Wali Yang Dimakan Ular

Alim Bakhtiar
Chapter #3

#3 Pemetik Kelapa dan Tukang perahu

Pemetik Kelapa dan Tukang perahu

 

 

Sesungguhnya ia tak mengerti dengan pasti apa yang ia cari dengan kepergiannya. Nur Wali hanya perlu pergi dan berjalan mengikuti jalan suluk. Waktu itu ia hanyalah seorang remaja yang baru meninggalkan dunia bocahnya dan pergi dengan dituntun keingintahuannya yang menggebu akan dunia. Saat berjalan seringkali ia mendapat bisikan yang terkadang samar, dan ia seringkali terpaksa berhenti untuk mencoba mengerti rahasia bisikan anehnya. Sambil memejamkan mata ia membangkitkan telinga lain dalam batinnya. Ia seperti mendengar sepuluh ribu gema dzikir bangkit dalam tubuhnya. Dzikir yang berasal dari seorang ibu yang memberinya sebuah do’a sederhana tapi begitu menyimpan ketulusan. Ia pun mengigil, menarik napasnya pelan, seakan ia berbicara dengan ibunya.

“Saya kasih kamu Bismillah, itulah do’aku, jimat seorang ibu biar bekal perjalananmu tak habis-habis.”

Nur Wali seperti mendengar suara ibunya di sisinya dan menggema mengelilinginya. Ia merogoh saku celananya. Itulah sapu tangan yang sering dipakai ibunya, dan ia merasa membawa bekal yang takkan pernah habis walaupun ia bepergian ke segala penjuru dunia. Ia selalu merasa menjadi anak beruntung di dunia yang bila tersesat selalu memempunyai seorang ibu yang memberinya petunjuk jalan pulang. Tanpa ia sadari ia merasakan lelehan airmatanya telah terlanjur membasahi kedua pipinya. Ia merasa dirinya seperti sebuah kendi yang kembali dipenuhi air kejernihan.  Air yang seperti membawa suara-suara hidup menyemangatinya. Dan begitulah suara itu terdengar dan menggerakkan tubuhnya melanjutkan perjalanan.

Semula ia pergi hanya untuk menuruti seorang bocah yang terpukau dunia. Nur Wali menyaksikan bagaimana segala hal yang ditemuinya berbicara dengannya melalui bahasa yang seolah baru dilahirkan dari dunia. Ia melihat sebagaimana seorang bocah melihat seorang tukang sulap menghadirkan keajaiban, segala hal terasa berbeda. Ia terpukau pada beragam rumah batu yang tak sama dengan semua rumah yang ada di desanya. Ia ingin meraba dan menyaksikan pohon dengan daun dan batang dan keharuman lain dengan pepohonan yang pernah ia saksikan. Ia ingin mendengar suara yang berbeda dengan apa yang pernah ia kenal. Ia ingin mengenal suara burung-burung, suara air, suara angin, suara manusia dengan wajah dan bahasa yang lain yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Ia meraba wujud benda-benda dengan kulit tubuh dan jemari tangannya. Ia ingin merasakan bagaimana benda-benda itu berbicara dengan dengan tubuhnya. Dan warna- warna itu ia tatap dengan seksama, bagaimana semua terpantul dari bukit-bukit, pepohonan yang jauh dan dekat, rumah-rumah yang memberinya perasaan lain ketika ia melewati dan memasukinya. Ia menatap orang-orang dan ia menemukan mata, hidung, telinga, kulit yang membuatnya berkaca dalam matanya. Ia melihat pantulan diri remajanya yang terpesona pada dunia.

Andai saja kita tahu bahwa tak ada langkah sekecil apa pun yang sia-sia. Seperti Nur Wali yang telah membuat langkah kecilnya yang kelak ia sadari akan menuntunnya pada lompatan besar dalam hidupnya. Begitulah ia melangkah dan membuka diri bertemu dunia. Sungguh ia tak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan bermacam peristiwa yang seolah memberinya bermacam mata yang melihat dunia dari bermacam sisi. Setelah berjalan kaki beberapa hari meninggalkan desanya, ia melewati hamparan luas kebun kelapa yang seolah membentang tanpa akhir. Pagi seperti telur yang baru menetas dengan sinar matahari menjadi cahaya pertama yang mengikis kabut. Embun baru saja menguap ketika langkahnya terhenti mendengar suara orang menembang. Suara yang seolah memantul dalam dirinya dan membuatnya terpanggil untuk menemukannya. Ia seperti mendengar panggilan dari alam purba.

