Batu Petir
Kedatangan potongan ular raksasa beserta bayi ajaib di desa Tetenger bukannya tanpa penolakan. Di antara warga yang bersorak bahagia menyambut keberhasilan perburuan terdapat pula beberapa penduduk yang kurang senang dan khawatir. Mereka menganggap bahwa kehadiran sang ular dan bayi ajaib itu hanya akan mendatangkan bahaya sebagaimana kejadian buruk yang pernah terjadi di masa lalu dalam sebuah cerita legenda. Bayangan peristiwa terjadinya Rawa Pening di daerah Ungaran, Jawa Tengah seakan dengan sejelasnya menampakkan diri dengan tiba-tiba di hadapan mereka. Sebuah hal yang bukan secara kebetulan mirip namun secara nyata menjadi ancaman bencana bagi warga desa. Terjadinya banjir besar yang menghancurkan desa di Rawa Pening juga di awali dengan kehadiran potongan ular raksasa dan bocah tak dikenal yang bernama Baru Klinthing. Seorang bocah bertampang kumal ingusan dengan kulit bersisik ular yang kemudian mendapatkan pengusiran karena bau amisnya yang tak tertahankan. Bocah yang dengan keberaniannya melakukan tantangan pada seluruh warga desa untuk mencabut sebuah lidi yang ia tancapkan yang konon mempunyai kekuatan gaib. Lidi yang ketika tertancap di tanah tak bisa dicabut siapa pun selain oleh pemiliknya. Namun ketika telah dicabut seakan ia menjerit dan memanggil segala roh yang terpenjara dalam bumi untuk keluar. Maka dari lubang bekas lidi memancarlah air dan lumpur panas yang tak pernah habis untuk selanjutnya menenggelamkan apa pun di sekitarnya. Begitulah awal mula sebuah desa yang tenggelam menjadi cerita abadi yang terus hidup dan dibualkan sebagai pengingat peristiwa menakutkan di masa lalu.
Kaiman, salah seorang warga desa yang bekerja sebagai pedagang alat dapur keliling di Pasar Klewer mengaku pernah mendengar pembicaraan para pedagang dan orang-orang pasar mengenai seorang telembuk, pelacur Gang Sadar, sebuah lokalisasi pelacuran yang terkenal di daerah Baturaden yang ditangkap polisi karena diduga telah membuang bayi hasil hubungan gelapnya dengan seorang pelanggan. Namun dalam interograsi panjang yang bertele-tele di mana perempuan itu terus berkelit dengan berganti-ganti pengakuan. Pertama ia mengaku bahwa bayi itu merupakan hubungan gelap dengan seorang pejabat pemerintah, sebuah pengakuan yang kemudian dikoreksi menjadi cerita asmara biasa antara seorang telembuk dan seorang sopir petualang bus malam yang biasa mengantar wisatawan berlibur di daerah wisata. Karena desakan dan berbagai ancaman akhirnya ia memberikan pengakuan bahwa bayi itu telah dibuang pada sebuah gorong-gorong tua dekat saluran air peninggalan zaman Belanda. Begitu polisi melakukan penyisiran bayi itu tak pernah ditemukan. Hal itu semakin membuat polisi geram dan bermacam ancaman memaksa sang telembuk untuk melakukan pengakuan. Namun secara ajaib, sebagaimana semua yang jalannya hukum akan mengerti bahwa tak ada kasus yang tak bisa diselesaikan dan tak ada persoalan rumit dalam hukum yang tak bisa disederhanakan. Begitulah peristiwa itu pun selesai sebelum membesar karena jaminan seorang pengacara yang konon mendapat perintah langsung dari pejabat tinggi pemerintahan yang tak ingin tempat wisata tercemar dan lokalisasi berhenti beroperasi dan sepi pelanggan. Dengan tiadanya bukti yang kuat dan secara kebetulan pula bahwa kasus itu hampir bersamaan dengan peristiwa hilangnya bermacam hewan ternak yang tengah marak melanda desa-desa di wilayah selatan Gunung Slamet telah membuat peristiwa pembuangan bayi itu menguap dari perbincangan.
