Kael
Pagi itu, aku membuka kotak masuk email dengan setengah kesadaran. Kopi belum sepenuhnya mengusir kantuk. Tapi satu email, dengan judul sederhana: “We Need to Talk”, membuat mataku terjaga sepenuhnya.
Itu dari Elan. Teman lamaku di Yurelle, kota tempat aku memulai perjalanan ini bertahun-tahun lalu. Kota pertama yang membuatku jatuh cinta pada gagasan berpindah-pindah, memburu lanskap, cahaya senja, dan ruang sunyi.
Isi emailnya singkat, padat, dan menghentak.
Ka, proyek foto arsip kota akan dimulai bulan depan. Kurator internasional tertarik. Kami butuh kamu sebagai dokumentator utama. Ini kesempatan besar, mungkin tidak akan datang dua kali. Kalau kamu setuju, kami siapkan tiket dan akomodasi. Jawaban paling lambat minggu depan.
Aku menatap layar cukup lama, hingga cahayanya terasa menembus ke dada.
Kesempatan besar.
Sebuah nama untuk sesuatu yang dulu selalu kukejar. Tapi mengapa kini rasanya seperti pisau?
***
Mireya
Kael tampak berbeda hari itu. Ia tetap membantuku menata buku, tetap membuat lelucon saat seorang anak kecil bertanya apakah ada buku tentang monster baik hati. Tapi matanya tidak hadir sepenuhnya.
Ia menatap keluar jendela lebih sering. Dan diam lebih lama.
“Ada yang ganggu pikiranmu?” tanyaku, pelan.