"Kenapa semalam susah dihubungi?" tanya Aksa dengan tas gendong yang belum ia taruh di mejanya.
Di kursinya, Kia membuka earphone lantas menyimpan ponselnya di atas meja. "Apa?" tanyanya.
"Kenapa semalam susah dihubungi?" Aksa mengulang pertanyaannya.
Dalam keadaan masih berusaha membuat keadaan baik-baik saja meski semalam ia kesulitan memejamkan mata karena memikirkan Khanifa yang masih berhubungan dengan Aksa, Kia tersenyum miring. "Gue capek banget, Sa. Bukankah seharusnya sekolah diliburkan saja karena puncak PKS kemarin benar-benar menguras tenaga?" Kia berbohong.
"Lo bisa hubungi gue dulu sebelum lo istirahat, Kia. Emangnya sulit banget kasih kabar doang?"
"Aksa, gue ketiduran, pulas banget."
"Oh ya?"
Kia mengangguk dengan pasti.
"Lalu kenapa semalam Instagram lo aktif?"
Gadis itu mencoba tenang meski pikirannya menolak. Tapi begitu mengingat bahwa alasannya berbohong karena Aksa masih berhubungan dengan Khanifa, ia tak tanggung-tanggung memasang wajahnya dengan tenang dan balik menatap lawan bicaranya tanpa rasa takut sama sekali.
"Kenapa?" lelaki yang suka menciptakan lelucon di kelas itu, kini tengah menatap Kia tanpa gurat senyum sedikit pun.
"Kia, ada yang nyari!" teriak Lulana—si gadis melankolis di kelasnya—yang kini tengah berdiri di ambang pintu.
"Siapa?"
Gadis itu mengangkat kedua bahunya, pertanda bahwa ia tidak mengenali seseorang yang mencari Kia. Tanpa kata, Kia meninggalkan Aksa. Begitu ia berpapasan dengan Mala, gadis itu berbisik, "Kakak kelas kayaknya."
Deg!
Kia menelan ludahnya sebelum ia memberanikan diri untuk kembali melangkah. Lantas begitu ia tiba di pintu dan menoleh ke kiri, ia menemukan Hasbi sedang bersandar di tembok kelasnya.
"Kakak mencari saya?" dengan berusaha menutupi kegugupannya, Kia bertanya.
Hasbi melebarkan senyumnya, "Apakah pertanyaanmu butuh jawaban? Ah iya, jangan panggil kakak. Panggil saja Hasbi."
Kia hanya mengangguk beberapa kali dengan membentuk bibirnya menjadi sebuah garis lurus.
"Semalam aku memimpikanmu. Makanya pagi ini memberanikan diri menemuimu," tutur Hasbi.
Bagai mati kutu, Kia tak dapat melakukan apa pun selain mendengarkan. Ia cukup tidak nyaman terlibat percakapan dengan seseorang yang baru dikenalnya, yang tak lain adalah kakak kelas, di koridor kelasnya pula. Belum lagi, teman seangkatannya yang berlalu lalang tak bisa menjaga pandangan. Mereka terang-terangan memperhatikan keduanya.
"Bolehkah aku meminta nomor WhatsApp-mu? Atau jika kamu nggak bermain WhatsApp, kamu bisa memberikanku nomor ponselmu," katanya sambil mengulurkan ponsel pada Kia.
Jika sudah seperti ini, bagaimana cara Kia menolaknya? Gadis itu tak bisa berhenti berpikir di tengah kegelisahan yang berhasil ia sembunyikan.
Tak ada tanggapan, Hasbi kembali bersuara, "Tapi jika kamu nggak berkenan mem-"
Ucapannya terhenti begitu Kia menerima ponselnya dan mengetik nomornya di sana. Ia lantas menyerahkan kembali ponsel tersebut kepada pemiliknya.
Usai melihat nomor Kia tersimpan di kontaknya, Hasbi kembali tersenyum. Dan Kia tertegun melihat senyum manis itu.
"Rupanya kamu bermain WhatsApp," gumamnya, "Terima kasih, adik kelas."
Hasbi berlalu dan Kia segera memegang kepalanya yang mendadak pening. Dalam hati, ia tidak bisa berhenti merutuki kebodohannya karena tidak kuasa menolak saat Hasbi meminta nomornya.
"Sejak kapan bermain WhatsApp?"
Kia terlonjak karena Aksa tiba-tiba berdiri di sampingnya.
"Lo dengar semuanya?"
"Iya. Se-mu-a-nya."
"Bagus deh! Jadi gue gak perlu repot-repot jelasin kenapa semalam Instagram gue aktif."