Sejenak keduanya bertatapan. Sepasang mata sipit dan sepasang mata biru saling tatap. Kelembutan bertemu amarah.
Meski mata itu menyala oleh bara kemarahan, Calvin masih melihat sisa kelembutan di sana. Ia tahu, jauh di dalam hati putrinya ada kerinduan. Kerinduan yang tak terungkap. Rindu yang tersembunyi di balik amarah.
“Sabar...” Hanya itu yang bisa dikatakan Revan, Anton, dan Albert. Adica mendekat. Mengisyaratkan padanya bahwa ia hanya perlu bersabar.
Calvin hanya diam. Tak melepaskan tatapannya pada Silvi.
Dari dalam rumah duka, muncullah Raissa. Ia ketakutan mendengar teriakan Silvi. Wanita anggun dalam balutan dress hitam itu mendekap Silvi erat. Bertanya mengapa ia berteriak sekeras itu pada ayahnya. Silvi berbicara beberapa patah kata, mengungkap kemarahan, kebencian, dan kekecewaan di dasar hati.
“Ayahmu tidak seperti itu, Sayang. Ayahmu sangat, sangat menyayangimu.” kata Raissa meyakinkan.
“Tidak percaya. Ayah meninggalkanku bertahun-tahun. Waktu aku kecelakaan dan akhirnya lumpuh, Ayah tak ada.” balas Silvi datar.
Demi mendengar kalimat itu, hati Calvin terasa pedih. Ia membalikkan tubuh. Tak siap mendengar kelanjutannya. Itulah penyebab Silvi marah besar padanya. Kemarahan melahirkan kebencian. Sumber utama dari kebencian dan kemarahan adalah rasa kecewa.
“Tidak apa-apa, Calvin. Tidak apa-apa. Semua ini akan berlalu. Seiring waktu, Silvi pasti bisa memaafkanmu.” hibur Adica.
Calvin mendesah. Menatap langit dengan hampa, dan berujar.
“Silvi harus tahu. Aku selalu menyayangi dan mencintainya. Dia milikku yang paling berharga.”
**
Ini malam duka. Malam sebelum pemberangkatan jenazah untuk dikremasi. Meski malam telah larut, banyak tamu terus berdatangan. Bergantian memberi penghormatan terakhir. Malam terasa amat panjang. Waktu berjalan dua kali lipat lebih lambat.
Di tempatnya berdiri, Calvin mengamati para tamu. Setelah kedatangan tak terduga dari wanita-wanita berkalung salib, pria berkipah, dan lelaki-lelaki berkopiah, juga para seniman, kini hadir relasi bisnis Papanya. Mereka memegang dupa, memberi penghormatan, dan berdoa di depan peti jenazah. Lilin putih, dupa, dan foto Papanya ada pula di sana. Di bawah peti, terdapat altar sembahyang berisi makanan dan buah-buahan. Kertas sembahyang dibakarkan. Papanya terlihat tampan dalam kematian. Ia memakai jas terbaiknya. Terbaring tenang di dalam peti mati.
Perlahan Calvin melangkah maju. Tak ada hio di tangannya. Sebuah tasbih mungil melingkar. Ia mendoakan Papanya dengan cara Islam. Setelah berdoa untuk Papanya, dengan lirih Calvin menggumamkan ayat.
“Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah irji’ii ilaa Rabbiki raadhiyatan mardhiyyah Fadkhulii ii ‘ibaadii wadkhulii jannatii.”
Ditatapnya wajah Papanya lekat-lekat. Amat berharap sang Papa merasakan kebahagiaan di alam keabadian dan bertemu lagi dengan Mamanya.
“Maaf...Calvin baru bisa datang. Maaf karena Calvin mengecewakan Papa dengan mengundurkan diri dari perusahaan.” Ungkapnya lirih, seakan Tuan Effendi dapat mendengarnya. Lirih sekali ia bicara. “Calvin selalu mencintai Papa...ada maupun tiada.”
Berlama-lama ia di sisi jenazah Papanya. Inilah kebersamaan untuk terakhir kali. Perbedaan agama tak menghalangi cinta. Calvin mencintai ayahnya yang Non-Muslim. Ia mencintai, menyayangi, dan mempercayai Papanya. Buktinya, selama empat tahun berkarier memimpin perusahaan retail milik keluarga, Calvin mempercayakan Silvi di bawah pengasuhan dan perawatan Tuan Effendi.
Sementara itu, diam-diam Silvi memutar kursi roda otomatisnya. Mengarahkannya ke dalam rumah duka. Hati-hati melewati tumpukan tinggi karangan bunga. Matanya yang tak lagi awas, masih mampu menangkap siluet ayahnya di depan peti jenazah. Sama seperti Calvin, Silvi mencintai Tuan Effendi walau berbeda keyakinan. Empat tahun diasuh Tuan Effendi, Silvi justru menjadi anak Muslim yang taat.
Barisan kursi di bagian depan nyaris kosong. Seharusnya kursi-kursi ini ditempati pihak keluarga. Justru deret kursi di bagian tengah dan belakang terisi penuh. Isinya orang-orang berpakaian rapi yang mengklaim diri sebagai Raja Herbal, Raja Tekstil, Raja Padi, dan Raja-Raja lainnya. Di malam duka, mereka malah berkumpul dengan sesamanya. Sibuk membicarakan bisnis. Momen melayat dijadikan ajang reuni sekaligus bincang-bincang urusan bisnis. Tak nampak rasa duka dan kehilangan sedikit pun di wajah mereka.
Silvi memalingkan pandang. Enggan menatap gerombolan kapitalis itu berlama-lama. Ia memutar kursi roda otomatisnya. Mendekati ketiga anak perempuan berparas jelita yang berdiri di sisi altar sembahyang.
“Hei Silvi. Sini sini...” Salah seorang anak perempuan mendorong kursi rodanya. Memposisikannya ke dekat altar.
“Julia, Calisa, Rossie, aku kesepian.” keluh Silvi.
“Iya, paham kok. Tuh ada Uncle Calvin. Kamu harusnya senang dong.”
“No...he makes me dissappointed.”
Julia, Calisa, dan Rossie. Mereka anak-anak cantik, pintar, dan imut. Hasil pernikahan Adica dan Raissa. Julia dan Calisa kembar identik, 11 tahun usia mereka. Seumuran dengan Silvi. Rossie 9 tahun, terpaut dua tahun dengan mereka. Mereka sepupu terdekat Silvi. Sebelum mengalami kelumpuhan, Silvi menekuni hobi yang sama dengan ketiga sepupunya: modeling.
“Buah-buahannya kayaknya enak. Boleh diambil nggak ya?” bisik Rossie. Menyeringai nakal ke arah altar. Disambuti injakan maut Calisa.
“Sssttt...Opa baru meninggal, kamu udah bikin ulah! Payah kamu, Rossie!”
Rossie menjulurkan lidah. Menghindari serangan lain kakak kembarnya. Silvi tersenyum kecil mengawasi tingkah sepupu imutnya.
Keributan kecil yang dibuat anak-anak itu tak sedikit pun memecah saat-saat terakhir Calvin di dekat Tuan Effendi. Ia masih berdiri di sana. Mengenang dan mengingat Papanya dengan rasa cinta. Kedatangan beberapa anggota keluarga tertualah yang menjadi pengganggunya.