Wandering Toward You

lidia afrianti
Chapter #2

Satu Buku Yang Tak pernah Di Jual

Mireya

Ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan kepada orang lain, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Salah satunya: kenapa aku masih mencari buku itu.

Mereka bilang aku terlalu terikat pada masa lalu. Bahwa hidup adalah soal melepaskan. Tapi bagaimana melepaskan sesuatu yang bahkan belum sempat digenggam dengan benar?

Buku itu, Surat-Surat Kepada yang Belum Dijumpai, datang padaku dalam satu sore yang tenang, di sebuah perpustakaan kecil di belakang sekolah tempat Mama dulu mengajar. Hari itu aku sedang menunggu Mama selesai rapat guru. Usia kami masih terlalu dekat untuk disebut anak dan ibu dalam cara-cara yang formal, tapi terlalu jauh untuk saling memahami tanpa pertanyaan. Kami jarang berbicara panjang, tapi ia tahu aku mencintai buku, dan aku tahu ia menyukai diamku.

Perpustakaan itu sudah tua. Banyak raknya yang miring, beberapa bukunya bolong digigit rayap. Tapi aku suka tempat itu. Terasa seperti seseorang telah meninggalkan banyak cerita yang tidak jadi dikisahkan. Dan di antara rak-rak itu, aku menemukannya buku bersampul biru kusam dengan tulisan tangan di pojok kanan atas: “Untuk yang belum dijumpai.”

Judulnya saja sudah membuatku ingin membuka halaman pertama.

Dan yang kutemukan di dalamnya bukan cerita, bukan novel, bukan teori. Tapi potongan-potongan: surat untuk kekasih yang tak pernah sempat diberi tahu, puisi untuk sahabat yang hilang dalam jarak, catatan pendek untuk seseorang yang hanya hadir dalam mimpi. Semuanya ditulis dengan bahasa yang sederhana, tapi menggetarkan. Tidak sentimental. Tapi penuh kehilangan.

Aku hanya sempat membaca separuhnya.

Mama datang lebih cepat dari biasanya sore itu. Ia mengajakku pulang, dan aku dengan bodohnya meletakkan buku itu di kursi baca, berniat kembali keesokan hari untuk meminjamnya.

Tapi besoknya, perpustakaan itu tutup. Permanen.

Aku berdiri lama di depan pintu kacanya yang dikunci, membaca pengumuman penutupan yang ditulis tangan dengan tinta biru. Tidak ada pengalihan buku. Tidak ada daftar perpustakaan pengganti. Buku itu hilang begitu saja seperti hilangnya banyak hal dalam hidupku setelah Mama sakit dua tahun kemudian dan pergi untuk selamanya.

Sejak saat itu, pencarian buku itu menjadi semacam ritual pribadi.

Di sela-sela pekerjaan, di antara jam makan siang, aku membuka katalog-katalog perpustakaan lama, bazar buku bekas, dan blog-blog pengarsipan sastra. Aku bahkan menelusuri forum-forum kolektor. Tapi buku itu seperti tidak pernah diterbitkan. Seperti hanya hidup satu kali dalam satu ruang. Dan aku satu-satunya yang sempat melihatnya.

Kadang-kadang, aku mulai bertanya apa aku mengada-ada? Apa ingatanku melebih-lebihkan?

Tapi beberapa kalimat dari buku itu tidak pernah pergi dari kepalaku:

“Jika kamu merasa tidak ditemukan, mungkin karena belum waktunya untuk dikenali.”

“Tidak semua cinta harus dijawab, sebagian cukup hadir dan membiarkan kita menjadi lembut.”

Lihat selengkapnya