Juni.
Kepergian bunda sudah satu bulan berlalu. Penghuni rumah hanya aku dan Alsa. Untuk rumah dengan tipe 70 atau lebar 150 meter persegi bagi kami ini terlalu luas. Padahal semasa Bunda masih ada, ini sepertinya sangat sempit.
Keseharianku hanya latihan berjalan keliling rumah. Ke ruang tamu. Taman rumah. Balkon. Kembali lagi ke ruang tamu. Kakiku yang patah menyulitkan aku untuk bergerak kesana kemari. Sedangkan Alsa disela-sela jam kuliahnya harus mengontrol toko setiap hari. Sekalipun kami sudah memiliki Ibu Rohmah selaku kepala toko, tetap saja Alsa harus terus mengontrol semua alur kegiatan toko. Alsa benar-benar mewarisi bakat Bunda, management dia selalu lebih baik daripadaku. Sebenarnya yang kukhawatirkan adalah Alsa meletakkan impiannya dengan mengurusi toko. Aku tak mau itu. Impian Alsa harus digapainya. Toko biar ku urus atau di urus Ibu Rohmah.
Farah? Apa kabar Farah?
Farah Masih sering menghubungiku. Selalu menanyakan kabar perkembangan kesehatanku. Mengingatkanku untuk makan, minum obat dan menjaga pola tidurku.
“Jangan lupa minum obat Mas. Biar cepat sembuh.”
Aku sudah sembuh. Fisikku saja yang luka. Batinku sudah kembali pulih. Sudah lekas dari kehilangan yang masih membekas. Bulan-bulan suram itu sudah berhasil kulewati. Tanpa disuruh pun aku pasti meminum obat, tapi aku sudah terlebih dahulu menemukan obat itu. Farah adalah obat dari segala risauku saat ini. Jadi apakah Tuhan menciptakan Farah ketika sedang tersenyum?
***
“Bhre, bagaimana keadaanmu?”
“Baik Jon.”
“Kabarmu?”
“Baik Jon.”
“Perasaanmu?”
“Baik Jon. Pertanyaanmu aneh. Ada apa?”
“Kulihat kemarin sore Farah jalan dengan mantannya, Ian.”
Menyusun perasaan baik-baik dan serapi mungkin adalah pilihanku selama ini. Walau akhirnya ada pula yang meruntuhkan. Barangkali benar, membangun sebuah bangun itu sangat susah, tapi menghancurkannya bisa dalam hitungan detik saja. Aku yakin sebesar-besarnya stadion Gelora Bung Karno bisa hancur dalam semalam. Atau sebanyak apapun buku di perpustakaan nasional, bisa terbakar menjadi abu dalam semalam.
Membaca pesan Jon, aku harus mengambil nafas dalam-dalam. Lalu ku keluarkan perlahan. Tapi dadaku masih saja terasa sesak. Selama ini aku tidak pernah punya riwayat sakit sesak nafas. Sama sekali tidak ada. Tapi kenapa dadaku begitu sesak rasanya? Aku kembali mengatur nafasku baik-baik.
“Sebenarnya perasaanmu padanya bagaimana Bhre? Apakah selamanya kamu akan menggantung?”
Jika cinta adalah pakaian, barangkali aku tidak akan menggantungnya. Akan kulipat dan kusimpan saja di lemari. Kukunci rapat-rapat agar orang lain tidak melihat apalagi mencurinya. Tapi cinta bukan pakaian kan? Yang apabila bosan bisa diganti dengan pakaian yang lain.
“Ungkapkan saja jika kamu ada rasa padanya.”
Andai mengungkapkan perasaan itu sebagaimana menerbangkan layang-layang. Tentu sudah kuterbangkan saja dari kemarin sore. Tapi bukankah dalam bermain layang-layang kita seringkali menarik ulur? Apalagi jika aku harus menarik ulur perasaan dengannya?
“Jika diterima syukur, alhamdulillah. Jika ditolak, berarti belum jodoh. Sesederhana itu, Bhre.”
Aku takut dengan kata sederhana dalam cinta. Aku takut sebagaimana syair Pak Sapardi. Aku belum siap jika menjadi kayu yang menjadi abu, atau awan yang menjadi hujan dan menjadikannya tiada. Cinta tidak sesederhana itu. Yang kurasakan saat ini masih berisi semua keraguan.
***
“Selamat malam, Melinda.”
