Rendenvous selalu ramai. Nuansa warm and cozy menjadi daya tarik utama. Harga terjangkau untuk kalangan menengah. Ditunjang dengan fasilitas wifi. Letaknya yang strategis di tengah kota juga berpengaruh.
Restoran yang berdiri di atas tanah satu hektar ini menawarkan masakan keluarga. Konsep yang membawa orang selalu pulang dan seakan makan di rumah. Di sudut sebelah kanan, ada tempat khusus bagi mereka penikmati kopi.
Dekat dengan kantor pemerintahan. Kedutaan. Sekolah swasta ternama. Beberapa tower gedung. Bahkan, salah satu stasiun TV besar berada di sekitar sini.
Asa sebenarnya tidak asing dengan tempat ini. Sekitar lima tahun lalu, dia terbiasa mampir ke sini. Sampai pemilik resto, Pak Jay, hafal dengan dirinya. Pernah beberapa kali mereka duduk bertiga, ngopi bersama. Sekalian menunggu hujan reda.
Bertiga? Siapa? Pak Jay, Asa, dan tentu saja Kala.
Pak Jay salah satu orang yang menyaksikan perkembangan hubungan Asa dan Kala. Hidup sendirian di kota besar, membuat lelaki berusia penghujung empat puluh itu bersahabat dengan karyawan-karyawannya. Termasuk, salah satunya Kala.
Lelaki itu menjadi karyawan kesayangan Pak Jay. Bukan karena Kala tampan dan tak pernah membuat kesalahan, tapi dia kagum dengan semangat kerja yang dimiliki Kala. Juga, sekelumit kisah di balik seorang Kala. Dari yang dulu hanya kasir, kini naik pangkat ke manajer.
"Tiga tahun ini ke mana, Sa?" Suara berasal dari depannya, memecah lamun.
"Cari suasana baru, Pak."
"Itu Kala depresi kamu tinggal." Terkekeh.
Asa merasa tersentil. "Kami baik-baik saja, Pak."
"Iya, setelah tiga tahun, Kala memang baik-baik saja. Tahun pertama kamu tinggal, kayak mayat hidup dia."
"Maaf, Pak, saya ke sini ingin menanyakan soal pengajuan saya kemarin." Asa terpaksa memotong topik. Dia tidak ingin membahas hal itu sekarang. Tidak dengan Pak Jay.
"Oh ya ya. Maaf. Saya kangen dengan kalian soalnya." Pak Jay berdeham, mengeluarkan selembar kertas dari laci. "Surat kontrakmu, Sa. Bisa dibaca dulu. Kalau setuju, bisa mulai kerja besok."
Asa menganga tak percaya. "Pak, ini saya nggak diwawancara dulu atau tes apa gitu?"
"Tes apa? Saya sudah kenal kamu kok. Selama kamu good manners dan menyenangkan, saya nggak perlu ribet-ribet ngetes kamu."
"Tapi saya—"
"Sama halnya dengan Kala. Saya nggak ragu sama dia. Saya percaya dia bisa lebih dari kasir. Dia pun membuktikan itu ke saya. Di sela patah hatinya, dia terus maju. Mungkin itu cara dia melupakan kamu, tenggelam dalam kesibukan."
Asa tersenyum getir.
"Saya harap kamu juga demikian, Sa." Pak Jay lantas nyengir. "Tapi maaf kalau saya nggak bisa berhenti menggoda kalian. Siapa tahu, bisa balikan."
Asa meraih bolpoin. Membaca cepat poin-poin yang tertera dalam kontrak. Mengabaikan godaan pertama yang dilempar padanya. "Doakan saya ya, Pak. Saya pengin Kala balik lagi."
"Tentu, tentu saja, Asa."
***
Setelah menandatangani kontrak, Asa segera keluar dari ruangan. Pak Jay juga menyusul, hendak bertemu kawan lama di luar katanya. Sempat menepuk bahu Asa sebelum melambai singkat pada karyawan lain. Bergegas menuju mobilnya. Sudah ditunggu sepertinya.