Mireya
Aku tak pernah menyangka akan sesering ini memandangi wajah seseorang di balik lensa kamera.
Bukan karena dia menarik secara visual walau aku tak bisa membohongi diriku sendiri tentang itu melainkan karena aku ingin tahu: apa yang dia lihat saat dia memotretku?
Pagi itu kami kembali menyusuri sudut lain Telantara. Kota ini tak besar, tapi entah bagaimana, selalu ada jalan kecil yang belum kami lewati. Kadang, hanya jalan setapak yang dipagari bunga liar. Kadang, lorong yang tersembunyi di balik toko jam tua. Kadang, kenangan yang tidak sengaja kami temukan saat diam terlalu lama di satu tempat.
“Mire, kamu kelihatan jauh pagi ini,” kata Kael sambil menurunkan kameranya. “Kamu nggak suka tempat ini lagi?”
Aku menggeleng. “Justru aku terlalu suka.”
Dia menaikkan alis. “Dan itu masalah?”
Aku terdiam sejenak. Aku ingin menjawab ya karena aku takut ketika hal-hal indah datang dan membuatku terlalu nyaman. Karena kenyamanan seringkali berujung kehilangan. Dan aku sudah cukup sering kehilangan hal-hal yang kusebut ‘rumah.’
“Masalahnya, mungkin aku mulai ingin tetap di sini,” ucapku pelan.
Kami duduk di bangku kayu di depan perpustakaan tua Telantara. Di sini, semua buku tak bisa dipinjam hanya bisa dibaca di tempat. Katanya, agar buku-buku itu tetap dekat dengan akar kotanya.
Aku membaca puisi-puisi tua dari seorang penyair lokal yang tidak pernah terkenal. Raka menggambar sesuatu di buku sketsanya kebiasaan barunya yang muncul entah sejak kapan.
“Kenapa kamu selalu berpindah tempat?” tanyaku tiba-tiba, memecah keheningan.