Mireya
Sore itu, hujan turun perlahan. Bukan hujan deras yang membuat orang berlari mencari atap, tapi gerimis tipis yang membuatmu ingin diam lebih lama di balik jendela, memandangi dunia yang mengabur pelan-pelan.
Aku berdiri di depan rak buku klasik, menyusun ulang koleksi yang sudah lama tidak disentuh. Tapi pikiranku tak ada di sana. Pikiranku ada pada seseorang yang sudah beberapa hari ini lebih sering diam, lebih sering memandangi layar laptop tanpa menyentuh apa pun.
Kael duduk di belakang meja kayu besar, dikelilingi aroma kopi dan kayu tua. Jemarinya menyentuh cangkir, tapi tidak meminumnya. Ia seperti ingin bicara, tapi menunda. Lagi dan lagi.
Akhirnya, aku mendekat.
“Kalau kamu memang mau pergi, aku harap kamu pergi setelah benar-benar jujur.”
Ia mendongak. Perlahan. Seperti tak menduga aku akan membuka percakapan duluan.
“Jujur tentang apa?” bisiknya.
“Jujur tentang apa yang kamu cari, dan… tentang apa yang kamu takutkan.”
***
Kael
Aku menggenggam cangkirku lebih erat. Suaranya tenang seperti biasa, tapi kali ini ada ketegasan yang membuatku sulit mengalihkan pandangan.