Mireya
Aku tidak pernah terlalu memikirkan siapa saja yang pernah hadir dalam hidup Kael sebelum aku. Tapi hari ini, aku bertemu dengan salah satu dari mereka. Dan lucunya, yang paling menyakitkan bukan karena dia datang dari masa lalu. Tapi karena ia terlihat sangat cocok dengan masa kini Kael.
Namanya Kalma. Ia muncul begitu saja di sebuah pameran jalanan di kota Velaris, kota seni yang kami singgahi karena Kael ingin melihat mural-mural langit senja yang terkenal itu. Pameran itu kecil, hanya di sisi jalan yang penuh bunga kertas dan lilin-lilin gantung. Kami sedang melihat karya seni dari pelukis setempat saat Kael tiba-tiba berhenti. Wajahnya berubah.
“Kalma?” katanya pelan, setengah tak percaya.
Perempuan itu menoleh. Rambutnya pendek, wajahnya bersih, dan senyumnya seperti lagu yang tenang. Ia memeluk Kael seolah mereka sahabat lama yang terpisah karena musim.
“Aku nggak nyangka kamu ada di sini. Masih suka keliling dunia?” tanyanya sambil tertawa pelan.
“Kadang,” jawab Kael.
Lalu mereka bicara cukup lama. Terlalu lama. Aku hanya berdiri di samping, berpura-pura melihat lukisan yang warnanya pudar.
***
Kael
Kalma adalah masa lalu yang tidak pernah selesai. Kami dulu sama-sama suka bepergian, suka mencatat hal-hal kecil dalam buku saku, suka mengabadikan suasana kota asing dengan sketsa. Tapi kami berpisah bukan karena benci. Kami hanya berjalan ke arah yang berbeda.
Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di Velaris.
Dan tentu saja, aku tidak menyangka akan merasa sangat canggung saat harus memperkenalkan Mireya padanya.
“Ini… Mireya,” kataku akhirnya.
Kalma tersenyum. “Kamu pemburu buku yang dia sering ceritakan ya?”