 Seperti lantunan sihir, suara tembang Jawa itu terdengar lembut, seperti dihasilkan oleh suara yang sangat tua. Semakin ia mencari semakin dalam ia memasuki kebun kelapa yang seakan menelannya dalam kegaiban. Hingga sebuah bayangan lain dengan tiba-tiba menampakkan dirinya dengan jelas dari sebuah pohon kelapa. Seorang kakek pemetik kelapa terlihat menuruni pohon kelapa yang doyong seakan menolak gravitasi. Diterangi cahaya keperakan, ia turun seperti seorang dewa yang turun dari langit. Tubuhnya yang bertelanjang dada terlihat kukuh keperakan, otot-otot pada tubuhnya seakan berbicara dalam bahasa yang menegaskan betapa keras fisiknya telah melakukan pekerjaan dengan tubuhnya.

“Tembang itu begitu indah, bisakah aku tahu itu tembang apa?” tanya Nur Wali penuh keingintahuan.

Kakek pemetik kelapa hanya terkekeh menjawabnya. “Aku hanya mengulang sebuah tembang dari kakekku, sedang kakekku mengulang tembang itu dari kakek buyutnya terdahulu. Jadi itu tembang yang sangat tua.” Ucapnya saat tapak kakinya telah menapak tanah.

Nur Wali pernah mendengar sebuah dongeng mengenai para dewa yang turun ke dunia. Ia melihat sang kakek itu layaknya dewa yang sedang turun ke dunia. Begitu kaki-kaki dewa itu telah menginjak tanah, maka dewa itu kehilangan kesaktiannya. Mereka akan berubah menjadi manusia. Mungkin saja sang kakek dulunya adalah dewa yang kini masih membawa sedikit kesaktiannya setelah menjadi manusia. Kemampuan menembangnya bukanlah kemampuan biasa. Segala tembang yang disuarakan seperti mengandung gema suara-suara yang sangat tua.

“Sewaktu kecil, aku sering menghabiskan waktu dengan membantu kakekku mengerjakan banyak hal. Sambil bekerja kakekku selalu menyenandungkan berbagai tembang yang akan hidup menemaninya. Ada sebuah tembang yang selalu diulangnya berulang-ulang yaitu tembang mengenai sebuah kudhi; sebuah peralatan yang digunakan para petani daerah Banyumas untuk bekerja selain sabit dan parang. Benda yang seperti pakaian yang ia pakai kemana pun ketika bekerja. Kakekku adalah orang yang lugu seperti bentuk sebuah kudhi.”

 “Apakah itu mengandung arti bagi Kakek?”

“Ya, ayahku mengatakan bahwa kudhi, adalah “laku kang adhi,” sebuah perilaku yang baik. Dan kau bisa melihat dari bentuknya yang menyerupai bentuk punakawan Bagong yang terkesan lucu dan gendut. Orang-orang di sini menyebutnya sebagai Bawor. Dan kami menyukai tokoh punakawan ini dari lainnya sebagaimana kami menyayangi kejujuran.”

Nur Wali mengangguk-angguk sambil memperhatikan ceritanya. Ia seperti mendengar suara dari orang-orang masa  lalu yang tengah membuka kembali kisah-kisah tuanya.

Kakek pemetik kelapa meraba ujung atas kudhi yang tajam melengkung menyerupai bentuk kepala berkuncung. Ia menceritakan bagaimana ujung tajamnya yang ia gunakan untuk mencukil, sedang perutnya yang gendut digunakan untuk membelah kayu maupun bambu. Sedang bagian tengahnya digunakan untuk memotong. Ada satu bagian lagi yang tak kalah penting yaitu punggung kudhi yang digunakan untuk meremuk sesuatu. Seorang ahli bambu yang mengetahui ilmu urat dan kelenturanlah yang paling mengerti fungsinya. Kakek itu pun tersenyum menceritakan keajaiban dalam sebentuk kudhi. Dan begitulah ia mengatakan bahwa manusia hendaklah meniru sebuah kudhi. Menjadi seseorang dengan banyak keahlian yang memberikan banyak kegunanan. Dan mereka tak perlu menagih atau membuat alasan apa pun ketika telah memberikan kemanfaatan. Sebuah hal yang sering kali gagal dilakukan.

