Kael
Tidak semua perjalanan punya tujuan.
Kadang, aku pergi hanya untuk menjauh dari tempat terakhir yang kutinggalkan. Bukan karena aku membencinya, tapi karena tempat itu mulai terasa terlalu akrab, dan keakraban yang berlebihan selalu membuatku gugup. Aku merasa harus selalu sedikit asing, agar dunia tetap terasa besar.
Kyoto bukan kota yang asing, tapi hari itu aku membiarkannya menjadi baru. Aku berjalan tanpa arah, membiarkan langkahku menuntun lebih dulu sebelum pikiranku menyusul. Langit mendung, dan udara sore seperti menyimpan sesuatu yang belum selesai. Aku belok ke gang kecil di dekat sungai, melewati sebuah jendela kaca berdebu, dan menemukan toko buku itu.
Tidak ada papan nama. Tidak ada lonceng di pintu. Tapi aroma kertas tua dan kayu yang lembap meninju hidungku saat pintu terbuka. Seperti memasuki waktu yang menolak diperbarui.
Di dalam, rak-rak menjulang tinggi seperti hutan yang tidak pernah ditebang. Lampu kuning menggantung rendah, dan seorang pria tua duduk di sudut sambil membaca buku yang tak bisa kulihat judulnya. Ia hanya menoleh sekilas, lalu kembali ke bacaannya.
Aku tidak mencari apa pun. Tapi tanganku bergerak seperti punya insting sendiri menyusuri punggung-punggung buku yang sedikit berjamur, menyentuh jilid kulit yang usang. Di salah satu rak, aku menemukan buku bersampul kain merah tua tanpa judul. Aku membukanya, dan mendapati tulisan tangan di halaman pertama:
“Untuk siapa pun yang membaca ini: semoga kamu belum menyerah mencari.”
Aku tersenyum. Buku itu milikku sekarang.
Sebelum keluar, aku mengambil gambar toko itu lampu-lampu kuning yang redup, bayangan rak tinggi, dan jendela kaca dengan embun yang belum mengering. Aku unggah ke blogku malam itu, disertai catatan singkat:
“Ada toko buku kecil di Kyoto. Tidak punya nama. Tidak punya jam buka. Tapi kalau kamu tersesat dengan cara yang tepat, kamu akan sampai ke sana. Di rak paling ujung, ada buku bersampul merah yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan dijawab siapa pun. Dan mungkin, itu satu-satunya jawaban yang kita butuhkan.”
Aku tak menyangka komentar itu akan mendapat balasan.
***
Mireya