“Bhre, aku tidak pernah mempermasalahkan dirimu makan bubur dengan diaduk atau tidak. Tapi soal hati kau harus memilih, dia yang jelas-jelas mencintaimu atau dia yang kau sukai tapi perasaannya masih menggantung padamu?”
“Jika hidup adalah pilihan, aku memilih keduanya, Jon.”
“Asu kowe Bhre.”
Jon menghardik. Aku tertawa dan melanjutkan sarapan buburku.
“Kadang hidup terlalu rumit dengan beragam pilihan, Jon. Tapi tidak semuanya harus kau pilih. Kadang kita harus menerima takdir. Itu adalah satu-satunya pilihan terbaik yang pernah Tuhan berikan. Iya kan?”
“Tapi tidak bisa begitu Bhre. Dirimu harus memilih dan memutuskan.”
“Jon, aku juga tidak pernah peduli dengan kesesatan non causa pro causa atau post hoc ergo propter her, yang ku yakini saat ini adalah mencintai bukanlah tentang sebab-sebab atau akibat-akibat. Aku tidak percaya bahwa sesuatu yang sesungguhnya bukan sebab diperlakukan sebagai sebab. Kenapa demikian, karena aku meyakini bahwa cinta itu fitrah, langsung dari Tuhan. Tapi manusia seringkali mencintai karena sebab. Dan akibat itu adalah mencintai itu sendiri.” Jelasku pada Jon dengan beberapa teori tentang logika falasi.
“Otakku gak sampai, Bhre. Pusing.”
“Makanya, kalau belajar logika dituntaskan, Jon.”
“Ora belajar logika ora pateken[1] Bhre.”
“Jika belajar logika justru membuatmu rumit, berarti kamu keliru Jon. Seharusnya kamu belajar logika untuk menyederhanakan semua hal.”
“Tapi kamu belum menyederhanakan pertanyaanku tadi Bhre. Jadi memilih dan memutuskan siapa? Melinda atau Farah?”
Pertanyaan macam apa yang diajukan Jon padaku. Sebuah pertanyaan yang cukup sulit dijawab. Tapi setidaknya aku sudah menjawab pertanyaan Melinda beberapa waktu lalu. Aku belum siap menerima cinta. Tentu ini sangat memukul perasaannya. Seusai dari cafe malam itu aku mencoba menenangkan perasaannya walau sebenarnya aku tahu dia sangat terluka. Bagaimana lagi, jika Melinda tidak segera mengungkapkan dia akan semakin terluka. Dan terakhir, aku yang akan menyatakan perasaanku pada Farah. Apapun yang akan terjadi aku sudah belajar dengan Melinda malam itu.
***
Tadi malam aku melakukan shalat istikharah di hari ke lima sebelum aku menyatakan perasaanku pada Farah di hari ke tujuh. Sebuah cara untuk mengembalikan semua keputusan kepada Tuhan. Sebuah cara pula untuk meyakinkan seseorang pada pilihannya, antara maju berperang atau mundur. Menyatakan atau mengurungkan. Mengiyakan atau menolak. Beruntungnya dalam agamaku ada konsep seperti ini. Aku jauh lebih tenang jika mengembalikan segala urusanku pada-Nya.
“Sedang sibuk apa, Farah?”
“Ini sedang partime di lab, Mas.”
“Oh, begitu. Ya sudah. Silahkan di lanjutkan. Mohon maaf mengganggu.”
“Tidak, Mas. Ini sedang jam istirahat kerja kok.”
Belakangan aku baru tahu kalau Farah sedang partime di kampus. Partime adalah kerja paruh waktu yang bisa dikerjakan oleh mahasiswa. Tapi tidak semua mahasiswa ber-orientasi pada hasil atau gaji dari kampus. Kalau aku dulu partime memang untuk mencari uang dan pengalaman. Dulu Masa bodo dengan pengalaman, yang penting aku bisa makan.
Jika aku melihat Farah, menurutku tidak ada hal apapun yang melatarbelakanginya untuk mencari uang menjadi mahasiswa partime. Dia jelas sangat ingin menambah pengalaman dan wawasan. Biaya hidup dan kuliah Farah semuanya di tanggung orangtuanya. Jadi menurutku Farah memang terlahir dari keluarga yang mampu dan berkecukupan.
“Jika nanti malam ada waktu luang. Ngopi yuk?”