Mireya
Toko itu… jujur saja, tidak cantik.
Langit-langitnya retak. Debu menumpuk di jendela besar yang seharusnya menangkap cahaya matahari pagi. Lantai kayunya berderit seperti keluhan dari masa lalu yang sudah lama ditinggalkan.
Tapi saat aku berdiri di tengah ruangan kosong itu, bersama Kael yang memegang denah seadanya, aku tersenyum. Karena untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat kekacauan dan tidak merasa ingin lari.
Aku ingin tinggal. Aku ingin memperbaiki.
“Aku akan taruh rak buku di sini,” kataku sambil menunjuk sisi kiri ruangan.
Kael berjalan ke ujung lain, lalu duduk di lantai. “Dan di sini tempat orang bisa duduk, ngopi, sambil dengar cerita dari orang asing.”
Kami tidak sedang membuka toko biasa. Kami sedang membangun ruang hidup. Perpaduan antara perjalanan dan pelarian, kisah dan kenyamanan.
***
Kael
Aku bukan tukang kayu, dan Mireya bukan arsitek. Tapi kami punya satu hal yang tak dimiliki oleh rencana-rencana besar: keinginan untuk mencipta bersama.