"Saya Mbah Mijan. Teman ibumu. Ingat, tidak? Sampean masih cilik waktu itu."
Mbah Mijan mengajak Tikus duduk di bangku kereta. Mereka duduk berdampingan, menghadap bangku kosong. Tikus dipersilakan duduk setelah Mbah Mijan duduk di dekat jendela. Untuk seseorang yang akan pergi jauh, Mbah Mijan tidak membawa banyak barang. Hanya kain jarik yang menyilang di badannya.
Tikus memproses kalimat itu dan menemukan buntu dilaporkan otaknya. Selain kebaya kutu baru Mbah Mijan yang seingatnya menjadi pakaian sehari-hari di kampung Tikus, tidak muncul gambaran lain.
Sadar keterpanaan Tikus adalah ekspresi ketidaktahuan, Mbah Mijan tertawa serak. Dia menggenggam sebelah tangan Tikus, meremasnya lembut.
Tikus tertegun. Permukaan telapak tangan Mbah Mijan terasa halus dan hangat. Tidak seperti kelihatannya.
"Masa depan itu urusan Gusti Allah. Kita sebagai manusia cuma bisa ngikut saja. Mengalir saja. Jangan melawan." Mbah Mijan tersenyum, memamerkan gigi depan yang sudah kosong.
Tikus mengangguk takzim. "Nggih, Mbah."
"Sampean mau ke kampung, to?"
Tidak, tetapi Tikus mengangguk. Dia terbiasa berbohong. Dia berencana akan turun di perhentian kereta selanjutnya. Lagipula, Tikus tidak punya tiket. Dia tidak punya pilihan selain turun sukarela atau akan diturunkan paksa.
"AYIT! Ini betulan kamu?"
Bahu Tikus ditepuk semangat dari arah kanan. Dia terlonjak untuk dua alasan. Pertama karena senang bertemu teman lama. Kedua karena sadar seharusnya dia tidak perlu sesenang itu. Tidak ada hal baik yang bisa dia ceritakan. Tidak seharusnya mereka bertemu saat ini. Di waktu ini.
"Wih, badanmu kekar seperti ini. Segar banget." Tikus ditarik berdiri oleh Yoyoh, teman SMA-nya.
"Segar?" Tikus mengernyit. Dia memperhatikan jari-jarinya sendiri. Ke mana semua lukanya pergi? Pantas sedari tadi dia tidak merasa nyeri. Beralih ke wajah, dia bercermin di jendela kereta. Meski buram dan hanya bisa melihat pantulan gelap, Tikus bisa meyakini bengkak di sebelah mata, kening, pucuk hidung, dan rahangnya juga turut menghilang. Berikut rasa sakitnya.
"Eh, kenapa, Yit?" tanya Yoyoh.
Tikus menggeleng dan berdiri tegap lalu tersenyum pada Yoyoh.
"Kamu sudah sukses, ya? Dusun kita heboh tahu kamu naik hajikan mamak sama bapakmu. Keren banget, Yit!"
Tikus tertawa hambar dan berjeda-jeda. "Baru daftar."
"Sudah bagus sekali itu! Yang penting sudah ikhtiar. Semoga kesampaian berangkat, Yit."
Lebih buruk dari Tikus, teman-teman sekolahnya terbiasa memanggilnya Ayit. Namun, selalu terdengar seperti mayit di telinga Tikus. Kata-kata adalah doa. Mamak selalu bilang begitu. Dia belum mau mati cepat. Setidaknya, dia ingin bertemu dulu Mamak dan Bapak yang sudah dia tinggalkan lama.
Tikus menggaruk belakang lehernya salah tingkah ketika Yoyoh menganggap itu bentuk kerendahan hati. Dia tertawa dan menepuk-nepuk lagi bahu Tikus.
"Kondisiku, ya, kayak begini saja." Dia menaikkan bahu, menunjukkan seragam dinas prama kereta api. "Jauh dibanding nasibmu ..., Pebisnis sukses!"
Binar mata Tikus redup, tetapi Yoyoh tidak menyadari itu. Dia merangkul Tikus, mengajaknya makan di dapur kereta api. Tikus segera menolak karena dia bersama dengan Mbah Mijan. Namun, ketika dia menoleh. Bangku yang tadi dia duduki telah kosong. Kepala Tikus berputar-putar mencari ke mana perginya Mbah Mijan. Dia mengembuskan napas lega melihat punggung Mbah Mijan berjalan menuju gerbong lain.
"Itu ... Mbah!" seru Tikus.
"Mbah siapa? Ayo, aku lapar sekali."
Meski berdaging tipis, Yoyoh berbadan tinggi. Dia menyeret Tikus dengan mudah. Tikus pun pasrah karena Mbah Mijan tak terlihat lagi di matanya.
Tikus akan pergi menyusul setelah urusannya dengan Yoyoh tuntas.
*
Tidak ada yang mengira ada sebuah kampung padat di dalam sebuah hutan pinus. Enam belas tahun Tikus tinggalkan, akses masuknya belum juga ada perbaikan. Hanya sedikit saja lebih lebar, seukuran badan mobil. Diapit pohon pinus yang menjulang, jalanan itu hanya berupa tanah yang ditempeli bebatuan persegi panjang 100 x 50 meter di tengahnya setiap sepuluh senti. Kendaraan motor hilir mudik sesaat Tikus sampai di depan gapura selamat datang dusunnya, yang sudah terbuat dari semen, bukan lagi bambu. Namun, Tikus membatu di sana. Dia tidak pernah benar-benar siap menghadapi beragam kebohongannya secara tatap muka.
Yoyoh tidak menyinggung soal tiket sama sekali. Ketika dia menanyakan ke mana Tikus akan pergi, dia langsung semangat menuding Tikus pasti akan pulang kampung mengingat kereta api yang dia naiki menuju Jawa Tengah.