Raya
Dia datang tanpa suara, seminggu setelah jadwal rutin toko mulai berjalan.
Tak seperti pengunjung lain yang langsung menyapa atau bertanya, lelaki itu hanya masuk, mengangguk singkat, dan duduk di pojok dekat rak sastra klasik. Ia mengambil satu buku tipis Musim yang Patah dan membacanya dalam keheningan yang sangat hening, seolah dunia luar benar-benar tak berarti.
Awalnya kupikir ia hanya mampir sekali. Tapi keesokan harinya ia datang lagi. Dan lagi.
Selalu dengan cara yang sama: masuk, membaca, diam.
***
Kael
Aku melihat cara Mireya memperhatikannya dari jauh. Bukan dengan rasa suka atau ketertarikan aneh, tapi seperti seseorang yang sedang mencoba mengingat sesuatu seperti ada bayangan masa lalu yang samar di balik wajah lelaki itu.
Aku bertanya pelan, “Kamu kenal?”
Mireya geleng. “Nggak tahu. Tapi dia terasa… familiar.”
Aku tidak curiga. Tapi aku juga tidak nyaman.
Bukan karena lelaki itu. Tapi karena diam Mireya yang biasanya tak terlalu sering muncul saat kita sedang bersama.
***
Mireya
Hari keempat, lelaki itu datang lebih pagi dari biasanya. Aku sedang sendirian karena Kael pergi membeli kopi di kafe kecil dua blok dari sini.