Wali Yang Dimakan Ular

Alim Bakhtiar
Chapter #1

#1 Bayi Dalam Perut Ular

Bayi Dalam Perut Ular

 

Melalui perantara Si Kutu, seorang pemilik restoran vegetarian yang sekaligus merupakan toko buku tua satu-satunya yang tersisa di daerah Prawirotaman Jogja, aku mendapatkan sebuah buku misterius yang harus aku musnahkan begitu selesai membacanya. Sebuah buku yang luar biasa antik mengingat samak kerasnya yang jelas tidak terbuat dari kertas tebal berlapis kain mahal biasa, melainkan terbuat dari kulit seekor ular sanca. Dan apabila lebih teliti mengamati ukuran sisik, bentuk gambar dan kekasaran wujudnya sangat jelas menandakan bahwa tentunya itu berasal dari seekor ular sanca yang sangat besar. Namun keanehannya tidaklah berhenti sebatas itu, mengingat ada tanda lain yang dapat dikatakan sebagai sebuah cacat dari buku aneh itu. Sebuah kerusakan yang nantinya aku sadari sebagai sebuah keajaiban, di mana terdapat sebuah lubang aneh yang tepat berada di tengah sampul belakang buku; sebuah kerusakan membentuk lubang memanjang dari belakang hingga mencapai pertengahan buku. Lubang sebesar jari telunjuk yang sangatlah janggal karena terkesan bukan diakibatkan desakan paku maupun tusukan belati. Lubang itu lebih mendekati sebuah kerusakan yang diakibatkan oleh lesakan sebuah peluru. Dan itulah rahasia yang seakan tetap menjadi rahasia selamanya sampai cerita ini selesai dikisahkan.

Entah kenapa, bentuk kulit ular keras pada sampulnya kemudian mengingatkanku akan sosok Si Buta dari Goa Hantu, seorang pendekar sakti dalam serial komik yang dulu semasa remaja sering aku pinjam dari penyewaan komik yang kebetulan juga memakai pakaian dari kulit ular raksasa yang dibunuhnya. Dengan bergurau aku kemudian menyebut buku itu sebagai kitab sakti Si Buta, sebuah ungkapan yang sangat Si Kutu benci. Aku merasa ia sosok pecinta buku yang sama sekali tak memiliki selera humor, gurauannya selalu terasa garing dan menyebalkan. Aku selalu mengingat bagaimana wajah bulat Si Kutu yang merengut sangat persis dengan remasan kertas tisu tiap aku mencandainya dengan humor. Dengan rambutnya yang tak rapi itu dan wajahnya yang mengkerut terlihat semakin kacau karena kekhawatirannya bahwa kehadiranku hanya akan merusak buku yang disebutnya sebagai buku amanat seorang wali. Ia terlihat seperti pecinta buku yang serius sekaligus dikutuk ketragisan. Aku rasa ia kurang membaca buku humor dan filsafat bahagia. Sudah dapat dipastikan bahwa ia merupakan kelompok manusia ringsek yang banyak dihantam tragedi buruk dalam hidupnya. Aku menjadi sedikit yakin apabila jalan hidup dan kisah cintanya pastilah tak jauh dari drama absurd dengan premis dan tikungan yang menjemukan. Seorang manusia yang seakan menjadi sebanding lurus dengan namanya: kecil, menjengkelkan dan membuat siapa pun ingin menggaruk-garuk kepalanya sampai lecet karena gatal. Atau bila dihubungkan dengan sebuah buku, jelas sekali ia merupakan jenis mahluk terkucil yang terlalu terobsesi dengan benda yang bernama kertas.

