Wandering Toward You

lidia afrianti
Chapter #5

Peta Yang Tak Pernah Kuperlihatkan

Kael

Aku sudah mengunjungi lebih dari 17 negara, 41 kota, dan terlalu banyak stasiun kecil yang bahkan Google Maps tak mencatatnya dengan benar.

Tapi pesan dari Mireya pagi itu membuat jantungku berdebar seperti pertama kali aku naik kereta malam di Istanbul. Tanganku gemetar saat membaca satu kalimat yang sederhana tapi bagi seseorang seperti dia, kalimat itu terasa seperti lompatan besar dari ujung dunia.

“Aku belum pernah ke mana-mana. Tapi mungkin… aku ingin tahu bagaimana rasanya ditemukan.”

Ditemukan.

Kata itu menghantamku lebih dalam dari yang seharusnya.

Aku pernah berpikir bahwa satu-satunya hal yang kutakuti dalam hidup ini adalah stagnasi. Rutinitas. Bangun di tempat yang sama selama berhari-hari, menyapa orang yang sama, menghirup udara yang sama. Aku tidak cocok dengan kata “tinggal.” Karena dalam dunia kecilku, tinggal berarti diam. Dan diam berarti terjebak.

Tapi setelah mengenal Mireya melalui komentar-komentar kecilnya, ulasan bukunya yang tajam tapi penuh empati, dan caranya menyusun kalimat seolah setiap kata sedang berdoa aku mulai melihat “tinggal” bukan sebagai jebakan, tapi sebagai bentuk kedalaman. Ia tidak berjalan dari satu kota ke kota lain. Tapi ia menyelami satu tempat dengan cara yang tidak bisa kulakukan. Dan itu… menakutiku. Karena mungkin, aku yang sebenarnya takut diam karena aku tak tahu bagaimana caranya masuk lebih dalam.

Pagi itu, aku tidak langsung membalas pesannya.

Sebaliknya, aku membuka folder lama di laptopku. Folder yang bertuliskan: Home Unfinished.

Di dalamnya ada puluhan foto kota-kota yang pernah kusinggahi, tapi tidak pernah kuunggah ke blog atau media sosial mana pun. Foto-foto tempat yang kutinggali lebih lama dari biasanya. Tempat-tempat di mana aku diam lebih dari seminggu, di mana aku punya waktu untuk berpikir, bukan hanya berpindah.

Ada satu foto yang membuatku berhenti: sebuah jendela kecil dari penginapan tua di Sarajevo, tempat aku menemukan buku milik Mireya.

Aku ingat malam itu. Salju tipis turun, suara lonceng gereja dari kejauhan, dan bau kopi hitam dari dapur. Aku duduk sendirian, membaca buku yang sampulnya rusak itu. “Taman Terakhir Sebelum Lupa.”

Aku membaca kalimat terakhir buku itu dan langsung teringat pada Mireya entah kenapa. Waktu itu, aku bahkan belum tahu banyak tentang masa lalunya. Tapi sekarang, setelah tahu bahwa kehilangan adalah hal yang membentuknya, aku mengerti mengapa kalimat itu terasa seperti miliknya.

Lihat selengkapnya