Anak cantik itu terisak-isak. Bibirnya bergetar menyebut sepotong nama. Sepasang pria dan wanita berbaju hitam bergantian memeluknya.
“Silvi, jangan sedih lagi. Tenang ya, Nak.” Pria yang memeluknya berbisik menguatkan. Membelai rambutnya, menyeka air matanya.
“Opa meninggal! Gimana Silvi nggak sedih? Silvi kehilangan Opa!” teriak anak cantik itu, satu tangannya memukul-mukul kursi roda yang didudukinya.
Wanita berambut coklat, bermata sipit, dan bergaun hitam yang berdiri di belakang kursi roda menghela napas pasrah. Memandang suaminya, berkata pelan. “Adica, bagaimana ini? Silvi tak mau tenang.”
“Raissa Sayang, sabarlah sedikit lagi. Silvi hanya shock. Jika Calvin pulang, dia akan bahagia lagi.”
Tangis Silvi kembali pecah. Isak tangis Silvi mengoyak-ngoyak hati Adica dan Raissa dengan kesedihan. Anak cantik bermata indah ini sudah mereka anggap layaknya anak kandung mereka sendiri. Silvi memiliki mata yang persis sama dengan Revan.
“Jangan paksa aku bahagia. Uncle Adica dan Auntie Raissa nggak akan paham.” Silvi berkata tajam di sela isaknya.
Demi Tuhan, anak ini tak mau bahagia. Kesedihannya sudah terlalu dalam. Luka di hatinya sangat parah. Nyaris tak mungkin terobati.
Kesalahan besar Calvin. Anak orang lain diperhatikan, anak sendiri terabaikan. Ironis.
**
Pesawat mendarat mulus. Waktu yang dinanti para penumpang pesawat. Saat mereka tiba di tempat yang dituju. Tak terkecuali oleh empat pria tampan metropolis ini.
Pelataran bandara tetiba dipenuhi atmosfer rasa ingin tahu. Semua mata tertuju ke arah empat pria itu. Satu pria Chinese, tiga lainnya setengah bule.
“Permisi,” Anton berkata sopan. Tersenyum pada sejumlah wanita bertubuh tambun berpenampilan super glamor yang menghalangi jalan.
Mereka menepi. Demi melihat siapa yang lewat, mata wanita-wanita berumur itu melebar. Anton tetap tersenyum. Ekspresi Albert sedingin baja beku. Calvin dan Revan terlihat tenang.
“Mereka terpesona pada kita,” bisik Revan setelah agak jauh dari kerumunan wanita itu.
“Maybe. Sudahlah, tak usah dipikirkan,” tukas Calvin singkat, menutup tabnya.
Sementara itu, Albert stay cool sambil memainkan smartphonenya. Ia membuka website milik Calvin. Rupanya Calvin baru saja meng-update isi melodisilvi.com dengan artikel terbarunya.
“Sepi yang Bukan Kesepian.” Albert membaca keras-keras judul artikel itu.
“Wow, great. Nanti aku baca.” Anton dan Revan berucap nyaris bersamaan.
Belum sempat Calvin menanggapi, kedatangan Adica mengalihkan atensi. Segurat senyuman terlihat di wajah letihnya. Diambilnya travel bag mereka, lalu berkata.
“Wellcome back.”
Adica Wirawan, pria tampan berdarah Tionghoa ini masih terhitung sepupu Calvin. Namun ia diasuh Tuan Effendi sejak umur 12 tahun. Pria kelahiran 23 Desember yang punya passion di bidang psikologi dan hypnotherapy. Sebelum bergabung di perusahaan retail milik keluarga, Adica adalah seorang pengajar dan therapyst. Lama mendalami psikologi dan hypnotherapy membuat ia menjadi pribadi yang pengertian, penuh perhatian, dan penyabar.
Di tengah suasana duka, masih tersisa sepercik keramahan. Adica datang sendirian. Tanpa supir, tanpa Raissa, tanpa Silvi.
Audi A6 hitam itu meluncur menembus malam berkabut. Calvin duduk di samping Adica. Revan, Anton, dan Albert di bangku belakang. Tawaran Calvin untuk mengemudi ditolak Adica. Sudut hati Calvin mengalirkan rasa kecewa.
“Kamu berharap Silvi ikut menjemputmu, ya?” tebak Adica.
“Iya. Tapi sepertinya ... dia tidak menginginkan kepulanganku.” lirih Calvin.
Traffic light menyala merah. Adica menepuk pelan pundak sepupunya. “Bukan begitu. Silvi merindukanmu. Dia hanya butuh waktu...”
“Jangan menghiburku, Adica. Aku sudah tahu yang sebenarnya.”
Adica terdiam. Di belakang, ketiga sahabat Calvin merasa iba. Miris bila mengingat buruknya hubungan Calvin dan putri semata wayangnya.
**
Selalu kucoba tuk lupakan
Cerita lama yang menjadi buku
Terlanjur sudah ku membaca