Aku menjadi tersenyum sendiri, akan sikap Si Kutu yang sangat berhati-hati dalam menjaga dan memperlakukan buku aneh itu layaknya seorang ibu. Mungkin lebih tepatnya seperti seseorang yang terlalu banyak menyimpan rasa kehilangan, sehingga seolah segala yang ia jaga dengan kehati-hatian akan pecah atau rusak ketika orang lain memperlakukannya dengan sembrono dan serampangan. Layaknya seorang penjaga amanah yang budiman yang dengan segenap jiwa raganya bertugas menjaga rahasia. Dengan berlebihan pula ia mengatakan bahwa buku itu setara dengan kitab suci yang harus dihormati dan membutuhkan perlakuan khusus ketika membukanya. Dia bahkan harus mengatakan dengan tekanan suara yang memberat bahwa setelah ia menyerahkannya, aku harus menjaga buku itu layaknya melindungi nyawaku sendiri. Sungguh, ia menjadi seorang tua yang menyebalkan ketika dengan penuh keyakinan ia mengatakan bahwa buku itu adalah kitab yang dikarang sendiri oleh Sang Guru Pohon atau yang lebih dikenal oleh orang kebanyakan sebagi Nur Wali. Seperti mengigau ia membualkan bahwa dengan darah dan airmatanya sendiri Nur Wali telah menggoreskan dzikir dan wirid rahasia yang kemudian menjadi kobaran api yang membakar siapa pun yang membacanya tanpa terlebih dulu berdo’a atas nama orang-orang suci. Konon hanya manusia yang berjalan dengan suluk yang dapat memasuki isi bukunya. Maka tak heran apabila buku itu kemudian disebut sebagai “Kitab Api.”

Aku cukup menduga bahwa nama itu terlalu diromantisir untuk membuatnya terlihat sebagai kitab keramat yang sangat berharga bagi peradaban manusia, khususnya buat para pengikutnya. Sebuah kitab yang cukup mengagumkan karena disebutkan bahwa huruf-hurufnya akan hidup dari pancaran manusia yang dipilihnya. Dan mungkin hanya seorang pembaca pengecut yang serampanganlah yang kemudian percaya bahwa dalam buku itu tersimpan racun berbahaya sekaligus obat rahasia yang tersembunyi secara halus dalam kata-kata pada tiap lembarannya. Kata-kata yang ketika tak berjodoh akan membakar mereka yang tak berhak mengetahuinya. Dan aku pun mengangguk-angguk bagaikan keledai bodoh ketika mendengar sebuah alasan yang sangat bernyali: bahwa jauh-jauh hari dengan penuh ketegasan sang wali misterius itu telah mewasiatkan bahwa buku itu harus lenyap dari dunia ketika selesai dibaca penerimanya.

Sungguh itu sebuah ungkapan yang aneh mengada-ada dan terkesan sebagai omong kosong berlebihan yang disematkan pada sebuah buku. Namun dengan nada berbisik yang terkesan licik, Si Kutu mengatakan bahwa aku bisa saja menolak warisan rahasia itu mengingat intaian bahaya yang mengancam atau semisal otakku meledak ketika tak kuat membacanya. Dia melanjutkan dengan senyum bujukan bahwa aku bisa saja melimpahkan buku itu padanya agar terhindar dari kutukan kegilaan; sebuah saran yang tentu saja aku tolak dengan tegas mengingat aku menangkap gelagat ketidakjujuran yang ia sembunyikan. Sejenak ia berhenti berbicara, dengan sebuah tarikan napas ia berkata dengan suara rendah yang terkesan bijaksana.

“Baiklah Komandante, kali ini aku akan membuat pengakuan jujur bahwa buku ini sebenarnya bernama Kitab Api, sebuah kitab yang dirahasiakan Sang Guru Pohon dari siapa pun termasuk murid terdekatnya. Aku tak menemukan sebuah alasan yang jelas mengapa beliau memilihmu. Namun aku menghormati pilihannya, karena beliau sepertinya telah melihat sebuah ramalan gaib yang semuanya hanya bisa diselesaikan olehmu.”

