Wali Kala Nanti

Ana Latifa
Chapter #1

Tikus Bangka

Pulang ke kampung halaman terasa seperti menelan muntahan. Bertahun-tahun laki-laki itu menghindari ajakan orang tuanya. Mengeluh kesibukan menyita, ramainya lalu lalang, bahkan sudah tidak terhitung dia menjadikan penyakit mag palsunya sebagai alasan. Namun pada akhirnya, dia tiba juga. Dengan paksaan, kepasrahan, dan sedikit keajaiban.

Tadi siang, dia masih berada di ibu kota. Sejenak masih berharap ada harapan untuknya di sana. Meski teman-temannya mengatainya tolol abadi, dia tidak peduli. Dia ingin tinggal jauh dari orang tuanya. Agar kemalangan nasibnya tidak jadi tontonan tetangga, tangisan orang tua, apalagi hiburan bagi teman sejawat yang karirnya menanjak keterlaluan cepat. Ketika dia hanya teronggok menyedihkan di pinggiran ibu kota. Terjebak di kamar–yang tidak layak disebut kamar–di sebuah rumah susun tiga lantai, yang seharusnya roboh sejak lima tahun yang lalu. Tidak ada yang tahan melewati tangga rumah susun tanpa menutup hidung. Meskipun sudah melakukannya, aroma pesing masih begitu menyengat tercium.

Sehari-hari kamu akan mencium bau kaki orang-orang, dorongan untuk muntah karena busuknya aroma kasur berjamur, dan merasa waswas hebat setiap hujan melanda. Meski bukan bocornya atap yang laki-laki itu takutkan. Dia lebih takut saluran pembuangan di kaki bangunan meluap, menyusupi tiang-tiang bangunan, dan melunakkan itu di saat dia tengah terlelap. Lalu atap-atap rapuh itu benar-benar akan menyatukannya dengan tanah.

Seseorang melempar roti ketika melewati mes yang laki-laki itu sewa dengan tiga lembar kertas merah. Laki-laki itu tidak bekerja. Tidak ada pekerjaan yang menginginkannya. Kertas merah itu didapat dari menjual barang-barang yang dia temukan. Tepatnya, sengaja dia incar dan ambil.

"Kalau belum waktunya mati, kau tidak akan mati. Makanlah!" 

Pemilik suara itu berkulit hitam. Badannya tegap besar. Rambutnya keriting tebal dipangkas pendek serupa bola, seperti kepala jamur. 

Sementara sang laki-laki sibuk melamun tanpa ada yang benar-benar dia pikirkan. Kakinya menjulur selebar pintu. Dia tidak memakai atasan. Panas ibu kota tidak tertahankan.

Dia balas tersenyum yang kemudian itu berubah kaku sebelum sempat dia memakan roti–perpanjangan hidupnya.

"Larilah, Kus. Saya punya teman sudah tahu kau di sini. Utangmu besar sekali. Mereka tidak akan membiarkan kau lari lagi."

Dia tahu itu. Sebelum membuka bungkus roti, dia kenakan kaos yang tergeletak asal, menutupi tato ular naga berwarna merah gelap di balik punggungnya.

Lalu bersama cubitan roti satu per satu, dia menelan getir yang menggenang di mulut, juga kepahitan-kepahitan yang lain.

*

Laki-laki itu diberi nama Prayitno Kusumo. Namun, dia baru menoleh ketika dipanggil Tikus. Usianya tidak terbilang senja, tetapi tidak bisa dibilang remaja. Teman-temannya senang berkelakar memanggilnya Tikus Bangka.

Dan saat ini, Tikus tengah berlari dari kejaran kucing. Banyak kucing. Satu yang Tikus pelajari hari ini; kesulitan tidak akan pernah mendatangkan orang baik. Atau mungkin hanya padanya.

Tidak lama setelah Si Kepala Jamur memperingati, langkah-langkah berat dan penuh dendam memenuhi rusun. Tikus tidak sembunyi. Percuma sembunyi. Begitu dia tahu ajalnya hampir dekat. Dia merasa mungkin ini saatnya. Namun, Tikus tetap tidak ingin membuat segalanya menjadi mudah.

Tangkap aku kalau bisa ....

Tikus lupa badannya sudah tua. Ia tidak bisa diajak berlari sekencang yang mampu dia bayangkan. Si kucing-kucing itu pun tidak mau kehilangan kesempatan. Sesaat Tikus berhenti mengambil napas, dia tertangkap di kerah belakang, diseret, dan dipukuli di tempat. Tidak ada yang peduli pada orang susah. Tidak ada mata yang datang menghampiri meski Tikus sudah bercucuran darah. Semua pergi. Melupakan apa yang mereka lihat. Menjadi yang dilupakan memang harapan terakhir Tikus. Namun, jantungnya tetap berdebar meski harapannya sudah berada di pelupuk mata. Seolah bukan dia yang sengaja menantang kucing-kucing ini. Keberanian menghadapi kematiannya mendadak lenyap. 

Dia belum sukses.

Rambut Tikus dijenggut dan dia merasa keningnya retak karena dibenturkan pada dinding berulang kali. Hidungnya berdarah.

"Cepat bayar hutangmu!" perintah Si Hidung Bengkok. Kelopak matanya lebar. Diamnya pun sudah terlihat seperti melotot.

Tikus merapatkan rahang dan tersenyum. "Besok. Besok aku bayar."

Lihat selengkapnya