Duduk di kanan-kiri Raissa, Calvin dan Silvi bergantian menghiburnya. Raissa duduk di sofa dengan wajah tertunduk. Sisa air mata masih membekas. Rambutnya terkuncir rapi.
Rambut Silvi pun terkuncir dengan gaya ponnytail. Silvi dan Raissa punya kebiasaan yang sama: warna pakaian dan hair-do mencerminkan suasana hati mereka. Bila rambut terurai, saat itulah suasana hati mereka cukup baik. Rambut yang terkuncir dan pakaian berwarna gelap menandakan mood mereka buruk.
“Jangan sedih lagi, Raissa. Adica akan baik-baik saja. Bandung-Denpasar masih bisa ditempuh dengan mudah. Kamu bisa bertemu Adica kapan pun kaumau.” Calvin berkata menenangkan. Menatap sepupu iparnya itu penuh simpati.
“Aku tahu, Calvin. Tapi aku merasa takkan bisa bertemu suamiku lagi.” lirih Raissa.
Tangan Silvi terulur. Membelai halus jemari Raissa. Merengkuhnya, lalu berkata lembut.
“Auntie Raissa pasti ketemu lagi sama Uncle Adica.”
“Nah itu, Silvi benar. Jangan khawatir. Itu hanya perasaanmu.”
Perkataan Calvin dan Silvi disambuti anggukan lemah Raissa. Perlahan diusapnya sisa air mata. Lalu ia meraih tasnya.
“Aku harus pulang. Silvi Sayang, kamu pulang juga ya. Sama Ayah.”
Mendengar itu, Silvi menggeleng kuat. Bibirnya terkatup rapat. Tatapannya sedingin laut Baltik ketika bertemu pandang dengan Calvin.
“Sayang, kita pulang ya. Kita tinggal sama-sama lagi.” bujuk Calvin.
“Nggak mau! Silvi mau di rumah Opa aja! Silvi nggak mau sama Ayah!” bentak Silvi.
Calvin mendesah. Tersadar pada perubahan putrinya. Kini Silvi menjadi gadis pemurung, dingin, dan kasar. Raissa menatapnya sedih.
**
“Sayang, Ayah senang sekali bisa ketemu kamu lagi.” kata Calvin tulus di tengah perjalanan pulang.
Silvi membuang muka. Menatapi tetesan air di kaca mobil. Wiper bergerak pelan, menyapu bersih tetes hujan. Akhirnya Silvi mau pulang setelah dibujuk berulang kali oleh Calvin dan Raissa.
“Sore ini hujan, Sayang. Silvi suka hujan kan?” Calvin kembali bicara. Tak menyerah untuk terus berkomunikasi dengan anaknya.
Masih tak ada respon. Sekilas mata sipit bening itu mengerling Silvi. Gadis kecilnya semakin cantik. Sebuah kecantikan yang dingin dan kaku.
Nissan X-Trail itu berhenti di halaman depan. Bersamaan dengan masuknya sedan merah yang dikendarai Raissa ke rumah seberang. Rumah Calvin berseberangan dengan rumah Adica dan Raissa. Dari pagar rumahnya yang terbuka lebar, Raissa melambai dan tersenyum. Calvin dan Silvi membalas lambaiannya.
Senyuman Silvi memudar saat Calvin mendorong kursi rodanya. Ia menepis kasar tangan ayahnya sendiri, tak mau dibantu. Mau tak mau pria berdarah Tionghoa itu sedih juga. Putri tunggalnya bisa tersenyum untuk Raissa, mengapa untuk dirinya tidak? Empat tahun yang hilang harus terbayar dengan ironi.
Sikap Silvi tetap dingin sewaktu Calvin menunjukkan kamarnya. Memperlihatkan dekorasi kamar tidurnya. Segurat senyum pun tak nampak melihat kamar tidur mewah bernuansa off white yang telah disiapkan Calvin untuknya.
“Silvi mau tidur,” katanya singkat. Membanting pintu kamar di depan wajah Calvin.
Pria itu menghela napas sabar. Bersandar di pintu kamar Silvi. Apa lagi yang harus dilakukannya untuk membuat Silvi bahagia?
**
Rasa bersalah itu terus mengejar-ngejarnya. Membisikkan tuntutan pertanggungjawaban. Resah menyerbu hati. Ini tak boleh dibiarkan.
Dari rumahnya, Calvin terus memantau progres jaringan supermarket miliknya. Ia bukan lagi pemimpin perusahaan. Namun perusahaan retail peninggalan Tuan Effendi itu masih miliknya. Adica hanya memegang amanah.
Calvin gelisah. Laporan-laporan yang bergulir dari kantor pusat mengacak-acak hatinya. Kenaikan omset sekitar lima persen, jauh dari targetnya. Belum lagi pergeseran trend dan maraknya toko online mengancam kelangsungan bisnis retail.
Keesokan harinya, Calvin bergegas ke cabang supermarketnya. Di kota bunga ini, terdapat tiga gerai supermarket. Rupanya Calvin tak sendiri. Ia mengajak Silvi bersamanya.
“Mau apa Ayah ajak aku ke supermarket?” tanya Silvi ketus.