Aku hanya tersenyum mendengar penjelasan konyolnya. Sekilas aku menangkap adanya kebimbangan darinya untuk menyerahkan pesan berharga itu padaku. Sebuah alasan yang aku ketahui lebih jelas kemudian hari ketika aku tengah menjalani pelarian panjang dan berbahaya. Aku menyadari bahwa buku itulah satu-satunya benda yang paling menghibur dan menyelamatkanku dari kondisi paling rawan maupun kesunyian paling celaka. Semula aku merasakan bahwa buku itu sebenarnya berisi kisah-kisah ganjil yang saling bertabrakan menentang logika. Kisah yang mendekati biografi perjalanan seorang wali misterius dari pedalaman Banyumas, Jawa tengah yang dipercaya pernah hidup antara pertengahan tahun 1960-an hingga akhir tahun 1990-an. Seorang wali yang dipercaya memiliki tanda kenabian sekaligus ajaran gaib penuh kontroversi dan secara misterius menghilang begitu saja menjelang masa-masa kerusuhan bulan Mei 1998 yang membakar ibukota dan menyebar di banyak kota lainnya. Para pengikutnya menyebut bahwa gurunya telah moksa dan menyatu dalam dunia para wali suci lainnya. Namun di balik itu semua terdapat tanda tanya besar mengingat kejadian serupa juga banyak ditemui pada kalangan aktivis dan mahasiswa yang menghilang secara tiba-tiba di masa-masa berbahaya dan rawan kala itu. Sungguh sebuah kisah aneh mencurigakan yang sebaiknya kita percaya saja sebagai peristiwa nyata, mengingat secara ajaib aku sendiri telah menjadi salah satu bagian di dalamnya.

Buku ganjil itu dibuka dengan adegan bak dongeng mencengangkan akan kelahiran bayi misterius yang tak wajar. Sebuah cerita memukau yang seringkali dikaitkan dengan keajaiban yang mengiringi kemunculan para orang suci. Oleh karenanya dengan gamblang Si Kutu mengatakan bahwa nantinya aku tak perlu repot-repot menyanggah atau memberikan reaksi berlebihan apabila kepalaku gegar otak karena akal sehatku berbenturan keras dengan realitas ajaib yang dihadirkan dalam buku. Seorang pembaca yang berpengalaman hendaklah menganggap bahwa buku itu adalah rancauan dendang seorang sufi pemabuk yang tergila-gila dalam pengembaraan tanpa ujung mencari kesejatian cinta. Dan terakhir sebelum aku menerima dan menyimpan buku aneh itu dalam kantong khusus dalam jaketku, Si Kutu kembali menekankan bahwa buku itu sebenarnya mempunyai nama yang lain. Seakan jauh hari Sang Guru Pohon telah menyiapkan gurauan berlebihan dan menertawakan pembacanya dengan sebuah kitab yang juga disebutnya sebagai “Singgasana Gila dan Gelak Tawa.” Aih, sungguh buku yang celaka!

 

***

Bayi itu ditemukan dalam keadaan hidup dalam perut seekor ular sanca yang besar. Sungguh itu sebuah peristiwa ajaib yang sangat langka bahkan hampir tak mungkin ditemukan lagi di dunia saat ini selain pada zaman nabi-nabi. Yah, tentu saja peristiwa itu begitu menggemparkan dan seakan menjadi ejekan nyata bahwa dunia ini masih menyimpan peristiwa gaib dan kejutan di luar logika; sesuatu yang disebut sebagai mukjizat. Bagaimana tidak disebut demikian mengingat hampir mustahil seorang bayi manusia dapat bertahan hidup dalam waktu yang cukup lama dalam perut seekor ular tanpa kelainan atau kekurangan suatu apa. Kita hanya bisa menebak-nebak, apakah ular sanca itu menelannya tanpa terlebih dahulu memamah dan meremukkan tulangnya ataukah ada hal ajaib lain yang masih menjadi rahasia?

