Krret...
Derit pintu kelas yang sunyi itu dibuka perlahan, bau ruangan yang lembab serta jendela yang tertutup kursi-kursi rusak yang sudah tidak digunakan lagi memang cocok untuk melakukan pemanggilan roh ini, meski di siang hari Qiana yakin roh akan tetap datang.
"Lo, yakin main di sini?" Tanya Pelita sambil mengerutkan kening mengedarkan pandangan melihat ruangan ini. "Ko gue 'worried' ya," Baru saja masuk Pelita sudah merasakan ruangan ini terasa tidak nyaman, tanganya terus mengandeng siku Qiana.
Berbeda dengan Feederica ia santai melihat ruangan kelam ini hanya menepuk tangan pelan enggan terkena debu yang berterbangan.
“Ga, mungkin juga kita main di kelas.” Gadis berkacamata itu mulai melangkah lebih maju. “lebih cocok sih main di sini. Gimana, Qin, Fee?” dibanding Pelita yang ketakutan. Vanessa justru menyukai keheningan seperti tempat ini, sepertinya kapan-kapan ia ingin sekedar singgah menenangkan hati di sini.
“Gue, sih oke. Nes. Tau tuh si cupu dari tadi gelendotan mulu sama Qiana.” Feederica malihat Pelita dengan bibir mengerucut.
“Mm... Gue bukannya takut ya, kan gue tadi yang nyaranin main di sini.” Pelita langsung melepaskan rangkulannya di siku Qiana.
Qiana yang melihat itu menahan senyuman, bukankah sahabatnya yang satu itu yang paling penakut.
“Ya, udah kita main di sini.” Qiana mulai memilih meja yang akan mereka gunakan. Meja rusak yang penuh coretan abstrak menjurus pada gambar-gambar kelamin juga seperti gambar sosok lidah panjang. Namun, Qiana tidak memperdulikan itu, ia segera menutupi coretan dengan selembar kertas yang dibawa tadi.
Suara berisik Qiana menarik meja sepertinya membangunkan penghuni ruangan kosong ini, sayup terdengar bunyi binatang melata berlari saat mendengar meja itu ditarik.
"Apaan itu, Tikus?" Pekik Pelita kembali bergeser mendekati Qiana.
“Bukannya udah biasa ya? Di got rumah lo, kan banyak tikus,” nyinyir Feederica. Si paling kaya itu paling tidak suka pada Pelita, ia merasa hanya Pelita yang tidak memiliki apapun untuk dibanggakan.
Qiana sendiri cantik sudah menjadi daya tarik saat geng mereka melangkah masuk dalam halaman sekolah. Sedangkan dirinya sendiri. Pintar, kaya, cantik juga. Vanessa juga cantik meski wajahnya berbingkai kaca mata. Ia juga anak orang kaya, kedua orang tuanya sama-sama bekerja di bank dan sering gonta ganti mobil saat menjemput.
Sedangkan Pelita? Hanya anak kalangan biasa, sekolahpun mengandalkan beasiswa. Belum lagi pakaian yang jauh dari modis dan sekarang... hmm... ingin mencari ibunya dengan bertanya pada roh, bilang saja tidak mamupu melapor pada polisi untuk mencrari ibunya.
“Iya lah... si rumah yang ga pernah keliatan gotnya,” balas Pelita nyinyir lagi pada Feederica.
“Udah!” hardik Vanessa. “Gimana cara mainnya, Qin?" tanya Vanessa mulai melihat Qiana membenarkan letak kretas yang atasnya sudah ditulis abjat dari A sampai Z juga angka dari 1 sampai 10. Bangunan ini sudah terbengkalai lima tahun lebih sedangkan bangunan baru sekolah taman siswa bagian depan masih digunakan, sudah ada rencana pugar untuk kelas baru tapi belum terlaksana.
"Ikutin gue! Tapi jangan lepas tangan kalian dari koin ini, ngerti! Kalian juga harus mengikuti pergerakan keman koin ini jalan." Jelas Qiana pada mereka bertiga yang sudah siap mengelilingi meja.
Pelita menelan ludahnya, ia tidak salah dengar kan? Bagaiman koin itu bisa bergerak sendiri? Jadi benar Qiana akan memanggil, Roh?
Pelita ingin menggeplak kepalanya, bukankah sudah dijelaskan dan tujuan ia ikut permainan ini juga untuk bertanya dimana ibunya yang sudah empat bulan ini tidak ada kabar setelah pindah tempat kerja baru.