Mireya
Aku tak pernah tahu bisa sejauh ini. Duduk di sampingnya. Setelah segala ketidakpastian, kalimat-kalimat yang hampir tak pernah selesai. Kami akhirnya duduk dalam kenyataan, bukan sekadar imajinasi.
Setelah keheningan itu, aku berkata pelan, “Kamu tahu, saat kamu pergi dan tak memberitahu, aku marah. Tapi lebih dari itu… aku sedih. Karena kupikir, kita membangun sesuatu bersama.”
Ia tak memotong.
“Setiap kota yang kamu ceritakan, setiap tempat yang kamu foto, aku simpan. Karena aku percaya, itu bagian dari kita. Tapi ketika kamu memilih jalan tanpa mengajak bicara… rasanya seperti dikeluarkan dari rumah yang kita bangun berdua.”
Kael menunduk, menghela napas dalam. “Aku bukan sengaja menyingkirkanmu, Mire. Aku takut membuatmu menunggu. Tapi ternyata, dengan diam pun, aku tetap membuatmu menunggu dalam ketidakpastian.”
Ia menatapku, lebih jujur dari sebelumnya. “Kamu boleh marah. Tapi izinkan aku menjelaskan, tanpa dibela.”
Aku menatapnya balik, lalu mengangguk. “Bicara.”
***
Kael
“Aku bukan pria yang tahu arah sejak awal,” kataku jujur. “Aku memilih jalan karena aku takut menetap. Tapi bersamamu, aku merasakan tenang yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Dan itu menakutkan.”