Mireya
Sabtu itu, hujan turun sejak siang. Rintiknya tipis, seperti suara bisikan di jendela. Mungkin semesta memang tahu: hari ini akan menjadi hari yang berbeda.
Kami sudah menyiapkan kursi dan teh hangat seperti biasa. Komunitas diskusi buku di Setengah Jalan sudah berjalan enam minggu. Pesertanya berganti-ganti, tapi selalu ada wajah-wajah yang bertahan.
Hari ini, tema yang kami lempar sederhana tapi mengandung banyak jebakan:
“Buku yang membuatmu merasa dimengerti.”
Awalnya, diskusi mengalir seperti biasa. Kael membuka dengan Siddhartha. Aku menyebut Norwegian Wood. Seseorang menyebut Laut Bercerita, dan lainnya menyebut The Perks of Being a Wallflower.
Sampai seorang pria bernama Ranu mengangkat tangannya.
***
Ranu
Dia bukan peserta tetap. Tapi minggu lalu dia sempat mampir dan bilang ingin kembali. Hari ini, ia datang dengan wajah sedikit ragu, tapi sorot matanya seperti sudah menyiapkan sesuatu.
“Aku ingin bicara tentang buku,” katanya. “Tapi juga… tentang diriku sendiri.”
Suasana langsung sunyi. Kami saling melirik, tapi tidak ada yang memotong.
Ranu memegang sebuah buku lusuh: Aku Ingin Mati Tapi Ingin Makan Tteokbokki.
“Ini buku ringan,” lanjutnya. “Tapi pertama kali aku membacanya, aku menangis. Karena aku tidak merasa sendirian lagi.”