Bulan Syawal.
Seharusnya Alsa menikah akhir bulan syawal ini. Ramadhan kemarin sewaktu bunda masih ada, ada seorang lelaki bertandang ke rumah untuk melamar Alsa. Dia adalah teman Alsa sewaktu SD. Dia lulusan S1 dari kampus ternama di Jakarta. Tahun kelulusannya sama denganku padahal dia dua tahun di bawahku, tapi karena ada sistem akselerasi di SMP dan SMA dia hanya menempuh pendidikan keduanya selama 4 tahun.
Aku sebagai seorang kakak sekaligus wali pengganti ayahku mengembalikan semua itu kepada Alsa. Semua tergantung Alsa. Sebab dia yang akan menjalani kehidupannya.
“Apakah kamu masih bisa mengejar impianmu setelah menikah?” sebuah pertanyaan sederhana dariku yang membuatnya merenung selama satu minggu. Tapi pada akhirnya dia yakin bahwa tetap bisa mengejar impiannya walaupun sudah menikah. Dia membangun komunikasi dengan calon suaminya, memaparkan semua keinginan dan impiannya. Keduanya sepakat, Alsa tetap bisa mengejar mimpinya menjadi seorang musisi di Indonesia.
Bunda mengizinkan pilihan Alsa. Toh, menikah pasti niatnya baik. Tidak aneh-aneh. Calon suami Alsa juga sudah kenal dekat dengan Bunda sejak kecil. Jadi Bunda tahu karakteristik calon nya dengan mudah.
Selama bulan ramadhan persiapan demi persiapan sudah mulai di list. Bahkan aku dengan tim WO yang dikelola oleh anak-anak teater sudah mempersiapkan banyak hal. Tapi semua itu menjadi batal oleh satu sebab. Yaitu aku. Alsa memilih membantalkan pernikahannya karena ingin fokus merawatku sampai aku sembuh. Tidak ada kesibukan yang lebih ia senangi selain merawatku saat ini. Katanya, dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain aku. Dia ingin selalu ada untukku, baik suka maupun duka.
Setelah Bunda jatuh sakit dan meninggal, dan aku mengalami kecelakaan. Semua keperluanku di penuhi oleh Alsa. Alsa tidak akan meninggalkanku barang satu menit pun. Dia selalu menjagaku 24 jam. Aku sangat beruntung memiliki adik sepertinya. Tapi melihatnya begitu kepayahan aku tidak tega. Lagi-lagi airmataku tumpah saat menyaksikan dia terlelap karena lelah di rumah sakit.
Aku memotivasi diriku sendiri, bahwa aku harus segera pulih. Jika masih saja seperti ini, aku bisa menyiksa Alsa setiap hari. Itu yang membuatku tidak enak padanya. Aku yang seharusnya menjaga dirinya. Bukan aku yang harusnya dijaga.
“Tok.....tok.” ada seseorang mengetuk pintu dari balik ruanganku.
Alsa membuka pintu. Ternyata yang datang menjengukku adalah Farah, Melinda, Jon dan beberapa anak teater. Aku sangat bahagia menyaksikan mereka.
“Bhre maafkan aku jika baru bisa datang lagi hari ini.”
“Tak apa, aku sudah mendengar dari Alsa bahwa kamu dan teman-teman yang lain sudah datang kesini ketika aku sedang tidak sadarkan diri.”
Jon mendekatiku sembari berbisik.
“Bhre aku ada kabar gembira untukmu. Kau akan jadi Paman Bhre.”