Malang, 10 Agustus.
Pukul 21.45 WIB.
Aku memacu motorku membelah jantung kota Malang. Jalan Veteran rasanya panjang sekali. Sesaknya dadaku rupanya mengaburkan pandangan. Helm bogo ku yang tanpa kaca itu seolah-olah berkaca. Aku kira, aku salah mengambil helm milik orang lain di tempat parkir. Ternyata mataku yang berkaca-kaca. Dan memantulkan cahaya pengendara lain di pelupuk mataku.
Sepanjang jalan pulang. Tak ada satupun kata yang dapat ku ucapkan pada Farah. Begitu pula Farah. Kami sempurna menjadi patung yang berdekatan tapi tak saling bicara. Banyak hal yang berkecamuk dalam dada. Ingin rasanya berteriak sekencang mungkin. Atau berlari sampai batas dimana aku sudah tidak sanggup lagi berlari. Tapi kemana? Semua kenyataan ini ada di depan mata dan kepalaku sendiri. Semuanya sudah kudengar dengan begitu jelas dari mulut Farah. Dan pada akhirnya konklusi yang bisa kutemukan adalah Farah tidak mencintaiku. Semua prediksiku selama ini ternyata salah. Kukira, Farah juga mencintaiku. Aku menyesal, tapi untuk apa? Tidak akan memperbaiki apa-apa.
Lalu untuk apa selama ini kita dekat? Untuk apa selama ini hadir dalam kehidupanku yang semula baik-baik saja? Aku sangat ingin kembali dimana aku tidak sedekat ini dengan Farah. Aku menjadi Bhre yang biasa saja, Bhre yang belum mengenal kata cinta atau nama Farah yang terselip dalam semua bait-baitnya.
Untuk pertama kalinya aku menggugat namaku sendiri, aku Bhre, Bhumi Restu. Apakah saat ini semesta sedang tidak merestuiku? Kenapa baru saat ini? Jika memang tidak restu, kenapa harus ada temu antara aku dan dia? Semesta, bukankah ini terlambat? Aku sudah terlalu jatuh dan jauh pada Farah? Jika harus patah, tentu sangat lama untuk bisa kembali tumbuh.
Ingin rasanya aku bercerita pada Bunda bahwa tidak hanya pacaran yang bisa berakhir patah dan luka. Tapi menjadi teman dekat yang mencinta bertepuk sebelah tangan sungguh sangat sakit jua rasanya. Perih. Mau dikata apa, jika sudah luka, hanya ada satu hal yang bisa dilakukan, merawatnya hingga semua perasaan itu bisa kembali menjadi baik-baik saja.
Barangkali cinta memang tidak pernah mengenal musim kemarau. Kapanpun dan dimanapun bisa saja mendung dan hujan. Harus siap-siap payung bukan? Tapi aku lupa, aku lupa bahwa aku tidak sedang membawa payung itu saat ini. Aku sempurna basah kuyup. Sekujur tubuhku dingin.
***
Malang, 11 Agustus.
Aku mengambil ponselku. Ku cari Jon. Saat ini kehadiran Jon sangat kubutuhkan. Tapi tidak mungkin dia akan ke Malang. Dia sudah kembali ke tanah kelahirannya, Jogja. Kota dengan semua kearifan lokalnya.
“Jon, Malang gerimis malam ini.”
“Di Jogja tidak gerimis, Bhre.”
“Gerimis itu apa malaikat sedang menangis ya, Jon?”
“Bukan, Bhre. Gerimis adalah adalah perasaan kita. Perasaan lelaki yang sedang ada Masalah. Gundah dan gelisah.”
Kenapa pembicaraan Jon bisa sesuai dengan apa yang kurasakan saat ini? Apakah intuisiku dengan Jon sebagai sesama sahabat sudah sangat dekat dan lekat?
“Kenapa begitu Jon?”
“Semua lelaki enggan menampakkan tangisnya, Bhre. Ia memilih gerimis. Karena hampir-hampir tak terlihat. Walau akhirnya basah juga.”
“Tapi bukankah lebih baik hujan agar orang lain tak tahu bahwa kita sedang menangis, Jon?”