Dengan terpesona Nur Wali mendengarkannya. Dongeng yang begitu hidup ketika diceritakan, “Aku rasa Kakek adalah pemetik kelapa paling bijaksana yang aku temui.”

Kakek pemetik kelapa itu pun tertawa dan bangkit dari duduknya, “Aku hanya orang bodoh yang melakukan pekerjaan orang bodoh.”

“Bisakah aku membantu mengumpulkan kelapa?” pinta Nur Wali sopan.

“Tentu saja, dan itu ada ilmunya,” jawab Sang Pemetik Kelapa tersenyum.

“Bukankah itu hal sederhana yang bisa dilakukan siapa saja?”

“Justru yang sederhana menjadi sulit ketika kita meyepelakannya. Belajarlah menghargai hal yang paling sederhana.”

“Baiklah, tolong ajarkanlah aku caranya,” Nur Wali bangkit dan mendekati sang pemetik kelapa yang sibuk mengumpulkan buah kelapa.

“Kau bisa memulainya dengan mengambil kelapa mulai bagian timur sampai ke bagian di sebelah barat,” Sang pemetik kelapa tersenyum sambil membetulkan tali pengikat kethoprak, wadah kudhi dan kembali bersiap menaiki pohon kelapa kembali. Sebentar kemudian ia seakan telah menjadi seekor tupai yang lincah menaiki pohon kelapa. Ia seperti tidak sedang memanjat melainkan seperti orang yang berjalan ketika menaiki batangnya. Sambil mengikuti bunyi gesekan wadah kudhinya, sang pemetik kelapa kembali menembang. Tembang yang seakan mengikat dirinya dengan pohon-pohon kelapa.

 

Lamun sira menek aja memenek andha                   Apabila kamu memanjat, janganlah naik tangga

Awit lamun sira menek andha                                   jikalau kamu memanjat tangga

Sira ancik-ancik untu lan tekan dhuwur                    kamu bertumpu gigi dan sampailah ke atas

Sira ketemu alam suwung                                          kamu hanya bertemu kekosongan

 

Nanging lamun sira menek, meneka wit galingging   tapi jika kau naik, naiklah pohon kelapa

Sira bakal ngliwati tataran-lan ngrangkul                  Kamu bakal melewati pijakan, dan merangkul

Wit galingging                                                            pohon kelapa

Tekan dhuwur sira ketemu apa?                                 Sampai atas kamu menemukan apa?

Sira bakal ketemu woh, yo wohing galingging.           Kamu akan bertemu buah, yaitu buahnya kelapa.

 

Dengan memasang mata awasnya Nur Wali mengamati semak rumput sekelilingnya, dan mencari buah kelapa yang jatuh. Satu demi satu ia mengumpulkan, menyatukan empat atau lima buah kelapa dalam satu ikatan. Dan menumpuknya dalam tumpukan. Begitu seterusnya hingga menjelang pertengahan hari semua kelapa terkumpul menjadi gunungan kelapa.

Kakek pemetik kelapa yang telah menaiki semua pohon kelapa segera memasang linggis yang terbuat dari inti terkeras batang kelapa dan menancapkannya ke tanah, dengan ujung tajamnya yang berada di atas yang akan ia gunakan untuk mengupas kulit kelapanya.

“Seperti buah kelapa, kau tahu Bocah Kecil, bahwa segala yang inti itu selalu berada di dalam. Tapi tak berarti segala yang berada di luar itu tak berguna, ia tetap menyimpan manfaatnya masing-masing. Seperti sabut kelapa ini, ia masih bisa kita gunakan sebagaimana kayu bakar untuk memasak nasi.”

Lihat selengkapnya