Kafe sudah tertinggal jauh di belakang. Kini dirinya ikut berdesakan di tengah kemacetan. Raganya memang sudah di sini. Tapi hati bersama kenangan miliknya masih tertinggal di kursi tadi. Enggan diajak beranjak.
Memukul setir pelan, Sekala mengumpat. Nyatanya bayangan wajah Asa masih terpatri jelas. Wajah yang entah kenapa dipenuhi luka tak kasat mata, yang entah bagaimana mengundang sudut hatinya untuk ingin tahu. Membuatnya ingin menatap lebih lama. Menelisik setiap kerut untuk menemukan jawab tanpa perlu membujuk mulutnya bertanya.
Tanpa melukai ego dan menyentil luka untuk sebuah pertanyaan sederhana: apa kabar?
Karena tiga tahun ini, dia tidak tahu bagaimana kabar perempuan itu.
Mereka masih di kota yang sama. Tapi seolah takdir juga membantu mereka untuk saling sembunyi. Yang satu mati-matian meredam sakit hati sebelum mengendap menjadi dendam kesumat. Yang satu, entah apa yang dilakukan perempuan itu. Mungkin bahagia bersama lelaki lain. Menikmati hidup dalam gelimang harta. Sekala tak perlu menebaknya. Sudah jelas.
Lantas kenapa tadi Asa ingin menikah dengannya, tiba-tiba? Diucapkan seolah tidak ada artinya; terlalu enteng. Terlalu mudah.
Tentu saja karena dicampakkan oleh lelaki yang menggantikan posisinya tiga tahun ini. Memangnya apalagi?