Peristiwa mencengangkan itu seakan mengajak orang-orang untuk kembali mengingat dan menghubungkannya dengan cerita yang diyakini pernah terjadi di masa lalu mengenai kisah Nabi Yunus yang ditelan seekor paus raksasa dan tak menemui kematian. Sebuah peristiwa klasik yang kemudian terhimpun menjadi kisah utama nabi-nabi yang tentu saja diceritakan hampir setiap orang tua, guru-guru ngaji maupun guru di sekolah sebagai kisah yang patut diteladani dan dipercaya akan memperkuat keimanan para muridnya yang bengal. Siapa pun mungkin mengatakan bahwa Nabi Yunus sebagai seorang pecundang yang lari dari tanggung jawabnya ketika gagal menjalankan perintah kenabian pada suatu kaum kolot yang sulit menerima keberadaan Tuhan. Dengan putus asa ia menjadi manusia gagal dan pergi menggunakan perahu yang kemudian dengan cara yang tak biasa kembali diingatkan Tuhan melalui sebuah topan badai yang membuat perahunya karam. Dan begitulah nabi pecundang itu akhirnya berakhir dalam perut seekor paus yang lapar. Berhari-hari Nabi Yunus berada dalam perut Paus dan sungguh mustahil seorang biasa dapat bertahan hidup di dalamnya, selain dengan pertolongan mukjizat Tuhan tentunya. Dan begitulah ia diselamatkan kembali dan keluar dari perut paus raksasa melalui sebuah do’a dan pertaubatan. Tentu kita dapat membayangkan betapa ajaib dan kuatnya sebuah do’a dan pertaubatan yang dilakukan seorang pecundang. Mungkin kita dapat mempraktekkan sebuah permohonan dan do’a untuk menegaskan apakah kita termasuk nabi atau sekedar pecundang lain yang tak berguna. Bukankah itu cukup mudah, bukankah setiap manusia dapat melakukan pertaubatan dan do’a? Namun semua pada akhirnya harus mengakui bahwa sangatlah mustahil bahwa do’a dan harapan itu terkabul menjadi mukjizat, mengingat dalam kenyataannya segala keajaiban maupun karomah hanya khusus diberikan pada orang suci, para wali mulia dan nabi-nabi. Dan begitulah orang-orang kemudian menganggap bahwa bayi dalam perut ular itu sebagai bayi wali. Atau tak mustahil pula bahwa bayi itu merupakan bayi ajaib yang ditugaskan secara khusus untuk mengubah jalannya sejarah. Bukankah sering kita mendengar janji-janji sejenis itu dalam khotbah agama dan ramalan kitab suci? Janji akan datangnya manusia pilihan Tuhan yang disebut sebagai wali rahasia atau ratu adil yang menjadi penyelamat manusia di akhir zaman.

Penemuan bayi dalam perut ular itu didahului oleh kejadian aneh yang terus berulang berupa menghilangnya bermacam hewan ternak di berbagai desa yang berada di lereng selatan Gunung Slamet. Berminggu-minggu wilayah desa Tetenger dan sekitarnya selalu dihantui keberadaan mahkluk tak dikenal yang menyerang dan mengambil paksa berbagai hewan ternak secara misterius. Setiap malam dalam kewaspadaan tinggi penduduk desa yang telah dewasa harus berjaga hingga pagi; namun seperti ejekan, kejadian itu terus berulang di depan mata dan belum ditemukan dengan pasti penyebabnya. Mereka tak menemukan jejak gerombolan serigala liar maupun binatang buas hutan lainnya. Mereka mulai memikirkan keberadaan sosok hantu atau mahluk jadi-jadian yang bergentayangan meminta tumbal. Itu kerap terjadi dan tak mustahil dilakukan oleh orang-orang yang mungkin sedang menjalankan ritual pesugihan. Dan untuk menghindari hal yang lebih buruk, beberapa penduduk desa sampai harus menempatkan hewan ternak mereka di dalam rumah ketika malam bila tak ingin mengutuki diri karena kehilangan hewan ternaknya.