Dengan dipimpin Markum, seorang juragan mebel dan usaha penggergajian kayu yang merupakan saingan Lurah Wangsa selama pemilihan lurah terdahulu melakukan persekutuan dengan Kiai Darkam untuk mencegah bayi itu berada di Desa Tetenger, baik secara lembut maupun kasar. Kehadiran bayi aneh dengan potongan ular raksasa seakan menjadi alasan mereka berdua untuk menuntaskan dendam atas peristiwa kekalahan mereka dalam pemilihan lurah setahun sebelumnya. Rasa malu dan dendam akan segera terbayar, begitulah mereka melontarkan kekesalannya. Dengan dipimpin dua orang itu sekelompok warga yang pada umumnya merupakan pendukung Markum dalam pemilihan lurah terdahulu kemudian mendatangi kediaman Lurah Wangsa untuk meminta penjelasan keberadaan bayi yang dikatakan sebagai titisan wali.
“Pokoknya kami tak mau desa kita ditimpa kutukan buruk karena telah membawa seorang bayi kotor dari dalam perut ular!” teriak Markum berapi-api dengan bahasa ngapak yang kental.
“Di dunia ini tak ada bayi kotor. Yang ada hanyalah pikiran manusia yang kotor!” tunjuk Lurah Wangsa pada muka Markum dengan suara yang tak kalah kerasnya.
Para tetangga yang ikut dalam perburuan juga telah datang bergerombol menyebabkan suasana semakin panas. Mereka terlihat makin kesal, ketika mengetahui bahwa umumnya mereka yang datang mempermasalahkan kedatangan sang bayi wali merupakan orang-orang kelompok Markum yang kalah dalam pemilihan lurah sebelumnya.
“Kami tak menginginkan ada najis di desa ini!” Ucap Kiai Darkam menyeruak kerumunan sambil mengacungkan tongkat kayunya. Tanpa basa-basi ia langsung mengatakan tuduhannya, “Bayi ini bukanlah wali, ia adalah bayi hasil hubungan gelap dari telembuk Gang Sadar.”
“Ya, desa ini akan terkutuk dan dilaknat Gusti Allah bila bayi itu tak segera dikeluarkan dari desa Tetenger!” Markum menimpali dengan suaranya yang galak.
“Siapa yang berani mengatakan bayi ini anak telembuk?” Teriak Lurah Wangsa dengan mata mendelik marah.
“Kaiman berikan kesaksianmu!” Seru Markum sambil menyeret Kaiman ke tengah-tengah warga.
Dengan wajah pucat ketakutan Kaiman berkata, “Betul, saya mendengarnya sendiri di berbagai pasar, orang-orang membicarakan telembuk yang membuang bayinya di gorong-gorong saluran air.”
“Apa kalian ini malaikat maha tahu, hingga berani mengatakan bahwa bayi yang kami bawa ini anak telembuk?” Lurah Wangsa dengan geram bersuara, “Bayi ini adalah bayi wali! Para warga yang ikut perburuan adalah saksinya!”
Warga yang ikut berburu yang kebetulan berada di sekitar rumah Lurah Wangsa berteriak memberikan dukungan. Mereka pun berseru dengan sama kerasnya.
“Bayi ini adalah Wali Allah. Dan kami semua telah menyaksikan mukjizatnya. Tak ada sedikit pun keraguan atas tanda-tanda karomahnya.” Mbah Tapa yang sedari tadi diam dengan suara gemetar berusaha menengahi warga desa untuk tenang.
Namun suasana telah terlanjur memanas dan dua kubu yang telah terbakar amarah sepertinya tak lagi dapat mengendalikan emosinya. Suasana pemilihan lurah yang panas setahun sebelumnya kembali muncul. Adu tarik dan tendang dari dua pihak yang lama berselisih mulai terjadi di barisan paling depan, suara teriakan berbalas teriakan.