Kegiatan belajar mengajar harus dihentikan selama dua hari. Alasannya cukup menyenangkan. Dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Di tempat Kia bersekolah, ternyata ada banyak kategori lomba yang diadakan setiap tahunnya. Tapi tidak ada satu lomba pun yang Kia minati. Ia memilih menjadi penonton saja. Sedangkan Aksa berpartisipasi dalam lomba futsal antar kelas.
Hari ini adalah hari pertama. Tepat pada tanggal tujuh belas Agustus. Kia kira, salah satu SMA di Bandung yang terkenal dengan aktif-nya itu tidak akan merayakan hal-hal semacam ini. Makanya ia merasakan senang yang amat ketika mendapat informasi tiga hari yang lalu dari Ainun, selaku ketua kelasnya.
Meski tidak ada kegiatan belajar mengajar, semua murid diwajibkan mengikuti peraturan yang telah ditempelkan di pintu masing-masing kelas oleh OSIS, selaku panitia. Usai jam istirahat berbunyi sekitar dua puluh lima menit yang lalu, lima menit lagi mereka harus ke lapang belakang yang letaknya tepat di depan koridor kelas sepuluh IPA 5, kelas Kia dan Aksa. Saat ini Kia dengan stiker bendera merah putih di pipi kanannya, sedang berjalan bersama Reina dan Rahma menuju kelasnya. Ketiganya berjalan beriringan dengan kekehan yang sesekali terdengar. Entah karena tingkah Reina, cara Rahma bercerita, atau ketiganya memang masuk dalam daftar manusia receh hingga mudah terkekeh, bahkan karena hal-hal yang amat garing untuk menimbulkan kekehan.
"Bentar. Tahan! Tiga... Dua..."
Jepret!
Kaki Kia kaku seketika. Rasanya lemas sekali ketika menyaksikan Heiko memegang sebuah kamera dan menghitung maju sebagai kode untuk memotret dua manusia yang saling melemparkan senyumnya ke arah kamera.
"Lagi?" Heiko kembali menawarkan diri sebagai tukang potret.
"Sekali lagi ya?" pinta Aksa pada Aqilla.
Yang dimintai persetujuan hanya mengangguk dengan rasa senang yang tidak tenggelam sedikit pun. Detik berikutnya Aksa merangkul pundak Aqilla.
"Tiga... Dua..."
Tak tahan lagi menyaksikan peristiwa tidak mengenakkan di depan matanya, Kia berjalan secepat mungkin. Ia berjalan tepat di belakang Aksa dan Aqilla yang sedang asyik-asyiknya dipotret oleh Heiko.
Jepret!
"Kia," Reina sedikit berteriak untuk menyadarkan Aksa yang sedang merangkul Aqilla. Terlebih, kepala Aqilla kini sudah menempel di pundak Aksa. Benar-benar membuat Reina geram namun tak dapat berkata-kata.
"Permisi ya..." ucap Rahma pada Aksa, Aqilla, dan Heiko. Ia menyusul Kia dan Reina menuju kelasnya.
Entah apa yang ada dalam pikiran Aksa karena lelaki itu malah melanjutkan aktivitasnya bersama Aqilla yang sempat terhenti.
***
"Ki, kalau lo mau marah, ungkapin aja. Wajar kok. Elo kan lagi dekat sama Aksa," ucap Reina setengah kesal begitu ketiganya tiba di kelas.
Rahma justru berpendapat sebaliknya, "Tapi Kia bukan pacar Aksa, Rein. Rasanya aneh kalau marah karena Aksa foto bareng cewek lain."
"Aksa yang ngotot ngajak pdkt. Terus sekarang dia bersikap seenaknya. Lo mau diam aja?" amarah Reina semakin tak terkenali.
"Rein, Rahma benar. Gue bukan siapa-siapa dalam hidup Aksa. Gue cuma salah satunya. Menurut lo, gue berhak mengekspresikan rasa kesal gue?" ujar Kia.
"Lo enggak bisa kayak gini, Ki. Dia udah seenaknya sama lo!" kukuh Reina.
"Sejak awal gue tahu kejadian hari ini akan terjadi. Besok atau lusa juga akan kejadian lagi. Tapi gue udah siap sama semua konsekuensinya."
"Kenapa lo enggak pacaran aja sama Aksa?" tanya Reina, "Karena Aksa enggak nembak lo, kan?" sinisnya.
Kia tertegun.
Bahkan Aksa enggak pernah bilang suka sama gue.
Gadis itu lantas berdiri, "Karena gue belum percaya sama dia!" tegasnya.
Ia lantas keluar dari kelas. Sedangkan Rahma bertugas mencegah Reina agar tidak menyusul Kia.
Serapat apa pun ia menyembunyikannya, Reina tetap merasakannya. Jiwanya dengan jiwa Reina memang sudah menyatu. Hingga perkara sekecil itu saja, Reina mengetahuinya. Andai ia tidak menyukai Aksa, mungkin mudah baginya untuk tidak merespon semua perlakuan Aksa padanya.
Kia melangkah tanpa tujuan hingga kakinya menuntunnya ke anak tangga yang akan menepikannya di sebuah ruang komputer yang ada di lantai dua. Tapi berdiri di depan ruang komputer yang berhadapan langsung dengan lapangan belakang, jelas bukan pilihan jika ia tidak mau menjadi pusat perhatian. Akhirnya Kia memutuskan untuk membalik badan, berniat duduk di salah satu anak tangga yang ada.
Ketika tubuhnya berhasil berbalik sepenuhnya, kakinya lemas seketika.
Aksa!
Gadis berambut sepunggung itu terpaku dengan senyum yang Aksa tebarkan padanya.
Aksa melambaikan tangannya tepat di depan wajah Kia. "Hei!"
Begitu tersadar, Kia membalasnya dengan senyuman. Yang tentu saja dengan paksakan.
"Lo ngikutin gue?" tanya Kia usai Aksa duduk di sampingnya.