Menjelang malam, desa Tetenger menjadi tempat mati tanpa kehidupan. Udara seakan membeku, bahkan hewan-hewan malam tak berani memperdengarkan suaranya. Mereka diselimuti kekahawatiran dan rasa takut yang mencekam. Pikiran dan angan semua penghuninya telah dikuasai bayangan hantu gaib yang bergentayangan liar mengintai kehidupan mereka. Namun secara umum mereka sebenarnya menyembunyikan ketakutan lain yang selama ini menggerayangi mimpi dan jaga mereka. Pada umumnya pikiran mereka belum sepenuhnya lepas dari peristiwa setahun sebelumnya akan peristiwa berdarah memilukan yang sampai harus merenggut nyawa separuh penduduk desa mereka. Seakan gambar-gambar itu tertanam sangat dalam, menjadi seringai hantu mengerikan yang mengancam hidup mereka selamanya. Sebuah peristiwa yang diawali penangkapan dan perburuan orang-orang yang dikatakan komunis, yang dalam kenyataannya di lapangan sangatlah jauh mengerikan. Hampir tak ada pemeriksaan apakah seseorang itu komunis tulen atau bukan, apakah mereka terbukti bersalah telah bertindak jahat atau tidak, tapi yang pasti siapa pun yang telah dicap sebagai komunis sudah tentu dianggap sebagai mahluk terkutuk laknat paling bersalah sedunia. Bahkan pada akhirnya semua menjadi kabur, karena setiap orang dapat dengan mudah dituduh komunis karena alasan ketidaksenangan maupun kecemburuan untuk kemudian pintunya digedor ketika malam dan dijemput sekelompok orang untuk kemudian digelandang pergi. Dan sudah dapat dipastikan mereka yang ditangkap dan dipecundangi secara paksa itu tak pernah kembali. Mereka seolah menjadi orang hilang yang dilenyapkan zaman tanpa perlu dicari dan ditanyakan lagi keberadaannya. Orang-orang mulai sering mendengar deru truk yang disertai dengan penjemputan penduduk desa secara acak. Mereka terus dicekam suara keributan yang disertai letusan senapan di perbatasan hutan dan mulai menemukan mayat-mayat tak dikenal yang seringkali ditemukan sudah dalam keadaan mengenaskan. Hampir semua yang ditemukan dalam keadaan rusak. Tubuh mereka banyak yang tak utuh dan terpotong. Tubuh yang seakan tak dianggap lagi manusia dan dihancurkan kemuliannya karena dijadikan onggokan benda busuk yang terbuang begitu saja di tepian jalan, di bawah jembatan ataupun di sungai-sungai dan tepian hutan tanpa penguburan. Mayat yang seakan sengaja dipertontonkan menjadi santapan anjing atau dipermalukan membusuk dimakan belatung. Sebuah olok-olok yang sangat jelas mengatakan bahwa mereka yang mati bukanlah manusia melainkan sekumpulan babi laknat dan Dajjal.

Seolah mengulang tragedi buruknya, sekarang ini Desa Tetenger terus dibayang-bayangi kutukan laknat untuk mengulangi kejadian mengerikan di masa lalunya. Seakan gambar-gambar kengerian baru tersambung pada kengerian masa lalu yang belum sepenuhnya hilang. Peristiwa setahun sebelumnya seakan hadir kembali bersama situasi teror menghilangnya berbagai hewan ternak yang menghantui wilayah lereng pegunungan selatan. Semua orang sepertinya sudah meyakini bahwa cengkeraman hantu gentayangan itu akan berlangsung lama, sampai salah seorang penduduk desa yang sedang mencari rumput buat hewan ternaknya menemukan jejak aneh berupa jalur memanjang membentuk lubang di tepian desa. Sebuah jejak ganjil yang sebelumnya tak pernah muncul dan dengan cepat mereka pastikan bahwa jejak itu berhubungan erat dengan menghilangnya bermacam hewan ternak mereka. Setelahnya beberapa orang yang mempunyai keberanian berkumpul untuk memeriksa lebih jauh masuk ke dalam hutan dan menemukan petunjuk lain yang semakin mendekatkan mereka pada pelaku pencuri ternak yang sesungguhnya. Mereka menemukan selongsong kulit ular kembang yang sangat besar. Jikalau dilihat dari bungkus kulitnya yang melebihi batang pohon kelapa dapat dipastikan bahwa itu berasal dari seekor ular keramat yang hanya dapat digolongkan sebagai seekor raja ular maupun keturunan dewa naga sakti penjaga perut bumi.

Terdorong rasa putus asa dan kebingungannya, Lurah Wangsa, kepala Desa Tetenger dengan disertai beberapa tetua lainnya mendatangi kediaman Mbah Tapa, seorang pawang segala pawang yang dipercaya sebagai orang suci yang konon memiliki ilmu rahasia Nabi Sulaiman yang secara ajaib dapat berbicara dengan mahluk gaib dan juga segala jenis binatang. Mbah Tapa berdiam pada sebuah puncak bukit yang dijaga mantra sepasang pohon beringin raksasa yang hidup di atasnya. Konon Itulah sepasang manusia yang saling mencinta namun dapat menyatu setelah keduanya menjadi pohon. Begitulah kedua pohon itu saling membelitkan akar dan cabangnya sebagai penyatuan cinta mereka.

