Seminggu berlalu sejak kematian Tuan Effendi. Berduka sewajarnya, lalu bangkit lagi mengikuti roda kehidupan. Hidup terus berjalan.
Usai peringatan hari ke7, keluarga besar berkumpul. Restoran mewah di tengah kota menjadi saksi bisu kebersamaan mereka. Katakanlah ini pesta besar dan meriah. Sejumlah konglomerat, pejabat, expatriat, dan model ternama diundang. Relasi bisnis pengklaim Raja Herbal hingga Raja Padi tak mau ketinggalan. Beberapa mantan finalis duta wisata dan duta budaya hadir pula.
Ada yang datang, ada yang pergi. Calvin pulang, Adica pergi. Seakan skenario hidup ini telah diatur rapi oleh Allah The Best Planner in The World.
Ini bukan pesta biasa. Melainkan pesta perpisahan Adica. Sebenarnya pesta ini di luar keinginan Adica. Calvinlah yang membuatnya.
Areal parkir restoran dipenuhi jajaran mobil mewah. Puluhan tamu berbaju mahal, berpenampilan elegan, stylish, dan wangi berdatangan. Seakan ini bukan pesta perpisahan. Malam ini, biarkan waktu yang tersisa digunakan untuk bercengkerama dan merajut kebersamaan sepuasnya.
“Maaf, kami terlambat.”
Dari pintu restoran, masuklah Albert bersama Dokter Tian. Revan bersama Baba dan Anne-nya, menyusul di belakang. Setelan formal berwarna putih menjadi pilihan Albert malam ini. Sementara Revan nampak memesona dalam balutan tuxedo biru lautnya. Biru, warna favorit Revan.
“Hei, kalian datang juga. Mana Anton?” sambut Calvin senang. Di pesta perpisahan Adica, Calvin dua kali lebih charming dengan jas berpotongan mewah berwarna grey.
“On the way. Sepuluh menit lagi sampai katanya.” sahut Revan seraya memeriksa smartphonenya.
Dua menit berikutnya, Adica menyambut mereka. Menyalami Dokter Tian, Baba, dan Anne. Mengajak Albert dan Revan mencicipi signature dish yang tersaji.
“Makanan Indonesianya apa aja?” tanya Albert.
“Oh, banyak. Pilih apa yang kamu suka.”
Revan tersenyum simpul. Mengawasi Albert yang mulai jelalatan menginspeksi kuliner Indonesia kesukaannya. Nasi goreng, sate, Coto Makassar, sup Konro, martabak Aceh, gulai ikan patin, hingga empek-empek ia lirik. Lalu ia pilih semuanya. Sedikit-sedikit saja.
“Wah luar biasa...Pak Dokter Ganteng makannya banyak juga ya.” komentar Calvin, tak bisa menahan diri.
“Biasalah. Kalau sudah ketemu Indonesiaan food, bawaannya begitu. So, kalo kita makan sama dia, pasti harus cari resto yang ada makanan Indonesianya.”
Perkataan Revan membuat Calvin teringat perjalanannya dan ketiga sahabatnya ke Jerman. Repotnya traveling dengan orang semacam Albert. Tak mau makan kalau bukan makanan Indonesia. Sekalipun di negeri leluhurnya sendiri, Albert enggan memakan Wurst-sejenis sosis khas Jerman-dan kuliner asli Jerman lainnya. Ia hanya mau makanan Indonesia.
“Albert Arif Ansori...pria Jawa-Jerman-Skotlandia yang cinta mati sama Indonesia.” Sebuah suara barithon berbicara di belakang mereka.
Anton baru tiba. Ia pun ikut mengomentari kebiasaan Albert. Yang dikomentari cuek saja. Malah bangga dengan seleranya yang sangat Indonesia.
Pesta itu berlangsung meriah. Julia, Calisa, dan Rossie membuat para kagum terpesona dengan modern dance yang mereka bawakan. Gadis-gadis kecil nan cantik itu sangat pintar menari. Silvi memainkan piano. Membawakan lagu-lagu Mandarin, Indonesia, Jerman, dan Turki. Para tamu tak kalah kagumnya. Calvin memperhatikan Silvi tak puas-puasnya. Percik kebanggaan menyejukkan hati.
“Putrimu sangat berbakat,” puji Anne tulus.
“Terima kasih. Saya bangga padanya.” ungkap Calvin.
“Suatu saat nanti,” bisik Revan sungguh-sungguh.
“Aku ingin ajak Silvi ke Turki. Berbagi keindahan tanah air keduaku dengannya. Aku ingin Silvi melihat Hagia Sofia, Bosphorus, dan...”
Sesaat Revan menggantung kalimatnya. Ia tersentuh setelah mendengarkan Silvi membawakan lagu Çatı Katı. Revan menatapi gadis cantik bergaun coklat yang baru saja selesai memainkan piano itu. Mata biru Revan bertemu pandang dengan mata biru Silvi.
Sayangnya, tak semua orang yang hadir di pesta ini merasakan kekaguman. Ada empat hati yang bersedih. Hati Raissa, Julia, Calisa, dan Rossie.
“Kenapa Papi harus pergi?” rajuk Rossie, matanya berkaca-kaca.
Adica mengusap rambut putri bungsunya. “Hanya sementara, Sayang. Rossie juga boleh kok datang ke sana.”
“Papi di sini aja. Sama Mami, sama Rossie...”
Sesabar mungkin dicobanya memberi pengertian pada Rossie. Ada tanggung jawab lain yang harus dijalani. Tak mudah bagi anak sekecil Rossie untuk mengerti.
“Papi nggak sayang lagi sama Rossie ya? Uncle Calvin aja mau pulang buat Silvi. Masa sekarang Papi malah tinggalin Rossie?” isak gadis kecil sembilan tahun itu.