Wanda Cinta Putri Biarawati untuk Ayahnya

princess bermata biru
Chapter #1

Wanda Perpisahan

No one ever saw me like you do

All the things that I could add up to

I never knew just what a smile was worth

But your eyes say everything without a single word

'Cause there's somethin' in the way you look at me

It's as if my heart knows you're the missing piece

You made me believe that there's nothing in this world I can't be

I never know what you see

But there's somethin' in the way you look at me (Christian Bautista-The Way You Look at Me).

**    

Langit senja berhiaskan gradasi merah keemasan dari atas ketinggian sungguh menawan. Pemandangan seindah ini tak menghibur hatinya. Angin berbisik, membelai rambutnya. Bisikan angin pun tak mampu menenangkan hatinya yang kalut berselimut duka.

Pria tampan berjas hitam itu berdiri di lantai teratas gedung kantornya. Menatapi datangnya senja dari puncak tertinggi. Bersandar di pagar balkon. Sekali-dua kali terlintas di pikiran untuk melompat dari atas, membiarkan segalanya berakhir.

Tidak, ini bukan akhir. Perjalanannya di kantor ini memang telah berakhir. Namun, perjalanan hidupnya masih berlanjut. Ia hanya mengakhiri babak perjalanan hidupnya di satu tempat. Setelah itu siap memulai babak baru di tempat lain.

Sepasang mata sipit bening itu mengerjap. Dihelanya nafas panjang. Perjalanan masih panjang. Ada satu tanggung jawab besar yang harus dihadapinya. Tak boleh mundur, berulang-ulang ia pengaruhi dirinya sendiri dengan sugesti positiff itu.

Berkas terakhir keemasan sisa mentari terbenam berpendar di kaki langit. Sedikit sinar terakhir jatuh di lantai balkon, membiaskan bayangan panjang keemasan yang bergetar pelan. Indah, memikat, tapi tak mengobati kepedihan hati pria berparas oriental itu.

Perlahan ia membalikkan tubuh. Waktunya merajut komunikasi dengan Illahi. Bukankah bumi Tuhan itu luas? Beribadah padaNya, bersujud padaNya, bisa dimana saja.

Menghadap ke arah tertentu, ia mulai mengangkat kedua tangan dan melipatnya di depan dada. Shalat dengan khusyuk. Kedua matanya terpejam. Hati, tubuh, dan wajahnya ditundukkan untuk memohon kasihNya. Memohon kekuatanNya atas cobaan yang menimpa.

Ting

Di kejauhan, terdengar denting pintu lift. Siapakah yang begitu berani dan bodoh naik ke lantai teratas kantor pada jam begini? Langkah kaki terdengar, makin lama makin cepat. Nampaknya ada lebih dari sepasang kaki. Dua, bahkan tiga.

Tiga orang lelaki tiba di balkon. Demi melihat sahabat mereka yang tengah salat dengan khusyuk, langkah mereka terhenti. Nyaris bersamaan mereka menghela napas. Bertukar pandang penuh arti.

“Ya, Tuhan ....” desah lelaki pertama, lelaki bertubuh langsing dengan kemeja bowling.

Laki-laki berkemeja Hawaii Elvis Presleysque dengan belahan pada dagunya tertunduk. Tak berkata apa-apa. Memendam empati di sudut hati.

“Calvin Wan tak pernah meninggalkan Tuhannya, dalam keadaan apa pun.” bisik lelaki bertubuh tinggi, berambut pirang, dan bermata biru. Setelan Bottega Venneta yang ia kenakan senada dengan warna matanya.

“Harusnya kita salat juga, guys. Sudah jam berapa ini?” Akhirnya lelaki berkemeja Hawaii bicara. Sebelah matanya mengecek arloji.

“Sudahlah, dijama’ saja nanti. Kita, ‘kan sedang dalam perjalanan.”

No way ....”

Sesaat beradu argumen, akhirnya ketiga lelaki metropolis itu bersiap-siap. Mereka salat di dekat sahabat mereka yang terlarut dalam duka.

Keheningan meliputi lantai teratas kantor. Hening, hening yang berbalut kedukaan dan kekhusyukan. Empat pria tampan dan charming yang beribadah di sana fokus menghadapkan hati dan jiwa mereka pada Tuhannya. Di balkon lantai teratas ini, para malaikat turun. Menyaksikan ibadah mereka, mengaminkan doa mereka, mencatat doa-doa mereka, lalu kembali naik ke langit. Melaporkannya secara langsung pada yang berhak mengabulkan doa.

Hingga ketiga pria itu selesai, Calvin belum juga selesai. Begitu panjang doa-doanya kali ini. Zikir dan permohonannya lebih intens. Mereka bertiga menunggu dengan sabar.

Sampai akhirnya Calvin membuka mata, bangkit, lalu bertemu pandang dengan ketiga sahabatnya. Ekspresi ketidakpercayaan melintas di wajahnya. Sedetik kemudian berganti keharuan yang tertahan.

“Kami di sampingmu,” ujar lelaki bermata dan berpakaian biru perlahan.

Lihat selengkapnya