar sangat membantu mahasiswa sepertiku. Andai saja, semua bulan adalah bulan ramadhan, tentu aku akan sangat beruntung.

Masjid kampus adalah salah satu Masjid yang menyediakan stok menu berbuka puasa ratusan porsi. Tentu mahasiswa yang senasib denganku juga akan menyerbu Masjid kampus. Tapi cerdiknya aku dan Jon, aku membuat 30 daftar Masjid yang menyediakan menu berbuka puasa gratis. Ini adalah hal paling gila menurutku. Kami tidak akan kelaparan jika memasuki bulan ramadhan. Sungguh ramadhan adalah bulan yang paling menyenangkan bagiku. Terlepas dari menu buka puasa gratis, pada bulan ini banyak hal-hal positif yang bisa aku lakukan dengan mudah, membaca al-quran, shalat berjamaah di Masjid, dan bagi orang yang sangat jarang bisa tahajud sepertiku ini bisa mengikuti shalat tarawih.

Aku sedang santai di ruang tamu kontrakan dengan asyik bermain gitar. Jika bulan ramadhan seperti ini selera bermusikku lebih religi, aku dengan suara falsku mencoba untuk membawakan lagu-lagu religi dari Opick dan Maher zain. Bosan main gitar, aku mengalihkan kesibukanku untuk membaca al-quran.

Ponselku bergetar. Satu buah pesan masuk, dari Sigit. Ketua ukm teater setelah kepengurusanku.

“Mas Bhre, temu kangen dan buka puasa bareng yuk? Anak-anak teater ngajakin nih.”

“Dimana, Git?”

“Rumah Makan Sambel Mbok Jum ya, Mas.”

“Itu dimana ya, Git? Aku belum pernah kesana.”

“Di jalan MT. Haryono, Mas. Tempat makan baru itu. Lagi banyak promonya.”

“Baik. Nanti ya. Pukul 17.00 aku berangkat.”

Jarang-jarang anak teater ada buka bersama begini. Sigit yang juga anak rohis kampus ini sepertinya bisa mewarnai anak-anak teater yang lainnya. Dia lebih baik wawasan keislamannya daripadaku, lebih rajin menghadiri pengajian dan shalat berjamaah di Masjid kampus. Semoga dia bisa membawa perubahan yang baik bagi anak-anak teater yang lainnya.

Untuk bepergian seperti ini aku tidak menggunakan mobil tuaku. Aku akan memakai si blue. Dengannya aku lebih bisa merasakan udara di Malang. Menikmati sore hari dengan derup mesinnya yang nyaring. Jika berpapasan dengan pengguna skuter lainnya aku biasa menyapanya, sebuah hal lazim dikalangan pecinta skuter. Baik skuter yang tua maupun yang matic keluaran terbaru.

“Nah itu Mas Bhre.” Haura menyapaku.

“Hallo semua. Maaf terlambat.” Aku menyapa anak-anak teater yang lebih dahulu dariku.

“Kita juga baru kumpul kok, Mas. Paling tinggal satu dua anak aja yang belum hadir.” Jawab Haura.

Setelah aku sampai ada dua anak lagi yang menyusul. Jadi semua sudah lengkap. Sigit membuka acara buka bersama sore itu. Untuk menu buka puasa semua di sama ratakan. Bebek ungkep dan jeruk hangat.

Lihat selengkapnya