Bersekolah di salah satu SMA yang terletak tepat berhadapan dengan jalan raya memaksa gadis berperawakan tidak terlalu tinggi itu menunggu angkutan umum hampir lima belas menit lamanya. Kakak laki-lakinya yang belum berumah tangga sudah pergi ke tempat kerja lebih dulu. Maka tidak bisa tidak. Ia harus menunggu angkutan umum berikutnya karena tidak ingin berdesakan.
Kia tak bisa berhenti mengecek arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya setiap beberapa detik berlalu. Tujuh belas menit lagi gerbang sekolahnya akan ditutup. Tidak bisa berbohong, Kia mulai panik. Belum lagi jika angkutan umum yang akan mengantarkannya ke sekolah harus menepi dulu saat tiba di pasar, guna mendapat penumpang yang baru.
Karena mendesak, akhirnya Kia menaiki angkutan umum yang baru datang dan memaksanya harus rela berdesakan.
Subang hampir menyerupai Jakarta di pagi dan sore hari. Dan Kia tidak pernah menyukainya. Ia tidak suka debu. Sama seperti tidak sukanya ia ketika harus berdesakan. Tapi memilih telat di hari Pekan Kreativitas Siswa, bukanlah pilihan yang tepat. Selain karena berpartisipasi dalam lomba ambasador, ia juga tidak akan membiarkan dirinya kena hukuman akibat telat.
"Rein, tunggu!"
Kia berhasil lolos dari gerbang utama sekolahnya yang nyaris ditutup oleh satpam. Gadis lima belas tahun itu lantas berlari untuk mengejar Reina yang tak mendengar suaranya.
Sebenarnya, jika mau, Kia punya kesempatan untuk menghentikan langkah Reina dengan cara berteriak memanggil namanya. Tapi Kia tidak suka menjadi pusat perhatian. Lalu saat langkahnya hampir sejajar dengan Reina, ia tersandung tali sepatu yang entah sejak kapan terlepas dari ikatannya.
"Auuuhh!!!" ringis Kia. Kedua telapak tangannya sempurna menempel pada aspal.
Reina menoleh seutuhnya. Bola matanya membulat dalam sekejap.
"KIA!" pekiknya usai menyaksikan Kia tersungkur di belakangnya.
Dengan sedikit kebingungan, Reina berjongkok, membantu Kia untuk berdiri.
"Lo sejak kapan ada di belakang gue?" Reina tak bisa menutupi kekhawatirannya.
"Duh, Rein. Lebih baik sekarang lo bawa gue ke UKS." Kia masih meringis.
Usai membantu Kia berdiri, Reina sedikit membungkukkan tubuhnya, lantas ia menutup mulut dengan kedua telapak tangannya.
"Lutut lo berdarah, Kia!"
Kia yang jatuh, Reina yang khawatir. Kia yang berdarah, Reina yang panik. Entah karena jiwa Reina dan jiwanya sudah menyatu. Atau justru karena Reina memang lebay.
"Cuma bercak, Reina. Gak usah lebay deh!" protes Kia.
Reina bergegas menuntun Kia. Ia tidak bisa berhenti mengomel sepanjang jalan hingga menyita perhatian orang-orang yang berpapasan dengannya. Terlebih saat keduanya berpapasan dengan beberapa kakak kelas yang tidak menyukai Reina. Kia ingin tenggelam saja rasanya.
"Lagian lo aneh-aneh aja. Pakai acara jatuh segala. Lo kan tahu beberapa jam lagi lomba ambasador akan berlangsung. Terus gimana kalau sudah kayak gini?"
"Rein..." lirih Kia. Sejujurnya ia ingin menyumpal mulut Reina karena tak bisa berhenti bicara.
Setelah Reina menelepon Dipta, selaku wakil ketua PMR yang baru, yang kebetulan adalah teman sekelasnya, lelaki itu akhirnya muncul dari balik pintu. Ia tidak sendiri. Ada Aksa yang membuntut di belakangnya.
Dipta mengambil kotak P3K sedang Aksa terburu-buru menghampiri Kia.
"Gimana ceritanya bisa jatuh begini?"
Aksa, manusia dengan banyak tingkah menyebalkannya itu bisa cemas juga. Ternyata, Aksa memang cuma manusia.
Kia terkekeh. Lucu saja menyaksikan Aksa mencemaskan dirinya.
"Heh!" Aksa mengetuk dahi Kia. "Gue panik dan lo malah cengengesan kayak orang sinting. Yang luka lutut sama telapak tangan lo, tapi kenapa otak lo yang geser?"
"Kasar!" umpat Kia.
Dipta mengambil posisi duduk di samping kanan Kia sedang Aksa masih berdiri di hadapannya. Reina, gadis itu berdiri di sisi ranjang yang Kia duduki.
"Dip, lukanya enggak perlu diperban kan?" tanya Reina.
"Dikasih obat luka sedikit juga besok sudah sembuh. Tapi perlu ditutup kapas supaya lukanya cepat kering," jelas Dipta.
"Enggak akan mengganggu pas nanti lomba kan?" Reina kembali bertanya.
"Enggak. Lagian kostum yang Kia pakai itu panjang. Jadi lukanya enggak akan kelihatan."
"Aw!" Akia memekik dengan spontan ketika cairan berwarna merah kecokelatan menetes di pergelangan tangannya.
"Tahan. Perihnya tidak akan lama." Instruksi Dipta.
"Tahan-tahan! Namanya juga perempuan. Perih sedikit, menjerit, ya wajar lah!" sungut Aksa tak terima.
"Itu namanya lebay!" timpal Dipta.
"Duh, kenapa jadi pada ribut sih?" lerai Kia.