Melalui bahasa tembang yang terus diwariskan dapat diketahui bahwa di sana pula ditanam sebuah tongkat dari Sunan Kalijaga, salah seorang wali sembilan di masa kerajaan Demak sebagai simbol pemersatu antara budaya Jawa dan Islam. Dengan meminjam suara leluhurnya, Mbah Tapa meminta waktu untuk menghubungi para wali suci guna memperoleh petunjuk. Biasanya selama satu pekan ia akan melakukan puasa dan dzikir si’ir disertai do’a-do’a dan ritual tertentu guna terhubung dengan wali qutub dan para leluhur. Sambil menunggu datangnya petunjuk, Mbah Jaga meminta penduduk Desa Tetenger untuk mengadakan upacara selamatan dan tumpengan besar dengan sesaji persembahan kepala seekor kerbau besar bertanduk empat jengkal sebelum melakukan perburuan. Itulah persyaratan wajib yang diminta Mbah Tapa dan harus dilaksanakan mengingat ancaman bencana besar dan mahluk keramat misterius yang tentu saja membutuhkan persyaratan khusus ketika menghadapinya.

Mbah Darsun, salah seorang tetua desa merasa keberatan, mengingat saat ini mereka sedang mengalami kegagalan panen dan mereka masih merasa takut untuk berkumpul bersama setelah peristiwa besar yang membuat desa kehilangan sebagian besar penduduknya. Terlebih dengan datangnya bencana hilangnya hewan ternak mereka, sudah dapat dipastikan bahwa mereka sebenarnya sudah dalam titik sangat menderita. Dengan kata-kata keras yang seakan hanya dimiliki para leluhur, Mbah Tapa mengatakan bahwa pada saat ini, mereka tak punya banyak pilihan. Dan pengorbanan adalah satu-satunya jalan yang harus mereka tempuh untuk mencegah bencana lain yang lebih besar mendatangi mereka. Persembahan yang menjadi persyaratan mutlak itu bukanlah persembahan biasa pada semesta, tetapi persembahan yang sangat penting untuk menjaga penduduk desa selamat dari mala bencana. Sebuah sesaji bukanlah permainan dan acara tawar menawar. Semua itu diadakan untuk menghadirkan kembali ingatan mereka akan penciptaan awal mula jagat raya, juga pengorbanan dewi bumi yang menjaga keseimbangan hidup dan kesuburan. Dengan suara bergumam Mbah Tapa menjelaskan bahwa seekor kerbau merupakan sosok penjaga bumi; dialah sang raja tanah yang membalikkan bumi guna memperoleh kesuburan. Sebuah kepala merupakan pralambang yang berharga bagi mahluk hidup, namun juga melambangkan akal pikiran. Semua itu adalah sebuah ujian apakah masyarakat desa masih punya kesungguhan memuliakan kehidupan dan alamnya. Dengan wajah yang seolah dipenuhi bayangan para leluhur, Mbah Tapa mengakhiri kata-katanya bahwa yang sekarang ini mereka hadapi bukan sembarang mahluk melainkan wali keramat yang berusia ratusan tahun yang terjebak dalam tubuh seekor ular dan sedang menunggu kematiannya melalui jalan moksa. Ia membutuhkan jalan penyempurnaan melalui sesaji khusus sebagai jalannya. Mendengar penjelasan Mbah Tapa yang seakan sedang meminjam suara leluhur dari alam kelanggengan, membuat penduduk desa menunduk dalam kepasrahan. Sebagai kepala desa, Ki Lurah Wangsa akhirnya menengahi dengan mengikhlaskan kerbau terbaiknya sebagai persembahan. Ia berharap dengan adanya upacara selamatan ini, warga desa Tetenger dapat kembali menyatu dan hidup berdampingan seperti semula.

Lihat selengkapnya