Tubuhnya penat, tapi hatinya ringan. Bahagia sekali bisa turun tangan langsung menghadapi customer. Begini rasanya berinteraksi dengan customer tanpa berjarak.
Senyumnya memudar seketika. Rasa sakit itu hadir lagi. Datang tanpa permisi. Ginjal yang digerogoti sel kanker menunjukkan perlawanan. Protes atas kerja keras pemiliknya.
“Calvin, kamu baik-baik saja?” tanya Revan cemas. Kekhawatiran tercermin di mata birunya.
Seraut wajah tampan itu pucat pasi. Sorot kesakitan terpancar di mata sipitnya.
“Revan...jangan beri tahu Silvi.” Calvin berkata perlahan di sela kesakitannya.
Tubuh semampai itu jatuh. Jatuh ke lantai karena rasa sakit.
**
Teringat pertama menyentuh
Ku tahu tak mudah jalani denganmu
Kulewati dalamnya lembah hidup
Mengartikan tujuan si langit biru
Aku tak bisa terus begini
Aku tak bisa mengatakan yang sesungguhnya
Aku tak bisa terus begini
Pesan ini kusampaikan sekali lagi
Kuberi kesempatan terakhirmu (Isyana Sarasvati-Sekali Lagi).
**
Jam praktiknya sudah berakhir. Namun Albert masih di sini. Berjalan ke ruangan direktur rumah sakit. Ruangan ayahnya.
Ketukan pintu berbalas sambutan dari dalam. Seorang pria setengah baya berjas putih dan berwajah alim menyambutnya. Tersenyum dengan sikap fatherly. Mengisyaratkan putra tunggalnya duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan meja besar dan berwibawa itu.
“Ada apa Papa memanggilku?”
Dokter Tian melepas kacamatanya. Menyandarkan tubuhnya di kursi.
“Papa ingin bicara denganmu,” Ia memulai, memandang Albert lekat.
“Ini soal Chantika.”
Mendengar nama itu disebut, Albert terenyak. Sepotong nama yang menggetarkan hatinya. Dokter Tian tersenyum kecil melihat perubahan ekspresi wajah anaknya.
“Kapan kamu mau menikahi dia?”
Pertanyaan sulit. Tanpa sadar Albert menggigit bibirnya. Wajah Chantika terbayang di pelupuk mata. Wajah jelita itu, dan pemiliknya, selalu berhasil membuat hati dan jiwanya bergetar.
“Aku akan menikahinya, Pa. Tapi tidak sekarang.” sahut Albert.
“Kenapa? Kamu mau menyia-nyiakan cinta gadis sebaik Chantika?” desak Dokter Tian, tapi tetap lembut.
“Bukan...bukan begitu. Aku menunggu ketiga sahabatku menikah. Sangat tidak adil dan tidak solid bila aku menikah mendahului mereka.” Cepat-cepat Albert menjelaskan.