“Iya Mas Bhre. Ada yang bisa Melinda bantu?” balasnya.
“Menurutmu Farah itu bagaimana?”
“Kenapa tanya demikian?”
“Tidak. Aku hanya ingin tahu saja.” Alihku.
“Dia baik kok, Mas. Aku banyak belajar padanya. Dia ramah. Rajin. Pinter. Cantik. Banyak baiknya deh.”
“Selain itu? Buruknya mungkin?”
“Apa ya? Kentut sembarangan mungkin.” Canda Melinda.
Aku menyeringai dibalik layar ponselku. Kalau ini aku tahu. Katanya sering kelepasan, dia tidak suka menahannya. Sebab kentut itu seperti rindu. Kalau tidak segera di lepaskan bisa jadi penyakit.
“Ohya, kenapa Mas tanya begitu? Kan Mas sudah dekat dengan dia beberapa bulan ini?”
“Hanya ingin tahu saja, Mel. Ohya, menurutmu dia ke aku bagaimana, Mel?” ketikku ragu-ragu. Tapi tetap saja pesan itu kukirim.
“Maksudnya Mas?”
Pertanyaan Melinda ini justru membuatku semakin ragu untuk kembali membalasnya. Apa Melinda masih belum juga paham dengan maksudku? Atau hanya ingin memastikan?
“Maksudku.... apa dia ada rasa padaku?” aku sudah mengetik pesan ini. Tapi kuhapus lagi. Urung mengirimnya.
Aku menggantinya dengan pesan yang lain.
“Maksudku apa dia sedang dekat dengan oranglain?” ini adalah kata yang paling tepat untuk sampai pada tujuan yang kuinginkan.
Untuk beberapa saat Melinda belum membuka pesanku. Aku tinggal ke dapur untuk membuat kopi. Sampai aku kembali ke tempatku semula belum juga ada balasan dari Melinda. Padahal aku sduah tidak sabar ingin membaca balasan Melinda.
“Setahuku tidak Mas. Tidak ada cowok yang dekat dengannya. Hanya Mas saja.”
Lega rasanya. Dadaku tidak lagi sesak. Apa ini artinya aku ada kesempatan untuk mendekatinya dengan lebih serius? Tidak sekedar teman yang justru akan menjebak kami di ruang frindzone[1].
“Dia juga pernah bercerita sih kepadaku tentang, Mas.”
“Serius? Bagaimana?”
“Ya, kata dia sedang dekat aja dengan Mas. Mas orangnya baik. Farah banyak belajar kepada Mas, katanya. Mas juga dewasa dan pengertian.”
Ya Tuhan, benarkah Farah mengatakan demikian tentangku? Hampir saja aku tak percaya. Apa benar? Seriusan, aku seolah tak percaya. Jika seperti itu, apakah aku sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa dia ada rasa denganku? Oh, tidak. Aku belum bisa mengambil kesimpulan secepat ini. Bukankah dalam materi pengantar logika kita harus sesuai dengan kaidah premis mayor dan minornya baru bisa mengambil konklusi? Tapi yang dikatakan Melinda barusan sepertinya sudah mewakili premis mayor dan minornya. Apakah aku sudah bisa menentukan bagaimana konklusinya?
Aku memberanikan diri untuk mengetik sesuai isi pesan yang kuhapus diatas.
“Menurutmu apakah dia ada rasa padaku, Mel?” Enter. Terkirim.
Melinda tak kunjung membalas pesanku. Kira-kira kemana dia? Sedang ke toilet kah? Ketiduran kah? Pasalnya ini tengah malam aku mengiriminya pesan.
Satu pesan Masuk. Perasaanku campur aduk.
“Maaf Mas. Melinda tidak tahu.”
Ah, kukira aku sudah bisa menemukan jawaban konklusi yang kucari. Ternyata aku masih menerima jawaban harap-harap cemas.
***
Alsa mengantarku ke stasiun. Kakiku sudah normal untuk berjalan. Aku sangat bersyukur masih bisa selamat dalam kecelakaan tragis itu. Tuhan masih memberiku kesempatan untuk hidup, tentu dengan hidup yang lebik baik lagi dari sebelumnya.
Stasiun Wonokromo masih padat seperti biasanya. Panasnya juga sama. Gerah dan polusi udara di kota Surabaya barangkali jodoh. Baru sebentar keluar rumah, kerah bajuku sudah mulai basah.