Selepas menyolati jenazah dan menggendong orang tuanya bergantian menaiki keranda untuk kemudian digotong menuju tempat peristirahatan terakhir, Tikus mematung di depan tanah basah. Dia berharap seluruh warga dusun meninggalkannya. Lalu diam-diam dia akan menggali kuburannya sendiri dan tidur di sana.
Bapak dan Mamak belum dapat gelar haji.
Kenapa mereka tidak bertahan tiga tahun lagi?
Seolah bisa mendengar keluh kesah Tikus, Kuto berkata, "Sabar, ya, Kus. Haji orang tuamu insyaallah tetap tercatat. Atau kamu saja yang berangkat menggantikan mereka."
Tikus hanya menyunggingkan senyum sedikit dan menggeleng lesu.
Dia tidak butuh penghiburan. Dia butuh bantuan untuk menerima kenyataan.
Dan kedua hal tersebut sangatlah berbeda.
Sebelum benar-benar meninggalkan pemakaman, dia melihat Pak RT menggali tanah di antara makam orang tua Tikus, memasukkan beberapa biji tanaman dan menutupnya kembali. Pak RT pun mengangguk dan melewati Tikus.
Tikus ingin bertanya, tetapi Pak RT lebih dulu menjelaskan. "Bunga Kemboja. Bunga makam."
Sudah jadi tradisi warga dusun. Tikus mengangguk saja.
Hari sudah gelap. Sembari memeluk pergelangan tangannya sendiri, Tikus mengikuti gerombolan peziarah yang baru saja turut mendoakan. Tidak ada penerangan lain selain senter yang dibawa ibu-ibu di depannya.
Tiga ibu-ibu itu berjalan rapat-rapat. Entah karena tidak ingin ada yang tertinggal atau tidak ingin percakapannya sampai ke luar. Apa pun itu, sunyi di hutan pinus ini tetap mengantarkan suaranya menggapai telinga Tikus.
"Sudah dibilangin! Harusnya hati-hati malah ngeyel," seru Juarsih.
Roro menimpal, "Ya, kalau sudah dapat gulungan sudah kiamat, Bu."
"Wali itu tahu saja siapa yang bakal mati. Aku jadi takut, e. Gimana kalau besok giliranku?" Miyati termenung.
"Hush! Jangan bilang begitu. Berdoa saja supaya dipanjangkan umurnya sama Gusti Allah!" seru Juarsih.
"Aku lihat sendiri kondisi terakhir Mbok Sutarti." Badan Miyati bergelinjang ngeri. "Kok bisa meninggal cuma karena handuk?"
"Ya, karena tukang cuci, kali, Bu," sahut Roro. Ada senyum di ujung kalimatnya. "Ingat, tidak, kata Mbah Kakung? Manusia bakal dimatikan sesuai kebiasaannya sewaktu hidup."
Tikus tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, kecuali di bagian tukang cucinya.
Mulanya, Mamak seorang guru ngaji yang cuma dibayar sukarela, lebih sering tidak dibayar. Makan hanya mengandalkan penjualan kayu-kayu milik warga lain yang Bapak bantu urus. Berton-ton kayu memberati pundak Bapak. Tidak pernah sekali pun Bapak mengeluh itu berat.
Satu kali, Tikus meminta uang untuk ujian sekolah. Karena panen kayu tidak bisa dilakukan setiap saat, Bapak turun ke pasar. Dia mengira bahunya akan selalu kuat, selamanya kuat, Bapak paksa itu memanggul karung-karung beras. Bapak merasa tubuhnya baik-baik saja. Tidak dengan kenyataannya.
Bapak ambruk. Bahunya luka. Ototnya robek. Semenjak Bapak hanya bisa berbaring dan mengeluh seharusnya dia bisa memanggul kayu-kayu, Mamak berhenti mengajar dan mulai menawarkan diri jadi buruh cuci.
Wanita yang bekerja tidak pernah bisa dipandang baik di dusun ini. Itu menandakan ada sesuatu yang tidak pada tempatnya dan itu jadi bahan gibahan yang empuk. Harga diri keluarga terletak pada laki-laki. Bila raja keluarga tumbang, satu-satunya harapan hanyalah pada anak laki-lakinya. Dan, Tikus berlagak tidak tumbang, memamerkan segala-khayalan-yang dianggap kenyataan oleh warga dusunnya. Agar harga diri serata tanah ini tidak perlu diratakan lagi.
Tikus tidak sadar bila Mas Kuto mengikutinya dari belakang. Begitu dia berbelok menuju jalan sepetak di mana rumahnya berada, Kuto menyodorkan rantang pada Tikus.
"Makanan buatmu. Makanan kesukaanmu, Kus."
Tikus menerima itu dan mengangguk. Senyumnya hilang sejak orang tuanya tenggelam di bawah kaki. Dia tidak tahu cara memulihkannya. Tersenyum bagai sebuah dosa.