Wandering Toward You

lidia afrianti
Chapter #3

Tempat Yang Tak Bisa Kutinggalkan

Kael

Orang-orang selalu mengira aku menyukai kebebasan.

Mereka melihat fotoku duduk di atap bus tua di Bolivia, berjalan menyusuri pasar malam di Seoul, atau mendaki bukit sunyi di bagian timur Turki saat matahari belum benar-benar muncul. Mereka membacaku lewat unggahan foto, kalimat-kalimat pendek di blog, dan kisah perjalanan yang kutulis sepintas lalu.

“Enak ya hidupmu,” kata seseorang pernah menulis di kolom komentar.

“Gak terikat apa-apa.”

Aku hanya tersenyum membaca itu.

Mereka tidak tahu. Aku tidak sedang bebas. Aku sedang lari.

Perjalanan pertamaku bukan rencana, tapi pelarian.

Ayah meninggal dua minggu sebelum ulang tahunku yang ke-23. Tanpa peringatan. Tanpa sakit panjang. Tanpa sempat berkata apa-apa. Dunia yang selama ini terasa kokoh, tiba-tiba hancur. Dan aku … tidak tahu caranya tinggal di rumah yang terlalu sepi itu.

Jadi aku pergi. Tanpa rencana, tanpa tiket pulang.

Kota pertama adalah Bangkok. Murah, ramai, penuh suara yang bukan milikku. Lalu Hanoi. Lalu Kathmandu. Lalu terus dan terus. Setiap kota seperti kamar hotel yang berbeda cukup nyaman untuk ditinggali sebentar, tapi tidak cukup hangat untuk dipanggil rumah.

Orang bilang waktu menyembuhkan. Tapi waktu hanya membuatku terbiasa dengan luka yang sama.

Sampai akhirnya aku menulis blog itu. Awalnya hanya untuk mencatat. Mengabadikan toko-toko kecil yang kutemukan di jalan, tempat-tempat yang tak disebut pemandu wisata, atau buku-buku tua yang menunggu nasibnya di rak berdebu. Tapi diam-diam, aku ingin didengar. Aku ingin tahu… ada yang membaca? Ada yang merasa sama?

Dan kemudian komentar itu muncul. Dari seseorang bernama Mireya.

“Apakah kamu ingat judul bukunya? Ada satu yang sudah aku cari selama empat tahun.”

Lihat selengkapnya